Tahun 2015 merupakan puncak jeritan rakyat. Aksi mahasiswa dan buruh mewarnai kondisi negeri ini tak terkecuali Aceh. Kondisi kemiskinan ini diperparah dengan pengangguran yang terus meningkat. Menurut data BPS September 2014, jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh mencapai 837.000 orang atau sekitar 16,98%. (Harian Medan Bisnis,08/01/2015). Bahkan yang lebih ironis adalah Aceh termasuk dalam tiga besar tingkat kemiskinan se Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat jumlah pengangguran di Aceh per Maret 2014 mencapai 145 ribu orang. (Okezonenews, 10/09/2014)
Tidak dapat dipungkiri bahwa meningkatnya kemiskinan dan pengangguran akan menimbulkan ancaman yang lainnya berupa tindakan kriminal. Terbukti bahwa pada tahun ini tindakan kriminal mencapai 174 kasus (baca : kasus yang terdata). Sebagai warga negara Indonesia khususnya masyarakat Aceh tentu merasa khawatir akan masa depan yang penuh dengan persaingan. Himpitan ekonomi dan lapangan kerja yang sempit diperparah dengan kehadiran MEA 2015 akan semakin mengancam kehidupan masyarakat Aceh.
Jika kita menelusuri lebih mendalam akan kita temui bahwa kekayaan alam di Indonesia khususnya Aceh begitu dinikmati oleh sekelompok orang saja (baca : Pemilik modal) baik dari pihak swasta asing maupun swasta dalam negeri. Suatu hal yang wajar bila APBA nanggroe ini kurang, sebab SDA yang menjadi pemasukan terbesar kas negara beralih ke kantong pemilik modal, akibatnya adalah pembangunan dan kebutuhan rakyat menjadi terhambat.
Untuk menjalankan pembangunan dan memenuhi kebutuhan rakyat, Indonesia termasuk Aceh yang menerapkan sistem Kapitalisme menempuh langkah berupa kenaikan pembayaran pajak, mengambil jalan pintas berupa hutang ke luar negeri, memangkas Subsidi dan merangkul para investor untuk menanamkan modalnya di negeri yang mempesona ini. Menurut perincian Peraturan Menteri Keuangan (PMK) pendapatan Aceh yang bersumber dari dana bagi hasil pajak atau bagi hasil bukan pajak yang dimuat dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri sebesar Rp 468 miliar, dan pendapatan Aceh yang bersumber dari pajak sebesar Rp 622 miliar. Sedangkan tambahan dana dari bagi hasil minyak dan gas bumi hanya sebesar Rp 827 miliar. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa pemasukan APBA lebih dominan dari pembayaran pajak bukan dari pengelolaan SDA yang melimpah. (Tempo.co, 25/02/2013)
Akar permasalahan kemiskinan dan pengangguran tidak hanya terletak pada pemimpin yang membuat kebijakan, sistem yang diterapkan di negeri ini juga perlu dikoreksi lagi. Pasalnya sistem Demokrasi-Kapitalisme tidak mampu menyelesaikan permasalahan rakyat secara keseluruhan, melainkan bersifat parsial (sementara). Dalam sistem ekonomi Kapitalis memberikan kebebasan kepada siapa saja untuk menguasai SDA, karena bagi sistem ini kepemilikan umum adalah kepemilikan individu. Tentu ini adalah pandangan yang bathil dan merugikan negara. Namun berbeda halnya dengan sistem perekonomian Islam yang memandang bahwa kepemilikan umum harus dikelola oleh negara yang hasilnya akan diserahkan kepada umat dalam bentuk pembangunan, pelayanan pendidikan, kesehatan dan sebagainya.
Selain itu juga penerapan konsep ribawi oleh sistem kapitalis adalah awal hancurnya ekonomi bangsa. Ditambah lagi dengan konsep ekonomi sektor non real yang juga berefek pada ambruknya ekonomi. Satu-satunya solusi untuk mengakhiri kemiskinan dan pengangguran adalah dengan menjalankan sistem perekonomian Islam secara menyeluruh. Namun hal ini tidak akan pernah terjadi bila sistem Islam diterapkan dalam negara sekuler, melainkan harus tegak dalam negaranya sendiri yaitu Khilafah. Saatnya bersyariah dan tinggalkan sistem Demokrasi-Kapitalisme.[]