Menyorot Watak Neoimperialis AS dalam Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika
Oleh: Pratma Julia Sunjandari (Lajnah Siyasi DPP MHTI)
Sekalipun Presiden Joko Widodo secara khusus menugaskan Kelompok Kerja Penguatan Diplomasi Ekonomi Kementerian Luar Negeri untuk menjadikan peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) sebagai sarana untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, sulit untuk menampik realitas bahwa perhelatan itu bebas dari intervensi Amerika Serikat. Hingga saat ini, kendali politik internasional masih berada di tangan AS. Sehingga tidak mungkin peristiwa-peristiwa politik fenomenal terjadi tanpa campur tangannya.
Dalam aktivitas politik, perundingan menjadi aspek penting dalam menjaga hubungan internasional dan pemecahan masalah internasional. Sejarah mencatat, melalui meja perundingan negara yang menduduki peran sebagai pemain utama dapat mendiktekan kemauannya terhadap rezim pemerintahan yang dikendalikannya. Pertemuan KAA yang berlangsung tanggal 19 -22 April 2015 itu akan fokus pada pembahasan tiga dokumen yaitu Bandung Message, Declaration of Re-invigorating New Asia Africa Strategic Partnership dan Declaration on Palestine.
Wakil Menteri Luar Negeri A M. Fachir menyatakan bahwa isi Bandung Message di antaranya tentang ihwal penyelesaian masalah negara yang sedang bersengketa dan arah pembangunan negara-negara Asia-Afrika, baik politik, keamanan, ekonomi, maupun sosial, terutama interaksi people to people. Mekanisme people to people yang awalnya digagas Presiden AS Dwight D. Eisenhower pada tahun 1956 telah menjadi andalan diplomasi personal dan kontak nonpemerintah di berbagai negara.
Sedangkan Declaration of Reinvigorating The New Asian-African Strategic Partnership (The NAASP) akan menjadi peneguhan kembali solidaritas, persahabatan dan kerja sama negara selatan-selatan. NAASP dibentuk demi mengukuhkan kemitraan antarnegara di benua Asia dan Afrika pada 2005, saat peringatan 50 tahun KAA digelar. Delapan fokus area NAASP amat kental dengan kepentingan global AS. Yakni menangkal terorisme, menangani kejahatan lintas negara, keamanan pangan, keamanan energi, industri kecil dan menengah, pariwisata, jaringan universitas Asia-Afrika dan kesetaraan gender.
Ketiga dokumen utama KAA itu telah dibahas dan dirundingkan dalam empat putaran oleh sepertiga negara-negara Asia dan Afrika sejak akhir Januari di New York. Karena itu sekalipun tiga dokumen itu memuat spirit Asia Afrika, namun menjadikan New York sebagai tempat untuk membahas hasil konferensi, menguatkan kesan bahwa AS memainkan peran sentral dalam momen tersebut.
Kepentingan Ekonomi AS di Asia dan Afrika
Dokumen 2015 US National Security Strategy yang dirilis oleh Gedung Putih pada Februari 2015, menjadikan Asia dan Afrika sebagai salah satu perhatian penting AS. Fokus terhadap wilayah tesebut tak bisa dipisahkan dengan kondisi perekonomian AS yang tak kunjung sehat. Dalam epaperkompas, 4 April 2015 disebutkan bahwa AS mengalami tingkat pengangguran relatif tinggi, ketimpangan pendapatan memburuk, utang bertambah dan produktivitas tidak bergerak naik. Joseph E Stiglitz -penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2001- dengan gamblang menyatakan sistem ekonomi AS sebagai sebuah sistem ekonomi yang gagal. Paul Krugman -penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2008- menguatkan pendapat Stiglitz. Menurutnya, AS berada dalam situasi ekonomi dengan inflasi rendah yang menandakan permintaan rendah, pengangguran 5,5 persen dan produktivitas yang tak membaik. Bahkan penguatan kurs dollar AS justru tidak baik bagi AS karena menghantam daya saing ekspor.
Kegagalan sistem ekonomi kapitalis AS tercermin pula pada pelemahan serikat pekerja sehingga posisi mereka terhadap pemilik modal pun ikut melemah. Wall Street sebagai korporasi keuangan raksasa terbukti terlibat manipulasi keuangan lewat pemalsuan suku bunga, kurs, dan transaksi derivatif. Utang Pemerintah AS mencapai jumlah fantantis, 18,1 triliun dollar AS. Kejahatan korporasi AS ikut memperburuk keadaan karena kerap melakukan upaya penghindaran dan penggelapan pajak. Sebagian warga AS juga kedapatan menghindari pajak lewat sistem perbankan Swiss.
Berharap kondisi ekonomi dalam negri AS membaik, jelas tak mungkin. Apalagi ketika riset menyimpulkan, selama 5 tahun ke depan, hampir setengah dari semua pertumbuhan di luar Amerika Serikat diperkirakan berasal dari Asia. Pernyataan Deputi Bidang Politik Sekretaris Wakil Presiden, Dewi Fortuna Anwar dalam diskusi bertajuk “Asia and Africa: Where Are We Now and Where We Are Heading” (10/4), yang digelar Komunitas Kebijakan Luar Negeri Indonesia (FPCI) di Jakarta menguatkan kesimpulan itu. Dewi menyatakan kemajuan ekonomi Asia diharapkan tidak hanya menyejahterakan rakyat Asia, tetapi juga menjadi motor penggerak kemajuan ekonomi di negara-negara di kawasan lain (epaperkompas, 11/4/15). Pernyataan itu seakan menjadi jaminan bahwa kawasan Asia mampu mengembalikan kemakmuran (prosperity) AS. Tentu saja AS memerlukan mekanisme untuk menjajah Asia lebih-lebih dalam. Agenda liberalisasi ekonomi masih menjadi andalan karena kian menghilangkan kedaulatan pemerintah lokal dalam mencegah korporasi global untuk merampok SDA dan SDM mereka.
Ambisi AS untuk menguasai dua-pertiga zona perdagangan ekonomi bebas, dilakukan dengan menggiatkan kesepakatan melalui Trans-Pacific Partnership (Kemitraan Trans-Pasifik) dan Transatlantic Trade and Investment Partnership (Kemitraan Perdagangan dan Investasi Kemitraan Trans-Atlantik/T-TIP). AS juga memperkuat kemitraan dengan lembaga-lembaga regional seperti ASEAN, East Asia Summit dan APEC (Asia Pacific Economic Cooperation).
Sedangkan di Afrika, AS sadar betul untuk menjadikan benua hitam ini sebagai investasi masa depan. Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Yuri Octavian Thamrin mengatakan pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara Afrika cukup tinggi, bahkan mencapai 7 persen. Di Nigeria pertumbuhan kelas menengah yang tinggi akan menciptakan konsumsi yang tinggi dan menggerakkan ekonomi (epaperkompas, 11/4/15).
AS memperluas perdagangan bebas di Afrika dengan meluncurkan inisiatif African Growth and Opportunity Act (AGOA) dan program pembangunan seperti Power Africa, Trade Africa, Feed the Future, dan Open Government Partnership. Seperti halnya di Indonesia, semua program itu bertujuan untuk memperbesar peran swasta, terutama masuknya investor asing yang akan menanamkan investasi di bidang infrastruktur demi memfasilitasi perdagangan global. Melalui AGOA perusahaan AS bebas melakukan investasi yang kian gencar seiring kampanye Doing Business.
Penancapan neoimperialisme AS masih menggunakan upaya klasik, melalui penguasaan sumber energi minyak dan gas selain perdagangan dan investasi. Dengan dalih untuk menyerap tenaga kerja mereka tetap memobilisasi tenaga kerja murah yang ikut melibatkan perempuan melalui isu pemberdayaan perempuan. Kebutuhan SDM akan mereka cukupi melalui program wajib sekolah sejak usia dini hingga perguruan tinggi. Program ini selaras dengan program kesetaraan gender yang mewajibkan anak-anak perempuan mengecap bangku sekolah. Tujuannya, agar mereka memiliki ketrampilan yang siap dieksploitasi dalam industri danprogram-program pemberdayaan ekonomi. Bahkan kemampuan AS dalam berinovasi terhadap teknologi, mensyaratkan kemampuan pasar untuk menyerap produknya. Karena itu pasar (baca : negara berkembang) harus menyiapkan diri dengan SDM yang menguasai science, technology, engineering, and mathematics (STEM) demi mengoperasikan teknologi canggih yang mereka produksi. Cara itu disambut oleh dunia berkembang. Bahkan jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS) dengan terang-terangan menyediakan jatah kursi di jurusan itu lebih banyak untuk mahasiswa perempuan demi gender dan ketersediaan tenaga yang menguasai STEM.
Hegemoni Politik AS melalui Penanaman Nilai-nilai Amerika
Di seluruh dunia, dominasi politik, militer, dan ekonomi AS menjadi strategi utama untuk mengeksploitasi manfaat-manfaat material dan menyebarkan kapitalisme pada banyak bidang. Termasuk dalam upaya untuk membendung pengaruh ideologi lawan, yakni Islam. Asia dan Afrika adalah habitat asli dunia Islam yang terbentang sejak Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Tengah hingga Asia Tenggara. Bagaimanapun juga neoimperialisme AS tidak akan mulus jika tidak disertai penanaman nilai. Untuk memimpin dunia yang selalu mengalami perubahan politik, AS harus terus mempromosikan nilai-nilai keamerikaannya, yakni demokrasi dan HAM.
Secara khusus AS menaruh perhatian penting agar pertumbuhan ekonomi kapitalistik sejalan dengan penguatan demokrasi melalui kemitraan dengan Vietnam, Indonesia, dan Malaysia. Di Asia Selatan, kemitraan strategis dilakukan dengan India dan Pakistan untuk mempromosikan stabilitas strategis, antiterorisme, dan memajukan integrasi ekonomi regional di Selatan dan Asia Tengah.
Yang diinvestasikan AS tak hanya modal tapi juga SDM masa depan seperti pemimpin-muda, pengusaha, inovator, masyarakat sipil, dan pegawai negeri. Perempuan, generasi muda, masyarakat madani, pers, dan pengusaha dianggap sebagai pemicu perubahan (agent of change). Bandung Message yang menekankan interaksi people to people jelas akan menonjolkan peran agen perubahan untuk mempromosikan nilai-nilai keamerikaan. Bisa jadi deklarasi itu diinspirasi oleh Dasasila Bandung yang dirumuskan saat KAA 1955, yang telah memuat nilai-nilai HAM (sila 1) dan pluralisme (sila 3).
Demikian pula jika menilik dua fokus Declaration of Reinvigorating The New Asian-African Strategic Partnership (The NAASP) yang membidik jaringan universitas Asia-Afrika dan kesetaraan gender. Fokus tersebut sejalan dengan isi 2015 US National Security Strategy dalam bab Values yang menyatakan AS sedang membangun koalisi dengan masyarakat sipil, tokoh agama, bisnis, pemerintah dan organisasi internasional untuk menderaskan nilai-nilai Amerika berupa kebebasan berbicara, ibadah, kemampuan untuk memilih pemimpin secara demokratis dan lain-lain. Termasuk memberi ruang bagi komunitas yang rentan terhadap tindak pelecehan seperti etnis dan agama minoritas, penyandang cacat, Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), pengungsi dan pekerja migran. Maka kalangan akademisi dan pegiat feminism mendapat peran untuk mempopulerkan semua bualan Amerika itu.
Bahkan dengan mengatasnamakan demokrasi dan HAM, AS bersikukuh untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina melalui solusi dua-negara yang menjamin keamanan Israel dan kelangsungan hidup Palestina. Komitmen itu sejalan dengan Declaration on Palestine yang digagas KAA. Selain kepentingan keamanan dan politik, solusi tersebut diyakini AS akan menciptakan kondisi ekonomi baru, yang menjamin optimalisasi kebijakan pasar bebas secara besar-besaran.
Akhiri Penjajahan AS
Untuk kesekian kalinya negri-negri muslim dipecundangi kafir Barat. Semua bermula dari kerelaan para penguasa mereka memberikan loyalitasnya pada AS dengan mengkhianati kepercayaan rakyatnya. Fatalnya, sebagian kaum uslimin hanya terdiam, tidak berani mengoreksi tindakan penguasanya. Padahal sudah nyata-nyata terbukti bahwa watak neoimperialisme AS selalu melekat di balik ajakan kerjasama, bantuan ataupun koalisi. Semua tipu daya itu hanya menyisakan penderitaan dan kedzoliman yang kian parah bagi seluruh rakyat.
Tak ada waktu lagi untuk menunda langkah untuk mengakhiri semua penjajahan busuk AS. Saatnya seluruh umat bersatu padu menguatkan keyakinan dan berjalan ke arah perubahan : menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah yang mampu melawan hegemoni politik dan ekonomi penjajah AS. Hanya Negara adidaya inilah yang mampu membebaskan seluruh dunia dari ambisi rakus AS, tidak hanya Asia dan Afrika. []