Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Status Hadits Kafa’ah
Dalam kitab Makarim al-Akhlaq, karya Radhiyuddin Abi an-Nashr al-Hasan bin al-Fadhal at-Thabrasi, terdapat hadits yang berbunyi:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَتَزَوَّجُ فِيْكُمْ وَأُزَوِّجُكُمْ إِلاَّ فَاطِمَةَ فَإِنَّ تَزْوِيْجَهَا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ، وَنَظَرَ رَسُوْلُ الله إِلَى أَوْلاَدِ عَلِي وَجَعْفَر فَقَالَ بَنَاتُنَا لِبَنِيْنَا وَبَنُوْنَا لِبَنَاتِنَا
“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa seperti kalian. Aku kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku dengan kalian, kecuali Fatimah. Karena, perkawinannya ditetapkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah SWT). Rasulullah pun memandang kepada anak-anak Ali dan Ja’far, seraya bersabda: ‘Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami’.”
Dalam kitab tersebut tidak disebutkan sanadnya. Tetapi, hadits ini diriwayatkan oleh al-Kulaini, dalam kitabnya al-Kafi, Juz V/568, dengan sanad yang majhul [tidak diketahui]. Karena itu, hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai hujah untuk menetapkan hukum wajibnya kafa’ah.
Dalam riwayat lain disebutkan:
كُلُّ بَنِي آدَمَ يَنْتَمُونَ إِلَى عَصَبَةِ أَبِيهِمْ إِلا وَلَدَ فَاطِمَةَ، فَإِنِّي أَنَا أَبُوهُمْ وَأَنَا عَصَبَتُهُمْ [الطبراني في الكبير من طريق عثمان بن أبي شيبة عن جرير عن شيبة بن نعامة عن فاطمة ابنة الحسين عن جدتها فاطمة الكبرى به مرفوعا]
“Semua anak Adam bernasab kepada orang tua lelaki (ayah mereka), kecuali anak Fatimah. Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan mereka.” [Hr. At-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dari ‘Utsman bin Abi Syibah dari Jarir bin Syibah bin Nu’amah dari Fatimah binti al-Husain dari neneknya, Fatimah al-Kubra diriwayatkan secara marfu’].
Status hadits ini menurut Ibn al-Jauzi, dalam al-‘Ilal al-Mutanahiyyah, “Innahu la yashihhu, laisa bi jayyid[in]. (Hadits tersebut tidak shahih, dan tidak jayyid [baik]).” Di dalam sanad-nya juga terdapat Syibah, yang dinyatakan lemah. Namun, hadits ini mempunyai banyak pendukung (syawahid). Jika pun maknanya sahih, maka hadits ini menjelaskan kekhususan Nabi saw. dan keturunannya. Namun, hadits ini tidak menjelaskan tentang wajibnya kafa’ah bagi pasangan suami-isteri, khususnya keluarga Nabi saw.
Mengenai hadits dari Ibn ‘Umar:
اَلْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ لِبَعْضٍ قَبِيْلَةٌ لِقَبِيْلَةٍ وَحَيٌّ لِحَيٍّ وَرَجُلٌ لِرَجُلٍ
“Orang-orang Arab setaraf satu dengan yang lain. Kabilah satu dengan kabilah lain, satu kampung dengan kampung yang lain, laki-laki yang satu dengan yang lain…”
Hadits ini palsu, tidak ada dasarnya. Ibn Abi Hatim berkomentar, “Aku telah bertanya kepada ayahku tentang hadits ini, beliau mengatakana, “Munkar”.” Sedangkan Ibn ‘Abd al-Barr berkomentar, “Hadits ini Munkar dan palsu [maudhu’].”. Dalam isnad-nya terdapat orang yang majhul, yaitu perawi yang meriwayatkan dari Ibn Juraij. Ad-Daruquthni berkomentar, dalam kitab al-‘Ilal, “La yashihhu [Tidak sahih].”
Begitu juga hadits al-Bazzar dari Mu’adz bin Jabal:
اَلْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ بَعْضٍ، وَالْمَوَالِيْ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ بَعْضٍ
“Orang-orang Arab sekufu’ satu dengan yang lain. Begitu juga kaum Mawali sekufu satu dengan yang lain.”
Isnad hadits ini juga lemah.
Mengenai tindakan Nabi saw. menikahkan putrinya, Fatimah al-Kubra dengan saudara sepupunya, ‘Ali bin Abi Thalib, ini tidak bisa dijadikan sebagai dasar untuk mewajiban pernikahan antara sesama syarif dengan syarifah. Sebaliknya, mengharamkan pernikahan syarif dengan bukan syarifah, atau syarifah dengan bukan syarif. Karena, ada tindakan Nabi saw. yang lain, yang berbeda dengan ini. Ketika Nabi saw. menikahkan putri bibinya, Zainab binti Jahsy al-Asadiyyah dengan Zaid bin Haritsah. Padahal, Zainah adalah syarifah, sedangkan Zaid bin Haritsah bekas budak yang telah dimerdekakan.
Bukan hanya dalam bentuk tindakan, tetapi Nabi juga memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, putra dari bekas budaknya, Zaid bin Haritsah. Maka, Usamah bin Zaid pun menikahinya atas titah Nabi saw [Hr. Muttafaq ‘alaih]. Begitu juga Abu Hudzaifah bin Rabi’ah bin ‘Utbah telah mengadopsi Salim, bekas budak wanita Anshar, sehingga dikenal sebagai Salim “Maula” [bekas budak] Abi Hudzaifah. Salim dinikahkan oleh Abu Hudzaifah dengan keponakannya, putri saudara lelakinya, Hindun binti al-Walid bin Utbah. [Hr. Bukhari].
Mengenai perkataan ‘Umar bin al-Khatthab:
لَأَمْنَعُنَّ فُرُوْجَ ذَوَاتِ الأحْسَابِ إِلاَّ مِنَ الأَكِفَّاءِ
“Aku melarang kemaluan wanita-wanita dari keturunan mulia, kecuali untuk lelaki yang setaraf dengannya.”
Perkataan ‘Umar ini bukan hadits. Apa yang dinyatakan ‘Umar ini merupakan pendapatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan kafa’ah, atau melarang pernikahan karena tidak kafa’ah.
Begitu juga pendapat Salman al-Farisi, sebagaimana yang dinukil oleh Ibn Qudamah:
بَلْ أَنْتَ تَقَدَّمْ فَإِنَّكُمْ مَعْشَرَ الْعَرَبِ لاَ يُتَقَدَّمُ عَلَيْكُمْ فِي صَلاَتِكُمْ وَلاَ تُنْكَحُ نِسَاؤُكُمْ إِنّ اللهَ فَضَّلَكُمْ عَلَيْنَا بِمُحَمَّدٍ صلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعَلَ فِيْكُمْ
“Anda [Jarir] yang harus maju. Kalian kalian, wahai orang-orang Arab, kalian tidak boleh dipimpin dalam shalat kalian [oleh non-Arab]. Perempuan kalian juga tidak boleh dinikahi, sesungguhnya Allah memuliakan kalian atas kami karena Muhammad saw. Dia juga dijadikan di antara kalian.” [HR. al-Baihaqi]
Perkataan Salman ini juga bukan hadits. Apa yang dinyatakan Salman ini merupakan pendapatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk mewajibkan kafa’ah, atau melarang pernikahan karena tidak kafa’ah. Kalau pun ini dijadikan sebagai syarat, hanya syarat afdhaliyyah saja, baik dalam imamah shalat maupun pernikahan.
Karena itu, tidak ada satu dalil pun yang bisa digunakan untuk mewajibkan kafa’ah bagi pasangan suami isteri, baik dari kalangan Arab dengan Arab, Arab dengan non-Arab, maupun syarifah dengan bukan syarifah. Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menyatakan, karena itu, maka nash-nash yang menyatakan kafa’ah adalah nash yang batil, atau tidak bisa digunakan untuk berhujah. Mensyaratkan kafa’ah juga bertentangan dengan sabda Nabi saw:
لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
“Tidak ada kelebihan bagi bangsa Arab terhadap non-Arab kecuali dengan ketakwaannya.” [Hr. Ahmad]
Syarat tersebut juga bertentangan dengan nash al-Qur’an:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya di antara kalian yang paling mulia di sisi Allah, adalah kalian yang paling bertakwa.” [Q.s. al-Hujurat: 13]
Karena itu, hadits-hadits tentang syarat kafa’ah, atau bahkan yang mewajibkan kafa’ah jelas harus ditolak, dari aspek riwayat maupun dirayah. Maka, Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menegaskan, bahwa hadits-hadits yang menyatakan tentang kafa’ah ini adalah hadits-hadits makdzubah [bohong/palsu] [Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani, an-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 104].
Perbedaan Kafa’ah di Kalangan Ulama’
Sebagian fuqaha’, seperti Imam Ahmad, menggunakan sebagian hadits di atas sebagai argumen untuk menyatakan, bahwa kafa’ah merupakan syarat sahnya pernikahan. Jika tidak terpenuhi, maka kedua mempelai yang tidak sederajat itu harus dipisahkan. Ini juga merupakan pendapat Sufyan at-Tsauri. Dasar yang digunakan, selain hadits yang telah dinyatakan lemah di atas, juga pendapat ‘Umar dan Salman. Mengenai penggunaan kedua pendapat sahabat, ‘Umar dan Salman, bisa dimengerti, karena Imam Ahmad mengakui Mazhab Sahabat sebagai dalil.
Namun, ini bukan pendapat Imam Ahmad satu-satunya. Karena, Imam Ahmad juga mempunyai pendapat kedua, yang berbeda dengan riwayat pertama. Menurutnya, kafa’ah bukan syarat sahnya pernikahan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama’, bukan hanya pendapat Imam Ahmad. Pendapat ini ternyata juga merupakan pendapat ‘Umar, Ibn Mas’ud, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, ‘Ubaid bin ‘Umair, Hammad bin Sulaiman, Ibn Sirin, Ibn ‘Aun, Imam Malik, as-Syafii dan Ashhab ar-Ra’y [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/387-388].
Dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan, bahwa bangsa Arab non-Quraisy tidak kafa’ah dengan Quraisy. Non-Bani Hasyim juga tidak kafa’ah dengan Bani Hasyim. Pendapat Imam Ahmad ini bisa dimengerti, karena menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil. Ini juga merupakan pendapat pengikut mazhab Syafii, berdasarkan sabda Nabi saw:
إنَّ اللهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ، وَاصْطَفَى مِنْ كِنَانَةَ قُرَيْشًا، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِيْ مِنْ بَنِيْ هَاشِمٍ.
“Sesungguhnya Allah mengangkat Kinanah dari putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [HR. Muslim]
Pendapat pengikut mazhab Syafii ini sama dengan pendapat Abu Hanifah. Beliau berkata, “Orang non-Arab tidak kafa’ah dengan orang Arab. Orang Arab tidak kafa’ah dengan Quraisy. Semua kaum Quraisy itu kafa’ah.”
Namun, sekali lagi, dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan sebaliknya, bahwa bangsa Arab satu dengan yang lain sama-sama kafa’ah. Bangsa non-Arab juga demikian, satu dengan yang lain, juga sama-sama kafa’ah. Alasannya, karena Nabi saw. telah menikahkan kedua putrinya dengan ‘Utsman. Baginda saw. juga menikahkan putrinya, Zainab binti Muhammad saw. dengan Abu al-‘Ash bin ar-Rabi’. Padahal, keduanya berasal dari Bani ‘Abdi Syam, bukan dari Bani Hasyim. ‘Ali bin Abi Thalib juga telah menikahkan ‘Umar dengan putrinya, Ummu Kaltsum, dengan ‘Umar bin Khatthab. Meski ‘Umar bukan dari Bani Hasyim. Begitu juga ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsman telah menikahi Fatimah binti al-Husain bin ‘Ali, sedangkan Mush’ab bin az-Zubair menikahi saudara Fatimah, Sukainah. Miqdad bin al-Aswad menikahi Shuba’ah binti az-Zubair bin ‘Abdul Muthallib, putri paman Nabi saw. Padahal, keduanya berbeda nasabnya [Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/392-393].
Karena itu, pendapat yang menyatakan kewajiban kafa’ah bagi pasangan suami-isteri, di kalangan fuqaha’ adalah pendapat syar’i, setidaknya jika mazhab yang menyatakannya menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil. Sebagaimana Imam Ahmad, misalnya. Namun, jika mazhab tersebut tidak menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil, seperti pengikut mazhab Syafii, maka pendapat ini tentu bukan pendapat syar’i. Dengan catatan, jika pendapat tersebut didasarkan pada Mazhab Sahabat.
Namun, jika pendapat tersebut didasarkan pada hadits lain, yaitu “Sesungguhnya Allah mengangkat Kinanah dari putra Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [HR. Muslim], sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah, maka hadits ini tidak menunjukkan kewajiban kafa’ah pasangan suami-isteri. Dengan demikian, pendapat yang paling kuat, adalah pendapat yang menyatakan, bahwa kafa’ah tersebut bukan syarat, juga bukan kewajiban bagi pasangan suami-isteri.
Masalah Agama dan Kerelaan Bukan Masalah Kafa’ah
Mengenai faktor agama yang dijadikan ukuran kafa’ah antara suami-isteri, sebagaimana pendapat Imam Ahmad, Syafii, Malik dan Abu Hanifah, dalam hal ini Imam Malik berkata, “Kafa’ah hanya dalam masalah agama, bukan yang lain.” Sebagaimana firman Allah SWT:
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لاَ يَسْتَوُوْنَ
“Apakah sama orang yang beriman dengan orang yang fasik, tentu mereka tidak sama.” [Q.s. as-Sajdah: 18]
Ibn al-Mundzir menukil dari al-Buwaithi, bahwa Imam as-Syafii berkata, “Kafa’ah itu dalam agama.” Pendapat ini juga dinyatakan dalam kitab Mukhtashar al-Buwaithi. Dalam kitab Fath al-Bari, beliau menyatakan, “Kafa’ah dalam agama yang diakui merupakan perkara yang disepakati. Maka, tidak halal seorang wanita Muslimah bagi lelaki Kafir.” [as-Syaukani, Nail al-Authar, hal. 1197]
Mengenai perbedaan agama ini, menurut al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani, sebenarnya ini bukan pembahasan tentang kafa’ah. Tetapi, ini merupakan pembahasan tentang pernikahan kaum Muslim dengan non-Muslim. Ini tentu merupakan pembahasan lain. Hal yang sama juga terkait dengan kefasikan seseorang, ini sebenarnya tidak terkait dengan masalah kafa’ah. Tetapi, masalah pilihan dan kerelaan.
Imam as-Syafii menyatakan, bahwa asal muasal kafa’ah dalam pernikahan, sebenarnya adalah hadits Barirah [as-Syaukani, Nail al-Authar, hal. 1197]. Dalam hal ini, Barirah, budak wanita, menikah dengan sesama budak. Ketika Barirah dimerdekakan, sementara suaminya masih menjadi budak, maka dia diberi pilihan, apakah mau tetap menjadi isteri budak tersebut, atau membatalkan nikahnya. Diriwayatkan dari al-Qasim dari ‘Aisyah, bahwa Barirah ketika itu masih menjadi isteri dari seorang budak. Ketika dia dimerdekakan, Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Kamu pilih, jika kamu mau, maka kamu tetap menjadi isteri budak ini. Jika kamu mau, kamu bisa meninggalkannya.” [HR. Ahmad]. Dalam riwayat Muslim dari ‘Urwah dari ‘Aisyah, “Barirah telah dimerdekakan. Suaminya tetap menjadi budak. Rasulullah saw. memberikan pilihan kepadanya. Kalau suaminya sudah merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan kepadanya.”
Jadi, pilihan yang diberikan Nabi saw. kepada Barirah tidak terkait dengan masalah kafa’ah atau tidak, melainkan terkait dengan status suaminya yang masih menjadi budak, dan konsekuensi Barirah menjadi isteri budak. Karena itu, ‘Aisyah berkomentar, “Kalau suaminya sudah merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan kepadanya.” [Hr. Muslim].
Dari sini bisa dipahami, bahwa diberikannya pilihan kepada Barirah untuk bertahan menjadi isteri budak, atau tidak, merupakan bukti yang kuat, bahwa ini masalah pilihan. Tidak terkait dengan rusak dan tidaknya akad pernikahannya, karena tidak kafa’ah. Ini berbeda dengan perbedaan agama, karena ini bukan masalah pilihan. Dalam kasus suami murtad, misalnya, jelas status pernikahannya batal (fasakh). Begitu juga wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, baik Kristen, Yahudi, Hindu, Budha maupun yang lain. Dengan atau tanpa keputusan pengadilan, status pernikahan pasangan ini jelas batal.
Wallahu a’lam. []