Pengantar:
Sejak pertengahan Februari lalu, Divisi Muslimah Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir meluncurkan kampanye global yang berjudul, “Perempuan dan Syariah: Memisahkan Antara Hak dan Batil”. Kampanye ini menarik dan berani karena berusaha melawan kemapanan narasi bahwa syariah Islam tidak berpihak kepada kaum perempuan.
Untuk mengetahui lebih jauh tujuan politik dari kampanye ini, dalam rubrik Hiwar kali ini, kami mewawancarai Ustadzah Fika Komara selaku Anggota Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir Divisi Perempuan untuk wilayah Asia Tenggara.
Apa latar belakang agenda ini?
Begini. Saat ini ada serangan dan tuduhan massif dari pihak-pihak anti-Islam. Selama ini mereka terus mengabadikan narasi bahwa syariah Islam adalah musuh perempuan dan hak-haknya. Syariah Islam mereka anggap sebagai penyebab penistaan dan perbudakan atas kaum perempuan.
Generasi demi generasi umat ini telah ditenggelamkan dalam hujan informasi yang salah dan mitos yang memperkuat pandangan ini. Akibatnya, ada semacam ketakutan dan kecurigaan terhadap Islam dan penerapan syariah di Dunia Muslim.
Dalam beberapa tahun terakhir, intensitas tuduhan dan kriminalisasi atas syariah Islam kian meningkat melalui banyak corong seperti gerakan-gerakan feminis serta politisi, media dan lembaga-lembaga sekular. Mereka menyerang hukum-hukum sosial Islam, termasuk busana Muslim, hukum waris, juga hak-hak dan tanggung jawab pernikahan. Semua itu mereka tuduh sebagai terbelakang, tidak adil dan diskriminatif terhadap perempuan.
Di sisi lain, banyak proyek dan agenda sekular Barat yang tampak jelas berniat mereformasi hukum Islam yang berkaitan dengan perempuan, baik melalui perjanjian internasional seperti CEDAW, tindakan LSM atau organisasi feminis di dunia Muslim, termasuk mem-Barat-kan hukum-hukum tersebut melalui pemerintah di kawasan tersebut.
Bagaimana desain kampanye ini dibuat agar mampu menjawab semua tuduhan Barat dan kalangan feminis terhadap syariah Islam?
Kampanye ini dirancang dalam tiga tahapan. Harapannya, kampanye ini mampu menjawab secara sistematis berbagai tuduhan keji dan upaya kriminalisasi syariah Islam yang berhubungan dengan hak-hak perempuan. Fase 1: Menantang serangan kaum sekular/liberal terhadap perempuan dan syariah. Fase 2: Mengklarifikasi posisi perempuan dalam pandangan syariah. Fase 3: Membongkar jalan sesat kaum feminis dalam membuat perubahan bagi perempuan dan menjelaskan jalan Islam yang benar.
Dengan begitu, kampanye unik ini akan menantang narasi usang tentang penindasan perempuan di bawah syariah; melawan tuduhan-tuduhan terhadap hukum-hukum Islam tertentu yang berkaitan dengan perempuan serta menjelaskan dasar, nilai-nilai, dan hukum-hukum sistem sosial Islam yang unik serta dampak positifnya terhadap perempuan, anak-anak, kehidupan keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.
Melalui rujukan nas-nas dan sejarah Islam yang jelas serta lembaga-lembaga negara Khilafah masa depan, kampanye ini juga berupaya memvisualisasikan kehidupan perempuan di bawah implementasi syariah yang benar, juga bagaimana penerapannya dalam berbagai bidang masyarakat akan memecahkan banyaknya masalah yang dihadapi perempuan saat ini. Kampanye ini diakhiri dengan penyelenggaraan konferensi perempuan internasional pada tanggal 28 Maret 2015 di lima negara. Salah satunya di Indonesia.
Mengapa konferensi dilaksanakan di lima negara? Mengapa tidak terpusat di satu negara saja?
Ini untuk menunjukkan bahwa perlawanan terhadap narasi busuk Barat terhadap syariah Islam telah meluas dari Barat hingga Timur Dunia Islam. Perlawanan itu justru datang dari kaum Muslimah itu sendiri. Konferensi ini belum pernah terjadi sebelumnya. Ini adalah forum pertemuan tokoh perempuan yang diadakan serentak di lima negara di berbagai benua dari Timur ke Barat, dengan perbincangan yang disiarkan langsung dari masing-masing lokasi kepada audiens internasional.
Hal ini sekaligus menggarisbawahi kian meningkatnya dukungan internasional dan aktivisme politik kaum Muslimah lintas benua untuk penerapan syariah dan pembentukan Khilafah sebagai satu-satunya metode yang efektif bagi jaminan kehormatan perempuan-perempuan di dunia Muslim.
Untuk konteks Asia Tenggara, khususnya Indonesia, apa urgensi kampanye ini disebarluaskan?
Jelas urgen sekali. Pasalnya, serangan massif terhadap syariah Islam yang berkaitan dengan perempuan juga terjadi di kawasan ini; kawasan di ujung timur Dunia Islam. Kita bisa melihat bagaimana jaringan media sekular sangat tendensius dalam memberitakan tentang Qanun Jinayat di Aceh, misalnya; atau penerapan Hudud di Brunei Darussalam dan Malaysia; juga suara miring dari kelompok-kelompok feminis di Indonesia menyoroti perda-perda bernuansa islami yang mereka anggap diskriminatif terhadap perempuan seperti yang terjadi di Tasikmalaya, Bulukumba, Tangerang, Makassar, dan lain sebagainya.
Barat dan kelompok-kelompok feminis rupanya berusaha menutupi jejak syariah Islam di bumi Nusantara ini. Penerapan syariah Islam sebenarnya banyak disebut sejarahwan sebagai era keemasan Nusantara. Saat itu nyaris tidak pernah terdengar praktik eksploitasi ekonomi perempuan seperti hari ini. Bangsa ini perlu menyadari bahwa Islam pernah mengantarkan Nusantara pada puncak keemasannya dan kesejahteraan selama lebih dari tiga abad, sementara kolonialisme Barat memiskinkan mereka hingga hari ini.
Bagaimana sebenarnya modus dan strategi Barat dalam menyerang syariah Islam di berbagai wilayah Dunia Islam?
Pada prinsipnya Barat akan selalu berusaha menghalangi penerapan syariah di negeri-negeri Muslim karena mereka menderita sindrom syariah phobia. Setidaknya, ada dua strategi Barat dalam meredam kebangkitan dan perjuangan umat Islam: stigmatisasi dan lokalisasi. Untuk yang pertama, yakni stigmatisasi, adalah seperti yang direkomendasikan Cheryl Benard, peneliti The Rand Corporation yang kerap menjadi rujukan politisi Barat. Dalam laporannya yang berjudul, “Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies,” Cheryl menulis beberapa ide yang harus terus-menerus diangkat untuk menjelekkan citra Islam antara lain pelanggaran demokrasi dan HAM, poligami, sanksi kriminal, keadilan Islam, minoritas, pakaian wanita, dan kebolehan suami untuk memukul istri.
Adapun strategi kedua, yakni lokalisasi, terjadi jika perjuangan umat terlampau kuat atau telah melahirkan konflik berkepanjangan. Pada strategi kedua ini, Barat ingin memastikan bahwa penerapan Islam tidak hanya bersifat lokal dan parsial, tetapi juga tunduk pada ideologi sekular dan nilai-nilai HAM dan demokrasi. Inilah yang terjadi di Aceh, yakni diberi kewenangan otonomi pada Aceh yang sekarang disebut sebagai daerah istimewa. Modus yang sama bisa kita lihat pada kasus Muslim Moro di Filipina Selatan yang saat ini telah menandatangani perjanjian komprehensif dengan pemerintah Filipina dan akan segera diberi wilayah otonomi khusus.
Khusus untuk strategi kedua ini, dalam paper berjudul, “Governing Under Sharia (2013),” lembaga think tank CFR (Council on Foreign Relation) yang berbasis di Washington AS memetakan bahwa syariah bisa menjadi bagian dari “negara Islam modern” melalui tiga cara: (1) melalui konstitusi nasional (national constitution); (2) perundangan nasional (national law); (3) perundangan daerah (sub national law).
Dari ketiga pilihan ini jelas terlihat bahwa hukum syariah tetap menjadi subordinat di bawah konstitusi/UUD sekular dan tatanan sistem negara-bangsa yang berlaku hari ini. Aplikasi dual legal system atau sistem hukum ganda dengan menerapkan sebagian hukum ‘uqubat, pernikahan, waris dan perwalian tetap saja membuat keseluruhan hukum syariah tidak diterapkan. Sama sekali tidak ada ruang buat penerapan Islam secara global di bawah sistem Khilafah yang merupakan kepemimpinan politik umat Islam secara internasional.
Bagaimana sebenarnya pandangan syariah Islam tentang perempuan, hak-hak dan martabat mereka?
Syariah menurut istilah syar’i bermakna perundang-undangan yang diturunkan oleh Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya baik dalam persoalan akidah, ibadah, akhlak, muamalah maupun sistem kehidupan lain seperti politik, ekonomi, pidana, pendidikan, dan sosial budaya untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Syariah Islam menegaskan bahwa perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga. Karena itu syariah Islam melarang segala bentuk aktivitas yang merendahkan perempuan. Hanya Islam sajalah yang memiliki nilai-nilai mulia dan benar-benar bertanggung jawab dalam menjaga kehormatan perempuan. Islam bahkan mewajibkan laki-laki untuk mengorbankan hidup mereka demi membela kehormatan perempuan, sebagaimana sabda Nabi saw., “Innama an-nisa’ syaqa’iq ar-rijal, ma akramahunna illa karim wa ma ahanahunna illa la’im (Perempuan adalah saudara kandung para lelaki. Tidaklah memuliakan perempuan kecuali orang mulia dan tidak menghinakan mereka kecuali orang hina).
Apa yang dibutuhkan agar hak, martabat dan kesejahteraan kaum Muslimah di seluruh dunia terjamin pemenuhannya?
Yang dibutuhkan jelas adalah penerapan syariah Islam secara totalitas (menyeluruh) di bawah naungan negara Khilafah agar rahmat-Nya terasa pada seluruh umat manusia, termasuk kaum perempuan. Penerapan sebagian syariah Islam tidak akan bisa menyelesaikan masalah secara menyeluruh dan tujuan-tujuan penerapan syariah Islam tidak bisa direalisasikan secara utuh. Apalagi Allah SWT telah menegaskan dalam al-Quran bahwa hal itu termasuk dosa besar, sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Baqarah ayat 85.
Khilafah akan menjelma menjadi negara tempat perempuan akan merasa aman ketika mereka tinggal di dalam rumah maupun keluar rumah. Khilafah adalah sistem yang memberikan kesempatan kepada perempuan berkontribusi aktif di bidang politik, pendidikan dan dalam kehidupan sosial mereka serta membebaskan kaum perempuan dari pelecehan di ruang publik. Khilafah menawarkan strategi yang jelas untuk melindungi kehormatan perempuan di tengah-tengah masyarakat melalui nilai-nilai dan hukum Islam yang saling melengkapi. Di dalam Khilafah, syariah tidak hanya diterapkan dalam masalah ‘uqubat (sanksi) seperti hudud, namun dalam segala aspek termasuk ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dll. []