Dari al-Harits bin Bilal bin al-Harits, dari ayahnya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَخَذَ مِنَ الْمَعَادِنِ الْقَبَلِيَّةِ الصَّدَقَةَ وَأَنَّهُ أَقْطَعَ بِلاَلَ بْنَ الْحَارِثِ الْعَقِيقَ أَجْمَعَ فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِبِلاَلٍ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ لَمْ يُقْطِعْكَ لِتَحْجُرَهُ عَنِ النَّاسِ لَمْ يُقْطِعْكَ إِلاَّ لِتَعْمَلَ قَالَ فَأَقْطَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لِلنَّاسِ الْعَقِيقَ
“Bahwasannya Rasulullah saw mengambil zakat dari pertambangan al-Qabaliyah. Sementara Rasulullah saw memberi seluruh kawasan al-Aqiq pada Bilal bin al-Harits”. Ketika Umar ra (menjadi Khalifah), maka Umar berkata kepada Bilal: “Rasulullah saw tidak memberimu agar kamu menghalanginya dari masyarakat. Beliau tidak memberimu kecuali untuk dikelola.” Al-Harits berkata: “Lalu Umar bin al-Khaththab memberi al-Aqiq kepada masyarakat.” Hadits ini shahih sesuai syarat Bukahri-Muslim, meski keduanya tidak meriwayatkan. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak ala ash-Shahīhain.
Dengan demikian, maka setiap orang yang memiliki tanah dipaksa untuk membudidayakannya. Untuk itu Baitul Mal akan memberikan dana pada siapa saja yang membutuhkannya untuk bisa membudidayakan tanahnya. Namun, jika ia menelantarkan tanahnya selama tiga tahun, maka negara akan mengambilnya, dan memberikannya kepada orang lain. Dalam hal ini, telah terdapat ijma’ sahabat bahwa siapa saja yang menelantarkan tanahnya selama tiga tahun , maka negara akan mengambil darinya, dan memberikannya kepada orang lain.
Seorang pemilik tanah harus menanami tanahnya, dengan alatnya, benihnya, binatangnya dan pekerjanya, dan untuk menanaminya hendaklah menggunakan para pekerja dimana mereka itu diupah untuk mengerjakannya; dan jika ia tidak mampu, maka negara akan membantunya. Sehingga apabila pemilik tanah tidak menanaminya, maka hendaklah ia memberinya kepada orang lain untuk ditanaminya secara cuma-cuma; dan jika ia tidak melakukan bahkan mempertahankannya dengan menelantarkannya selama tiga tahun, maka tanah yang ditelantarkan selama tiga tahun itu akan diambil oleh negara dan diberikan kepada orang lain.
Yunus menceritakan dari Muhammad bin Ishaq dari Abdullah bin Abu Bakar yang berkata: “Bilal bin al-Harits al-Muzani datang pada Rasulullah saw, lalu ia minta untuk diberi tanah, dan Rasulullah saw memberinya tanah yang sangat luas. Ketika Umar menjadi Khalifah, maka Umar berkata kepadanya: “Wahai Bilal, kamu meminta tanah yang sangat luas pada Rasulullah saw, lalu Rasulullah memberimu tanah yang kamu minta. Rasulullah saw tidak pernah menolak apapun yang diminta kepada beliau. Sedang kamu tidak mampu membudidayakan semua tanah yang kamu kuasai.” Bilal berkata: “Ya, benar!” Kemudian Umar berkata: “Pikirkanlah, berapa dari tanah itu yang kamu kuat membudidayakannya, maka itu tetap kamu miliki. Sedang yang kamu tidak mampu membudidayakannya, serahkan pada kami, maka kami akan membaginya kepada kaum Muslim.” Bilal berkata: “Tidak akan, demi Allah, sedikitpun aku tidak akan memberikan apa yang Rasulullah berikan kepadaku.” Umar berkata: “Demi Allah, aku akan benar-benar melakukannya.” Lalu Umar mengambil tanah yang ia tidak mampu membudidayakannya, kemudian Umar membaginya kepada kaum Muslim.” Hadits ini diriwayatkan oleh Yahya bin Adam dalam kitab al-Kharāj. Dengan ini jelas bahwa jika pemilik tanah tidak mampu membudidayakannya, dan menelantarkannya selama tiga tahun, maka negara akan mengambil darinya, dan memberikannya kepada orang lain, seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khaththab terhadap Bilal al-Muzani terkait tanah pertambangan al-Qabaliyah.
Dengan demikian, setiap pemilik tanah apabila menelantarkan tanahnya selama tiga tahun, maka negara akan mengambil darinya dan memberikannya kepada yang lain, apapun sebab ia memiliki tanahnya itu, “karena yang dinilai adalah penelantarannya terhadap tanah, bukan sebab kepemilikannya”. Hal ini tidak bisa dikatakan bahwa ini merupakan pengambilan harta rakyat secara tidak sah, karena syariah menjadikan untuk kepemilikan tanah makna yang berbeda dari makna kepemilikan harta bergerak, dan berbeda dari makna kepemilikan properti. Syariah menjadikan kepemilikan tanah untuk ditanaminya. Sehingga apabila ia menelantarkannya selama waktu yang ditetapkan syariah, maka hilanglah makna kepemilikannya dari pemiliknya. Syariah telah menjadikan kepemilikan tanah pertanian untuk ditanaminya. Sedang kepemilikannya dari pemberian, warisan, pembelian, dan lainnya. Sementara itu, syariah menjadilkan lepasnya kepemilikan dari pemiliknya, karena menelantarkannya. Semua ini dalam rangka agar tanah terus bisa ditanaminya dan dibudidayakannya.
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 16/3/20015.