MHTI Provinsi Banten Ajak Mubalighah untuk Menyelamatkan Perempuan, Keluarga dan Generasi Melalui Penegakan Khilafah

10411736_793317067419213_9209435526365513136_n

HTI Press. Banten. Bertempat di Aula Graha Pena Radar Banten tidak kurang dari 80 an asatidzah dan Muballighah yang berasal dari Banten dan sekitarnya (Cilegon, Pandeglang, Serang, Tangerang, Cikupa, Pasar Kemis, Binong, Serpong, Ciledug), menghadiri liqa mubalighah terbatas ini (22/03/2015). Beberapa peserta terpaksa harus berdiri di belakang karena peserta yang hadir melebihi kuota yang ditargetkan panitia. Liqa ini mengangkat Tema “Peran Politik Mubalighah Dalam Menghadapi Serangan Neoliberalisme dan Neoimperialisme”.

Ustadzah Nasroh, S.Ag mengatakan, kaidah berfikir yang salah dan penafsiran nash yg serampangan minus ilmu menjadi senjata utama para feminis muslim dalam mencekokkan pemikirannya ke benak-benak kaum muslimin. Seolah berasal dari Islam, dengan gegabah mereka menggugat batasan aurat wanita bahkan membolehkan perempuan menjadi imam bagi lelaki. Lebih jauh, pandangan materialistik yang mendominasi, membuat para feminis menyerukan agar para perempuan terjun ke ruang publik.  Semata-mata agar eksistensi mereka tak kalah dari para lelaki. “Kenyataan bahwa Balqis menjadi ratu bagi negeri Saba mereka jadikan dalil atas kebolehan perempuan menjadi pemimpin negara. Padahal itu adalah syariat sebelum datang Islam.

Pembicara kedua, Ustadzah Nurul Mahfudzah, S.Si,  menyatakan bahwa penjajahan militer memang sudah selesai. Namun secara de facto Indonesia masih terjajah secara ekonomi dan politik. Para negara penjajah menanamkan agen-agen untuk terus menjaga kepentingan mereka di negeri jajahan. Salah satu bentuk penjajahan ini adalah pembiayaan yg massif terhadap program-program pemerintah berorientasi gender (Pengarusutamaan Gender/PUG). Program-progran yang tampaknya membela perempuan ini justru sebenarnya menggeser perempuan dari kemuliaannya di sisi Allah. Fitrah perempuan sebagai ummu wa rabbatul bayt digantikan sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Padahal hukum bekerja dalam Islam adalah mubah (boleh). Namun saat ini seolah menjadi wajib jika tak ingin kaum wanita dianggap sebagai ‘benalu’ dalam keluarga.

Program-program ini akhirnya tidak hanya menyasar para perempuan sebagai korban tapi juga menjadikan keluarga dan generasi sebagai tumbalnya. Sehingga, sesungguhnya, tengah terjadi pemusnahan entitas keluarga dan generasi muslim di negeri-negeri muslim itu sendiri.

Pemateri ketiga, Ustadzah Sherly Agustina, M.Ag. mengajak seluruh komponen ummat untuk bersinergi dalam menangkal bahaya yang mengancam kaum muslimin. Para muballighah dan asatidzah harus berada di tempat terdepan dalam menyadarkan umat akan adanya bahaya ini, untuk kemudian membekali umat dengan ilmu yang cukup agar dapat menghadapinya. Dakwah yang diserukan kepada umat pun tidak bisa lagi secara individual, melainkan jama’i, “Ibarat nyiru (sapu lidi), takkan bisa menyapu sampah jika bekerja sendiri-sendiri, melainkan harus disatukan dalam ikatan yg kuat.” Dakwah kepada umat pun harus ditujukan untuk menegakkan kembali institusi Khilafah Islamiyyah. Tanpa institusi ini, kaum muslimin tidak akan memiliki kekuatan riil, dan tak memiliki pembela kepentingan-kepentingan mereka. []

20907_793317050752548_5800850075375181432_n

IMG-20150322-WA0004

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*