Waspadai ‘Monsterisasi’ dan Kriminalisasi Dakwah Islam

[Al-Islam 751, 20 Jumaduts Tsaniyah 1436 H – 10 April 2015 M]

Sebagaimana ramai diberitakan, Kemenkominfo memblokir 19 media Islam online sejak Minggu (29/3). Pemblokiran itu didasarkan pada laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Oleh BNPT, semua situs Islam tersebut dituding menyebarkan paham radikal (Antaranews.com, 1/4).

Reaksi keras dari berbagai pihak bermunculan. Pemblokiran itu dianggap serampangan dan terkesan menyasar dakwah Islam.

Karena reaksi keras masyarakat, Kemenkominfo dan BNPT akhirnya terkesan saling lempar tanggung jawab dan tak mau disalahkan. Kemenkominfo mengaku hanya pelaksana teknis pemblokiran. Pemblokiran dilakukan karena usulan dari BNPT. Sebaliknya, Kepala BNPT Saud Usman menyatakan, BNPT hanya melaporkan bahwa ada berita-berita yang dianggap negatif seperti terkait radikalisme kepada Kemenkominfo (Jawapos.com, 5/4).

Tontonan ini menyiratkan cara Pemerintah mengatur negeri ini amburadul. Tontonan ini melengkapi tontonan serupa dalam banyak masalah yang terjadi di era rezim Jokowi-JK yang baru berlangsung enam bulan ini, termasuk dalam kasus baru-baru ini yaitu tunjangan pembelian mobil untuk pejabat.

Sewenang-wenang dan Zalim

Pemblokiran situs-situs Islam itu menjadi pertanda buruk bagi kembalinya bibit-bibit kebijakan represif (sewenang-wenang) ala Orde Baru. Pemerintah juga terlihat bertindak otoriter (kejam). Pemerintah seharusnya mengedepankan dialog sebelum memblokir situs yang dituding sebagai penyebar ajaran radikal itu. Sayang, atas nama memberantas ISIS, Pemerintah langsung secara sewenang-wenang memblokir situs-situs Islam tanpa peringatan dan dialog terlebih dulu. Padahal kebanyakan situs Islam yang diblokir adalah situs dakwah Islam biasa. Sebagiannya malah menentang paham dan tindakan ISIS.

Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie berpendapat, saat ini Pemerintah terkesan “main sikat” tanpa melakukan kajian terlebih dulu (Kompas.com, 1/4).

Pemblokiran situs-situs itu juga dinilai tidak tepat. Pengamat masalah cyber, Fami Fahruddin, menilai pernyataan BNPT soal alasan pemblokiran situs yang dianggap radikal masih lemah. Pasalnya, hal itu tidak berdasarkan pada aturan yang sesuai (Liputan6.com, 4/4).

Pemblokiran situs didasarkan pada penilaian sepihak dan tanpa disertai dengan dialog tentang kriteria kriteria situs radikal atau yang berisi radikalisme. Hal itu diakui oleh Kepala BNPT Saud Usman. Menurut dia, seperti dikutip Beritasatu.com (5/4), ternyata definisi radikal ataupun terorisme sesungguhnya belum jelas. Anehnya, berbekal pada pengertian radikal yang dia akui subjektif itu, BNPT mengambil langkah tegas untuk meminta pemblokiran dengan pertimbangan mengerem penyebaran paham radikal. Saud mengungkapkan, suatu situs dipandang bermuatan negatif jika menyebarkan paham anarkis seperti: terorisme; mengandung unsur SARA, mengandung penyebaran paham-paham takfiri (mengkafirkan pihak lain); berkaitan dengan organisasi radikal; serta mengandung unsur-unsur kebencian, kekerasan, ancaman dan anjuran untuk berjihad.

Bisa dikatakan, dengan itu Pemerintah melalui BNPT ingin memaksakan satu bentuk penafsiran versi mereka terhadap masyarakat. Tafsiran itu lalu dijadikan dasar melakukan tindakan hokum oleh Pemerintah. Padahal justru tindakan seperti itu yang selama ini dinilai radikal, yakni memaksakan penafsiran sendiri terhadap pihak lain. Jika begitu, ke depan bisa jadi, asal ada kata tertentu yang dinilai sebagai konten negatif, situs atau lembaga pemberitaan lainnya ditindak begitu saja.

Bahkan jika keterusan, dengan dalih memberantas radikalisme, tidakan pemberangusan media ini bisa dijadikan alat untuk membungkam sikap kritis terhadap Pemerintah dan terhadap berbagai kezaliman yang dilakukan oleh negara-negara penjajah, khususnya di negeri-negeri Islam.

Peluang hal itu terjadi ada. Irfan Idris dari BNPT (Republika, 2/4/15) menyatakan bahwa menunjukkan kebencian kepada Pemerintah juga masuk kategori radikal. Di salah satu televisi swasta pada Rabu (1/4) pagi, Irfan Idris menambahkan, pemberitaan soal kemiskinan dan arogansi negara adidaya juga bisa memicu radikalisme.

Tak salah kiranya jika pemblokiran situs-situs Islam dengan alasan radikalisme itu membawa pertanda buruk bagi kembalinya bibit-bibit tindakan represif (sewenang-wenang) dan otoriter (kejam) yang dilakukan oleh Pemerintah. Juga tak berlebihan jika dikhawatirkan semua itu akan dijadikan alat untuk membungkam suara-suara kritis terhadap kebijakan Pemerintah yang zalim.

Waspadai ‘Monsterisasi’ dan Kriminalisasi Dakwah Islam

Kebijakan Pemerintah yang sewenang-wenang di atas juga dikhawatirkan akan menjadi semacam proses ‘monsterisasi’ dan kriminalisasi ajaran dan dakwah Islam. Monsterisasi terjadi karena pemblokiran situs-situs Islam itu dikhawatirkan akan membangun gambaran negatif tentang Islam dan ajaran Islam. Akibatnya, di masyarakat akan tertanam kesan bahwa Islam dan ajarannya seolah monster yang menakutkan.

Tindakan sewenang-wenang Pemerintah juga akan menambah daftar kriminalisasi terhadap ajaran, simbol dan dakwah Islam. Hanya karena membawa bendera tauhid, misalnya, orang dicap sebagai simpasitan ISIS. Hanya karena memakai cadar, Muslimah dicurigai sebagai anggota kelompok radikal. Hanya karena menyuarakan syariah dan Khilafah, mereka yang menyuarakan itu dianggap sebagai ancaman.

Jihad pun, sebagai bagian dari ajaran Islam, dianggap sebagai kejahatan. Salah satu kriteria radikal ala BNPT adalah memaknai jihad secara terbatas. Dengan kriteria itu, jihad dalam makna perang dan seruan untuk itu dianggap sebagai kriminal. Padahal jihad dalam kitab-kitab fikih para fuqaha secara syar’i dimaknai perang di jalan Allah SWT untuk meninggikan kalimat-Nya baik langsung atau tak langsung. Memang benar, secara bahasa jihad bermakna mengerahkan segenap daya upaya. Namun, menjadikan makna bahasa itu sebagai makna jihad secara syar’i justru akan membelokkan konsep jihad. Sebab, jihad itu berkaitan dengan banyak hukum termasuk hukum tentang syahidnya orang yang meninggal di dalam jihad. Tidak ada seorang pun ulama yang menilai orang yang meninggal ketika bekerja keras mencari nafkah, atau menuntut ilmu, atau menahan hawa nafsu sebagai orang yang mati syahid, meski sekadar syahid akhirat sekalipun.

Memaknai jihad secara syar’i sebagai perang di jalan Allah tidak serta-merta menjadikan orang melakukan tindak kekerasan. Pasalnya, banyak hukum dan ketentuan syariah yang menjelaskan bagaimana jihad itu dilaksanakan. Menyimpulkan bahwa pemaknaan jihad sebagai perang akan mengantarkan orang melakukan kekerasan merupakan kesimpulan yang sembrono jika tidak dikatakan bodoh.

Lebih dari itu, jihad dalam arti perang itu pada faktanya berperan besar dalam kemerdekaan negeri ini. Semangat jihadlah yang dulu mengobarkan perlawanan umat Islam terhadap penjajah. Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Hadhratusy-Syaikh KH Hasyim As’ariy pada November 1945 dulu adalah juga jihad dalam makna perang. Resolusi Jihad itu membangkitkan semangat umat Islam sehingga bisa mengalahkan penjajah kala itu. Andai Resolusi Jihad itu tidak dimaknai perang, entah sejarah besar itu terjadi atau tidak, bahkan entah negeri ini merdeka atau tidak.

Pemblokiran situs Islam dan propaganda besar-besaran seputar radikalisme itu juga akan berpotensi menjadi ‘monsterisasi’ dan kriminalisasi yang berdampak pada umat Islam. Hal itu akan bisa membuat umat Islam merasa takut untuk sekadar ikut pengajian, misalnya, karena takut dicap radikal.

Lebih buruk lagi jika akhirnya kriminalisasi itu kebablasan, misalnya dengan menganggap seruan penerapan syariah dan penegakan Khilafah ar-Rasyidah sebagai ancaman.

Padahal Islam ini diturunkan agar menjadi rahmat[an] lil ‘alamin. Allah SWT berfirman:

]وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ[

Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (TQS al-Anbiya’ [21]: 107)

Rahmat[an] lil ‘alamin itu menjadi sifat dari Islam secara keseluruhan; akidah, syariah dan hukum-hukumnya termasuk khilafah, jihad, hudud, dll. Karena itu rahmat[an] lil ‘alamin secara sempurna hanya akan terwujud ketika Islam secara keseluruhan diterapkan secara nyata di tengah-tengah kehidupan. Penerapan Islam secara menyeluruh itu tidak lain melalui Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Dengan demikian justru penerapan syariah secara totalitas dalam institusi Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah itulah yang harus diperjuangkan untuk mewujudkan rahmat[an] lil ‘alamin. Ketika itu terjadi, keberkahan akan benar-benar meliputi negeri dari segala sisi.

]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ… [

Jika saja penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi… (TQS al-A’raf [7]: 96).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar al-Islam:

Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memerintahkan Perpres Nomor 39/2015 yang mengatur kenaikan tunjangan uang muka kendaraan pejabat dicabut (Republika, 7/4).

  1. Anehnya, Jokowi mengaku tidak membaca terlebih dulu Perpres tersebut dan langsung ditandatangani saja. Padahal Perpres adalah peraturan yang dikeluarkan Presiden.
  2. Ini menambah daftar keanehan di negeri ini: awalnya berjanji tidak akan bagi-bagi jabatan, nyatanya bagi-bagi; keanehan polemik calon Kapolri yang tak beres; impor sapi awalnya dilarang, tetapi kemudian dibolehkan; impor beras semula dilarang, ternyata diatur resmi agar bisa tetap impor; rapat PNS tidak boleh dihotel, lalu kembali dibolehkan; dsb.
  3. Bagaimana negeri ini terurus dengan baik jika berbagai ketidakberesan itu terus dipertontonkan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*