Islam Kaffah, Solusi Bagi Seluruh Persoalan Perempuan
HTI Press. Bogor. Beberapa saat sebelum berlangsung Konferensi Perempuan Internasional, dilaksanakan konferensi pers sebagai salah satu rangkaian acara (28/03/2015). Hadir para jurnalis dari berbagai media massa seperti Republika, Metropolitan, kantor berita ANTARA dan Bogorplus.com.
Konferensi pers diawali dengan pembacaan press release oleh Fika Komara (anggota Divisi Muslimah Kantor Media Pusat HT) dan Iffah Ainur Rochmah (Juru Bicara MHTI). Hadir juga Sumayah Ammar (anggota Divisi Muslimah Kantor Media Pusat HT) dari Malaysia.
Dihadapan para jurnalis, Rezkiana Rahmayanti (Moderator) menjelaskan bahwa Konferensi Perempuan Internasional merupakan puncak dari Kampanye Global Perempuan dan Syariah: Memisahkan Realita dari Fiksi.
Wilda, perwakilan dari Republika menanyakan tentang seberapa besar pengaruh KPI ini bagi masyarakat Indonesia. Iffah memberikan gambaran bahwa pengaruh itu terlihat dari antusiasme peserta dalam berbagai diskusi yang diadakan MHTI. Terkait dengan penerapan syariah. Peserta yang hadir sering menayakan apa yang semestinya dilakukan oleh MHTI menghadapi serangan terhadap syariah. Selain itu, juga semakin banyak masyarakat yang ingin dibina oleh MHTI. Konferensi ini hanya salah satu kegiatan, upaya untuk terus mengopinikan tentang perempuan dan syariah. Penerapan syariah dan khilafah tidak bisa hanya sekedar mengadakan konferensi, tetapi harus ada upaya yang terus dilakukan dengan memberikan penyadaran di tengah-tengah umat.
Sementara itu Wieke dari ANTARA, ingin tahu lebih lanjut tentang tema konferensi, Perempuan dan Syariah: Memisahkan Realitas dari Fiksi. Fika Komara memberikan jawaban dengan memberikan gambaran bahwa dunia Arab setelah Arab Spring secara terus menerus membincangkan CEDAW. Dimana CEDAW bertujuan membebaskan perempuan dari keterkekangan atau belenggu syariah yang mendiskriminasi dan mengamputasi hak-hak perempuan. Sementara yang dimaksud dengan realita dan fiksi, karena adanya narasi yang sering dikemukaaan oleh media-media sekuker, misalnya tentang hukum-hukum Islam di Aceh yang diserang. Padahal realitanya tidaklah benar sebagaimana yang dinarasikan oleh media-media sekuler. Syariat Islam sesungguhnya justru memuliakan perempuan. Munculnya permasalahan penerapan syariat Islam saat ini, karena lebih pada tidak diterapkannya secara utuh.
Wieke juga menanyakan tanggapan MHTI terkait dengan banyaknya laki-laki yang memanfaatkan hukum Islam untuk kesenangannya dan membuat derita kaum perempuan, misalnya poligami, waris, sehingga masyarakat menilai bahwa syariat Islam itu tidak adil terhadap perempuan.
Iffah menegaskan bahwa MHTI berperan aktif mengkampanyekan antara haq dan bathil, antara realita dan fiksi. Praktik penerapan syariat yang tidak sempurna, atau diselewengkan, kemudian dievaluasi oleh orang liberal bahwa syariat mengekang perempuan, mendiskreditkan perempuan, menindas perempuan. Ini adalah fiksi, ini adalah bathil.
Sistem sosial dalam Islam menggambarkan pandangan Islam terhadap laki-laki dan perempuan, interaksi diantara keduanya. Syariat Islam, jika diterapkan secara menyeluruh akan melahirkan kehormatan dan kemuliaan terhadap perempuan. Ketika syariat Islam diterapkan sebagai sistem, terbukti secara empiris telah melahirkan kemuliaan perempuan. MHTI menyampaikan kepada semua kalangan bahwa penerapan syariah harus secara komprehensif. MHTI tidak berkompromi dengan sistem sekuler, syariah harus diterapkan secara kaffah. MHTI menolak tegas UU kesetaraan gender secara menyeluruh, karena yang dibutuhkan umat adalah Undang-Undang syariat Islam secara keseluruhan. []