Seperti yang telah dibahas pada bagian pertama bahwa HAM adalah dagangan politik utama negeri Barat dalam menuding Syariat Islam yang mendiskriminasi kaum perempuan, dan serangan media liberal terhadap perda Syariah di Aceh tidak lepas dari sindrom syariah phobia Barat dan kebutaan mereka melihat persoalan dapur mereka sendiri yang gagal memberi jaminan kehormatan kaum perempuan. Maka pada bagian kedua ini, pembahasan akan lebih difokuskan pada strategi dan makar Barat dalam menjinakkan umat Islam yang berkesadaran dan semangat tinggi untuk menerapkan Syariat Islam serta bagaimana gambaran penerapan Syariat Islam yang ideal itu.
Strategi Barat Melokalisasi Semangat Umat Menerapkan Syariat Islam
Seiring dengan kemunduran umat dan keruntuhan institusi Khilafah tahun 1924 umat Islam yang berjumlah 1,57 milyar hidup dengan kondisi terkotak-kotak di bawah tatanan nation-state atau Negara bangsa yang direkayasa Barat. Akibatnya, umat Islam tidak saling menyatu baik dalam perasaan, pemikiran maupun sistem/aturan, sehingga lenyaplah kehidupan Islam yang berlandaskan atas aqidah dan syariah Islam di dalam kehidupan mereka dalam bermasyarakat. Sejak saat itu Barat terus bekerja siang dan malam untuk meredam kebangkitan umat Islam dengan berbagai cara, terutama dengan penyebaran ide kebebasan dan demokrasi agar umat makin jauh dari Syariat Islam.
Setidaknya ada dua strategi Barat dalam meredam kebangkitan dan perjuangan umat Islam, yang pertama adalah strategi stigmatisasi dan yang kedua adalah strategi lokalisasi. Untuk yang pertama bisa kita lihat pada serangan media liberal seperi yang telah diulas pada bagian pertama artikel ini. Ternyata bisa kita baca bahwa gerakan anti syariah ini dilakukan secara sistematis dan terencana serta tidak hanya bersifat lokal tapi juga internasional. Seperti yang direkomendasikan Cheryl Benard, peneliti The Rand Corporation yang kerap menjadi rujukan politisi Barat. Dalam laporannya yang berjudul Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies, Cheryl menulis beberapa ide yang harus terus-menerus diangkat untuk menjelekkan citra Islam antara lain pelanggaran demokrasi dan HAM, poligami, sanksi kriminal, keadilan Islam, minoritas, pakaian wanita, dan kebolehan suami untuk memukul istri.
Sementara strategi kedua yakni lokalisasi terjadi jika perjuangan umat terlampau kuat atau telah melahirkan konflik berkepanjangan. Pada strategi kedua ini, Barat ingin memastikan bahwa penerapan Islam tidak hanya bersifat lokal dan parsial, tapi juga tunduk pada ideology sekuler dan nilai-nilai HAM dan demokrasi. Latar belakang otonomi Aceh adalah kemelut panjang pemberontakan GAM yang ingin memisahkan diri dari NKRI yang diproklamirkan oleh Dr. Muhammad Hassan di Tiro pada Desember tahun 1976, karena upaya militer puluhan tahun yang dilakukan TNI (ABRI) lewat operasi DOM gagal ditempuh maka jalan keluar terakhir dipilih yakni memberi kewenangan otonomi pada Aceh yang sekarang disebut sebagai daerah istimewa. Modus yang sama bisa kita lihat pada kasus Muslim Moro di Filipina Selatan yang saat ini telah menandatangani perjanjian komprehensif dengan pemerintah Filipina dan akan segera diberi wilayah otonomi khusus. Perjanjian tersebut memberikan pengakuan terhadap hak-hak rakyat Moro, termasuk pembentukan daerah otonom (Bangsamoro), hak-hak mereka atas kekayaan sub-daerahnya, penerapan hukum Syariah hanya untuk kaum Muslim, dan demiliterisasi kelompok perlawanan tersebut.
Khusus untuk strategi kedua ini, dalam paper berjudul Governing Under Sharia (2013) lembaga think tank CFR (Council on Foreign Relation) – yang berbasis di Washington AS – memetakan bahwa Syariah bisa menjadi bagian dari “negara Islam modern” melalui tiga cara, yakni (1) melalui konstitusi nasional (national constitution), (2) perundangan nasional (national law) dan (3) perundangan daerah (sub national law). Dari ketiga pilihan ini jelas terlihat bahwa hukum Syariat tetap menjadi subordinat di bawah konstitusi / UUD sekuler dan tatanan sistem negara bangsa yang berlaku hari ini. Aplikasi dual legal system atau sistem hukum ganda dengan menerapkan sebagian hukum uqubat, pernikahan, waris, dan perwalian; tetap saja membuat keseluruhan hukum syariat tidak diterapkan dan sama sekali tidak ada ruang buat penerapan Islam secara global dibawah sistem Khilafah yang merupakan kepemimpinan politik umat Islam secara internasional.
Dua strategi ini – yaitu stigmatisasi dan lokalisasi – terus dilakukan dan dimaintain oleh Barat beserta seluruh jaringan imperialisnya, simultan dengan strategi penjajahan politik dan ekonominya dengan tujuan utama hegemoni ideology mereka tetap terjaga, serta nilai-nilai HAM dan Demokrasi bisa berdampingan dengan Syariat Islam dan juga menjadi keyakinan umat Islam. Kita bisa melihat bahwa semua upaya dilakukan oleh Barat dan penguasa sekuler serta lembaga-lembaga internasional untuk mengaburkan identitas sejati umat Islam dan menjinakkan umat Islam agar menjadi lebih moderat, pragmatis sehingga menyakini bahwa demokrasi adalah kancah perjuangan Islam yang ideal sehingga meninggalkan segala upaya untuk merealisasikan perjuangan penegakan Syariat Islam.
Khilafah dan Kesempurnaan Penerapan Syariat Islam
Syariat secara bahasa berarti sumber air minum (mawrid al ma’li al istisqaa) atau jalan lurus (ath thariq al mustaqim). Sedangkan menurut istilah syar’i, syariat bermakna perundang-undangan yang diturunkan Allah bagi hamba-hamba Nya baik dalam persoalan Aqidah, ibadah, akhlaq, mu’amalah dan sistem kehidupan lain seperti politik, ekonomi, pidana, pendidikan, dan sosial budaya untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Syariat Islam merupakan rahmat bagi semesta alam, termasuk kaum perempuan. Syariat melarang segala bentuk aktivitas yang menjadikan perempuan sebagai objek komoditas dan merendahkan perempuan. Dan hanya Islam sajalah yang memiliki nilai-nilai mulia dan benar-benar bertanggung jawab dalam menjaga kehormatan perempuan, bahkan mewajibkan laki-laki untuk mengorbankan hidup mereka demi membela kehormatan perempuan. sebagaimana sabda Nabi SAW:
((إنما النساء شقائق الرجال ما أكرمهن إلا كريم وما أهانهن إلا لئيم))
“Perempuan adalah saudara kandung para lelaki, tidak akan memuliakannya kecuali lelaki yang mulia dan tidak akan menghinakannya kecuali lelaki yang hina.”
Namun penting untuk kita catat, penerapan syariah Islam haruslah diterapkan secara totalitas (menyeluruh) di bawah naungan negara Khilafah agar rahmatNya terasa pada seluruh umat manusia. Khilafah adalah kepemimpinan umum kaum Muslim seluruh dunia. Khilafah bukanlah negara bangsa (nation state), melainkan negara dunia (global state); kaum Muslim di seluruh dunia hanya memiliki satu negara. Sehingga penerapan Syariah tidak boleh secara parsial, lokal dan bertahap seperti perda Syariah di Aceh, Brunei, ataupun Arab Saudi. Syariat Islam juga wajib berlaku sama bagi seluruh warga negara Muslim maupun non-Muslim, keluarga pejabat atau rakyat jelata. Pemerintahan (al-hukm) dalam Islam bersifat sentralisasi atau terpusat. Artinya, pelaksanaan kekuasaan atau penerapan hukum-hukum hanya berada di tangan orang yang telah diamanati oleh rakyat, yaitu Khalifah dan orang-orang yang mewakilinya.
Selain itu, penerapan sebagian syariah Islam, tidak akan bisa menyelesaikan masalah secara menyeluruh dan tujuan-tujuan penerapan syariah Islam tidak bisa direalisasikan secara utuh. Kegagalan akibat penerapan syariah secara parsial ini sangat mungkin menjadi sasaran empuk musuh-musuh Islam. Semacam memberikan amunisi tanpa henti bagi musuh-musuh umat untuk menunjuk jari pada ketidakmampuan Islam untuk memecahkan berbagai masalah. Mengambil sebagian hukum Islam dan meninggalkan sebagian hukum Islam yang adalah dosa besar. Allah SWT berfirman:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ ٱلْكِتَٰبِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍۢ ۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْىٌۭ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلْعَذَابِ ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”(TQS Al Baqarah: 85)
Karena itu syariat Islam tidak hanya diterapkan dalam masalah uqubat (sanksi) seperti hudud. Namun dalam segala aspek termasuk ekonomi, politik, pendidikan, dan sosial. Dengan penerapan Syariat yang kaffah, Khilafah akan menjelma menjadi negara dimana perempuan akan merasa aman ketika mereka tinggal di dalam rumah maupun keluar rumah, karena Khilafah adalah sebuah sistem yang memberikan kesempatan kepada perempuan berkontribusi aktif di bidang politik, pendidikan, dan dalam kehidupan sosial masyarakat mereka dan membebaskan kaum perempuan dari pelecehan di ruang public. Khilafah menawarkan strategi yang jelas untuk melindungi kehormatan perempuan di tengah-tengah masyarakat melalui nilai-nilai dan hukum Islam yang saling melengkapi dalam mewujudkan tujuan ini karena Khilafah adalah negara yang menolak prinsip-prinsip kapitalisme dan liberal.
Untuk itu, kita perlu menjadikan Rasulullah SAW sebagai pedoman. Ketika Rasulullah SAW mendirikan negara Islam pertama di Madinah, bangsa-bangsa lain kemudian memeluk Islam karena mereka menyaksikan secara langsung pelaksanaan (hukum) Islam secara lengkap yang diberlakukan secara nyata. Hal ini kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah berikutnya. Dengan penerapan yang paripurna ini, Islam akan tampak sebagai solusi nyata bagi manusia, rahmat bagi semesta alam dan negara Khilafah akan menjadi mercusuar peradaban dunia dengan segala kebaikannya. Allahu Akbar.
Penerapan syariah Islam secara menyeluruh oleh negara Khilafah juga akan mencampakkan sistem Barat yang sudah kronis, menghentikan penjajahan Barat terhadap dunia Islam, membungkam propaganda mereka untuk membusukkan Syariat Islam sekaligus mengancam kepentingan penjajahan mereka. Khilafah juga akan menyatukan umat dan melindungi umat dari musuh-musuh Allah yang menghina Islam, menodai kaum Muslimah dan membunuh kaum muslimin.
Wahai kaum Muslimah Aceh, bergabunglah dengan perjuangan demi tegaknya Khilafah Islam yang kedua yang akan menerapkan Syariah Islam secara kaaffah dan membungkam siapapun yang menyerang Islam serta menodai kehormatan kaum Muslimah di seluruh dunia di bawah kalimah Tauhid dan pemerintahan Islam. Insya Allah
Written for Central Media Office Hizb ut Tahrir by
Fika Komara
Member of Central Media Office Hizb ut Tahrir