Liberalisasi Energi Menyalahi Ketentuan Syar’i

[Al-Islam edisi 748, 29 Jumadul Ula 1436 H – 20 Maret 2015 M]

Pemerintah memastikan tak akan menaikkan tarif dasar listrik (TDL) pada April 2015. Meski begitu, mulai Mei 2015 dan seterusnya, TDL untuk 8 golongan bisa naik-turun layaknya harga bahan bakar minyak (BBM) karena tiga faktor yang ditentukan Pemerintah (Lihat: Kompas.com, 15/3).

Tarif Listrik Bakal Naik

DPR sudah menyepakati kenaikan tarif listrik delapan golongan pelanggan PLN hingga ke tingkat keekonomian, selanjutnya akan diterapkan tarif penyesuaian. Penerapan penyesuaian tarif (adjustment tariff) itu disahkan melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM no. 31 tahun 2014. Berdasarkan Permen ESDM itu, mulai 1 Januari 2015, Pemerintah menambah delapan golongan lagi. Total menjadi 12 golongan yang dikenakan skema penyesuaian tarif (Kompas.com, 9/1/2015).

Kedua belas golongan yang dikenai penyesuaian tarif tidak mendapat subsidi listrik (4 golongan sejak Mei 2014 dan 8 golongan sejak 1 Januari 2015). Hanya saja, Pemerintah menunda kenaikan tarif bagi dua golongan rumah tangga R1 daya 1.300 VA dan R1 daya 2.200 VA. (Kompas.com, 9/1/2015).

Anggaran subsidi listrik untuk tahun 2015 sendiri sudah disepakati Pemerintah dan DPR dalam pembahasan RAPBN-P 2015. Subsidi berjalan disepakati sebesar Rp 64,85 triliun. Karena adanya penundaan penyesuaian tarif untuk pelanggan rumah tangga daya 1.300 VA dan 2.200 VA, maka ada tambahan subsidi sebesar Rp 1,3 triliun (Kompas.com, 4/2/2015).

Sesuai dengan pernyataan Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Djarman, jatah subsidi 1,3 triliun untuk penundaan penyesuaian tarif pelanggan rumah tangga 1300 VA dan 2.200 VA itu sudah habis pada April 2015. Dengan begitu, bisa dipastikan Mei 2015 untuk pelanggan rumah tangga 1.300 VA dan 2.200 VA dikenai penyesuaian tarif sebagaimana 11 golongan lainnya.

Semua itu berarti, Pemerintah melakukan liberalisasi tarif listrik. Liberalisasi tarif listrik itu berbarengan dengan liberalisasi harga BBM. Konsekuensinya, tarif listrik seperti halnya harga BBM bisa naik-turun mengikuti perkembangan pasar. Jika harga minyak melonjak, saat bersamaan kurs dolar tinggi dan inflasi naik, maka harga BBM dan tarif listrik bisa akan sangat mahal. Semua golongan pelanggan akan merasakan dampak yang besar. Pelanggan rumah tangga yang jumlahnya sangat banyak akan merasakan dampak yang relatif lebih besar dari golongan bisnis. Pasalnya, tarif golongan rumah tangga lebih besar dari tarif bisnis dan industri. Sebagai gambaran, dalam penyesuaian tarif PLN Maret 2015, tarif golongan rumah tangga, pemerintah dan bisnis B-2 sebesar Rp 1.426,58 perkWh; tarif bisnis B-3, industri I-3 dan pemerintah P-2 di atas 200 kVA sebesar Rp 1.027,16 perkWh; dan tarif industri I-4 Rp 965 perkWh.

Liberalisasi Energi

Semua itu makin menyempurnakan liberalisasi listrik baik di sektor hulu maupun hilir. Semua itu sesuai dengan amanat UU Kelistrikan No. 30/2009.

Di sektor hulu, yakni sektor pembangkitan, telah dibuka untuk swasta. Swasta bisa membangun pembangkit dan listrik yang dihasilkan akan dibeli oleh PLN. Pemerintah beralasan tidak punya cukup modal dari APBN untuk membangun pembangkit yang mencukupi kebutuhan listrik nasional. Apalagi rezim Jokowi-JK punya ambisi membangun pembangkit yang totalnya sebesar 35 gigawatt (GW) dalam lima tahun ke depan.

Wapres Jusuf Kalla mengatakan, untuk proyek 35GW hingga 2019, PT PLN (Persero) butuh dana sekitar Rp 400 triliun hingga Rp 500 triliun untuk kapasitas 10GW dari 35GW. Katanya, APBN tentu tidak kuat menanggung dana sebesar itu sehingga swasta harus ikut serta. Oleh karena itu, dari proyek 35GW, PT PLN (Persero) hanya dibebani tugas sebesar 10GW, dan sebanyak 25GW ditawarkan kepada investor swasta.

Namun, ada kendala-kendala pembangunan proyek kelistrikan yang dilakukan oleh pihak swasta. Untuk memudahkan itu, Menteri ESDM mengeluarkan Permen ESDM No. 3 tahun 2015, yakni bahwa pembelian listrik oleh PLN dari pihak swasta bisa melalui pemilihan langsung dan penunjukan langsung. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Permen ESDM itu, untuk memudahkan pelaksanaan perundingan antara PT PLN (Persero) dan pengembang, Menteri menetapkan harga patokan tertinggi (Kompas.com, 12/3)

Adapun terkait liberalisasi sektor hilir, swasta memang masih belum dibolehkan menjual listrik kepada masyarakat. Namun, liberalisasi itu dilakukan dengan mencabut subsidi dari sebagian besar golongan pelanggan. Ini adalah salah satu inti dari liberalisasi sektor hilir. Bagi Pemerintah, ini yang utama: mencabut subsidi.

Menyalahi Syariah

Liberalisasi listrik itu melengkapi liberalisasi di sektor migas, pengelolaan SDA dan sektor ekonomi lainnya secara umum. Liberalisasi adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalisme neoliberal. Selama kapitalisme neoliberal terus diterapkan di negeri ini, maka liberalisasi itu akan jalan terus dan makin brutal.

Jika saat ini solar masih disubsidi, maka ke depan subsidi itu akan dicabut dan harga solar akan mengikuti harga pasar, sama seperti premium yang sudah diliberalisasi total pada awal tahun ini. Begitu juga harga gas 3 kg, tinggal tunggu waktu saja untuk diliberalisasi. Apalagi sudah ada ungkapan: agar gas 3 kg tidak langka karena pengguna gas 12 kg beralih ke gas 3 kg saat harga gas 12 kg naik, harga gas 3 kg dinaikkan saja. Hal itu dengan mengurangi atau bahkan mencabut subsidi gas 3 kg. Jika saat ini, pelanggan rumah tangga 450 VA dan 900 VA masih mendapat subsidi, maka pencabutan subsidi itu tinggal masalah waktu saja.

Sementara itu, ketidakmampuan Pemerintah membangun proyek kelistrikan terutama karena tidak punya modal sehingga diserahkan kepada swasta, hal itu juga akibat dari penerapan sistem kapitalisme neoliberal. Doktrin kapitalisme neoliberal mengharuskan pengelolaan migas dan kekayaan alam diserahkan kepada swasta. Pemerintah cukup menjadi regulator dan pemilik sebagian saham. Dengan begitu Pemerintah akan kehilangan sebagian besar hasil dari pengelolaan migas dan kekayaan alam lainnya. Padahal semua itu adalah sumber pemasukan yang sangat besar.

Hal itu jelas menyalahi syariah Islam. Islam menetapkan bahwa kekayaan tambang yang depositnya besar adalah milik umum, milik seluruh rakyat. Tambang demikian tidak boleh dikuasai oleh swasta.

Diriwayatkan dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia pernah meminta kepada Rasul saw. agar diberi sebuah tambang garam di daerah Ma’rib. Rasul saw. pun memberikan tambang itu kepada dia. Namun, seorang sahabat segera mengingatkan beliau, “Ya Rasulullah, tahukah engkau, apa yang telah engkau berikan kepada dia? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu (bagaikan) air yang terus mengalir (al-mâ’u al-‘iddu).” Ia (perawi) berkata, “Beliau pun menarik kembali tambang itu dari dia.” (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Rasul saw. juga bersabda:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلاَءِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»

Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).

 

Hadis ini juga menetapkan bahwa sumber energi baik berupa minyak, gas, listrik dan lainnya adalah milik umum, milik seluruh rakyat.

Wajib Dikelola Negara

Pengelolaan semua kekayaan milik rakyat harus dilakukan oleh negara mewakili rakyat. Seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat demi kemaslahatan mereka.

Dengan dikelola langsung oleh negara, maka negara akan memiliki sumber pemasukan yang sangat besar. Negara pun tidak akan kesulitan mewujudkan berbagai proyek untuk kemaslahatan rakyat, seperti proyek kelistrikan, infrastruktur dan lainnya. Itu berbeda dengan negara yang mengadopsi sistem kapitalisme neoliberal yang mengandalkan pemasukan dari pajak dan utang. Untuk memperbesar pemasukan berarti harus memperbesar pajak dan utang, dan itu artinya memperbesar beban yang harus ditanggung rakyat. Ironisnya, kekayaan alam yang berlimpah justru diserahkan kepada swasta dan pihak asing yang tentu saja hasilnya banyak mengalir untuk kemakmuran swasta dan asing itu.

Dengan dikelola oleh negara, negara juga akan mudah mengembangkan proyek yang banyak dipengaruhi oleh hasil kekayaan alam itu, misalnya, pembangkit listrik. Saat ini PLN kesulitan mendapatkan pasokan gas dan batubara karena PLN harus membeli dari perusahaan pemegang kuasa tambang. Negara tidak bisa memaksa perusahaan itu untuk memasok gas dan batubara itu ke PLN. Saat migas, batubara dan sumber-sumber listrik dikelola langsung oleh negara, maka negara bisa dengan mudah mengalokasikan semua itu untuk pembangkit listrik.

Dengan demikian, sebab mendasar dalam masalah listrik, migas, pertambangan dan lainnya adalah penerapan sistem kapitalisme neoliberal. Selama sistem itu terus diadopsi dan diterapkan maka masalah akan terus terjadi silih berganti.

Wahai Kaum Muslim:

Solusi atas semua persoalan di atas adalah dengan kembali pada sistem Islam. Caranya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara total termasuk dalam hal listrik, energi, kekayaan alam dan sebagainya. Pada saat itu, barulah kebaikan dan keberkahan akan bisa meliputi negeri. Allah SWT telah menjanjikan hal itu dalam firman-Nya:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنا عَلَيْهِمْ بَرَكاتٍ مِنَ السَّماءِ وَالْأَرْضِ

Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (TQS al-A’raf [7]: 96).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

 

Komentar al-Islam:

Presiden Joko Widodo akhirnya menyepakati enam paket kebijakan untuk memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. (Kompas.com, 16/3).

  1. Sebab mendasar masalah ekonomi negeri ini adalah penerapan sistem kapitalisme neoliberal. Enam paket kebijakan itu hanyalah bagian dari sistem kapitalisme neoliberal, tidak akan bisa menyelesaikan masalah secara tuntas.
  2. Perbaikan dan penyelesaian masalah perekonomian negeri ini secara tuntas hanya bisa dilakukan dengan menerapkan sistem ekonomi Islam dalam sistem Khilafah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*