Rezim Jokowi-JK: Pengokoh Neoimperialis Dunia
Oleh: dr. Estyningtias P (LS MHTI)
Pendahuluan
Ada yang menarik dalam perhelatan akbar berskala internasional di Indonesia tahun ini. Bersamaan dengan terselenggaranya Konferensi Asia Afrika di Jakarta dan Bandung, Indonesia juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan World Economic Forum on East Asia (WEF untuk Asia Timur) tanggal 19 – 21 April 2015. Entah direncanakan atau tidak, namun faktanya beberapa tahun belakangan ini Indonesia selalu mendapat kehormatan menjadi tuan rumah berbagai even berskala regional maupun internasional seperti KTT APEC, ASEAN dan sebagainya. Realita ini menunjukkan bahwa Indonesia telah menjadi perhatian negara-negara Barat. Besarnya keinginan negara-negara Barat untuk mengeruk keuntungan dari berbagai sumber daya alam Indonesia yang melimpah ternyata disambut dengan kebijakan pemerintah Indonesia yang bisanya memang hanya “menjual” berbagai potensi Indonesia. Jadi jika seluruh mata dunia saat ini mengarah ke Indonesia tentu bukan karena kewibawaan dan leadership Indonesia, tapi lebih karena keinginan untuk mencengkeram Indonesia jauh lebih dalam. Dan tema dalam WEF tahun ini “Anchoring Trust in East Asia’s New Regionalism” cukup mewakili keinginan tersebut.
WEF : Pengendali Ekonomi Dunia?
Bisa dikatakan WEF adalah sebuah kelompok yang membawa suatu pemerintahan terintegrasi dalam struktur ekonomi global. Pertemuan induk WEF yang setiap tahunnya diadakan di Davos, Swiss memang mengintegrasikan beberapa kelompok/fraksi. Fraksi utama adalah fraksi perusahaan dimana didalamnya terdapat orang-orang yang memiliki dan mengendalikan perusahaan perusahaan transnasional (MNC) yang besar. Kedua ialah fraksi birokrat dan politisi. Ketiga adalah fraksi teknis yakni para profesional dan terakhir adalah fraksi konsumen yakni pedagang dan kelompok elit.
Sekalipun menjadi fraksi utama, keberadaan MNC (Multinasional Corporate) sebagai salah satu agen ekonomi politik internasional saat ini tetap tidak bisa dipisahkan dengan negara. Sebab MNC membutuhkan negara sebagai pembentuk kebijakan dan negara membutuhkan MNC sebagai pemberi devisa. Akan tetapi, fakta di lapang peran MNC tersebut seringkali mengebiri peran politik pemerintah.
Di Indonesia sendiri kolaborasi penguasa dan pengusaha memang sudah tidak asing lagi. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa pemerintah sekarang adalah yang paling memahami dunia usaha karena banyak pejabat yang ditunjuk berasal dari latar belakang seorang pengusaha. Karena itu bila ada yang salah dengan negeri ini, ini adalah “salah pengusaha”. Zamannya sudah lewat meminta dari pemerintah karena yang berperan saat ini adalah pengusaha. (antaranews, 8/12/2014)
Jika demikian yang terjadi, maka Global Competitive Report yang dikeluarkan oleh WEF setiap tahunnya secara tidak langsung menjadi pengendali kebijakan politik suatu negara sehingga kepentingan ekonomi para pemilik MNC tidak terganggu. Fakta di Arab Saudi mungkin bisa dijadikan contoh. Arab Saudi adalah negara dengan kesenjangan gender yang besar. WEF menyatakan bahwa Arab Saudi berada di ranking 127 dari total 136 negara mengenai hak-hak wanita dalam Global Gender Gap Report yang dirilis tahun 2013. Alasannya ada banyak batasan bagi para wanita misalnya mereka tidak diizinkan untuk mengemudi di negara itu. Meskipun Arab Saudi sudah melakukan perubahan kebijakan politik. Raja Abdullah, raja Arab Saudi, pada tahun 2011 telah mengumumkan bahwa para wanita bisa memilih pada pemilihan tahun 2015 nanti.
Yang menarik WEF tahun ini akhirnya juga dihadiri delegasi perempuan lebih banyak dibanding tahun lalu setelah terjadi pro dan kontra. Tahun sebelumnya ada 3 orang aktivis perempuan sebuah LSM melakukan demo dengan bertelanjang dada menuntut keterlibatan perempuan di Davos. WEF memang selalu mencakup wanita sukses, seperti CEO Facebook Sheryl Sandberg atau CEO Yahoo Marissa Mayer sebagai co-chairs selama pertemuan di Davos. Namun jumlahnya tak banyak. Tahun ini, ada Winnie Byanyima yang merupakan direktur eksekutif Oxfam International, dan Katherine Garrett-Cox, kepala eksekutif Aliansi Trust. Jumlah delegasi perempuan diperkirakan meningkat 17%. (Okezone, 20/1/2015)
Indonesia Penopang Ekonomi AS
Pelaksanaan WEF untuk Asia Timur ini dilaksanakan tidak lama setelah pertemuan induknya. Yakni pertemuan tahunan para elite bisnis dan politik di Davos, Swiss pada bulan Januari lalu. Dalam pidato pembukaan WEF di Davos 21 Januari lalu, CEO WEF Klaus Schwab berharap forum tahun ini bisa membangun kepercayaan dan keyakinan di tengah berbagai ketidakpastian yang dihadapi dunia secara politik maupun ekonomi, sebab WEF 2015 berlangsung di tengah awan badai yang menggelayuti perekonomian dunia.
Bagaimana tidak, kondisi perekonomian dunia saat ini sangat bergantung dengan kondisi perekonomian AS. Padahal kegagalan sistem ekonomi kapitalis AS jelas telah nampak dan dirasakan. Bahkan Joseph E Stiglitz – pakar ekonomi AS dan penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2001- dengan sangat jelas menyatakan bahwa sistem ekonomi AS adalah sebuah sistem ekonomi yang gagal (epaper kompas, 4 April 2015). Oleh karena itu berharap kondisi ekonomi dalam negri AS membaik, jelas tak mungkin. Apalagi ada riset yang menyimpulkan bahwa selama 5 tahun ke depan, hampir setengah dari semua pertumbuhan di luar Amerika Serikat diperkirakan berasal dari Asia. Maka wajar jika AS sangat bernafsu menguasai Asia, lebih khusus Indonesia.
Asia, khususnya Indonesia menjadi penopang kekuatan ekonomi baru bagi AS. Hal ini ditunjukkan dengan jelas dalam tulisan David Aikman yang berjudul “Why Indonesia really is a new power” (https://agenda.weforum.org/2015/04/why-indonesia-really-is-a-new-power/). Disebutkan dalam tulisan tersebut bahwa Indonesia memiliki tantangan berat. Tantangan berat ini akan terselesaikan jika Indonesia melakukan berbagai kerjasama dengan negara lain. inilah pintu masuk bagi AS untuk menawarkan berbagai kerjasama dan investasi. Faktanya isu-isu inilah yang berkembang di Indonesia dan pada akhirnya AS menawarkan berbagai program yang bisa menguntungkan perekonomian AS dan mempertahankan keberpihakan Indonesia pada AS.
Fokus untuk memperbaiki kondisi perekonomian AS yang tak kunjung sehat juga diperlihatkan pada dokumen 2015 US National Security Strategy yang dirilis oleh Gedung Putih pada Februari 2015. Intinya adalah menjadikan Asia dan Afrika sebagai salah satu perhatian penting AS. Dewi Fortuna Anwar, Deputi Bidang Politik Sekretaris Wakil Presiden, menyatakan bahwa kemajuan ekonomi Asia diharapkan tidak hanya menyejahterakan rakyat Asia, tetapi juga menjadi motor penggerak kemajuan ekonomi di negara-negara di kawasan lain (epaperkompas, 11/4/15). Artinya kawasan Asia diharapkan mampu mengembalikan kondisi perekonomian AS.
Sementara WEF-EA juga menggarisbawahi perkembangan ekonomi terkini di kawasan Asia Timur. Kawasan Asia Timur merupakan kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat dan populasi terpadat di dunia. Kawasan ini juga memiliki beberapa negara paling makmur di dunia, seperti Australia, Tiongkok, Jepang, Singapura dan Korea Selatan. Selain itu kawasan ini juga didukung oleh emerging market seperti Indonesia, Vietnam dan Myanmar. Indonesia sendiri diantara negara-negara di kawasan Asia Timur termasuk negara yang pertumbuhan ekonominya diatas rata-rata negara dunia yakni 7%.
Tentu saja bagi AS, Indonesia sangat strategis. Tidak hanya secara ekonomi, tapi juga secara militer untuk mengamankan kepentingannya di wilayah Laut Cina Selatan. Letak Indonesia yang berada di posisi silang dunia secara geopolitik menjadi alasan tersendiri bagi AS untuk terus mengincar Indonesia. Apalagi semenjak menghangatnya hubungan Indonesia dan Cina karena kesamaan visi maritimnya. Sebagaimana diketahui sejak 2013 Presiden Tiongkok, Xi Jinping mengusulkan untuk membentuk “Sabuk Jalur & Jalan” (Jalur Jalan Sutra dan Jalur Sutra Maritim Abad Ke-21). Konsep Xi Jinping ini bertemu dengan konsep poros maritim ala Jokowi. Kemudian konsep ini berkembang menjadi tahap kerjasama yang praktis. Ini ditandai dengan didirikanya AIIB (Asian Infrastructure International Bank) dengan investasi US$ 10 milyar untuk menciptakan Silk Road Infrastructure Fund atau Dana Infrastruktur Jalur Sutra.
Saat itu AS memilih untuk tidak mengajukan proposal sebagai anggota-pendiri Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). AS kemudian memaksimalkan TPP (Trans-Pacific Partnership). Menurut Menteri Pertahanan AS, Ashton Carter, TPP akan mempererat hubungan dan kemitraan AS di luar negeri serta menegaskan komitmen di Asia-Pasifik. Cina tidak diundang untuk bergabung dalam TPP. Dan juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hong Lei, menegaskan bahwa saat ini adalah momentum tepat bagi liberalisasi perdagangan di kawasan Asia-Pasifik. Jelaslah bahwa motif utama AS terhadap Indonesia di kawasan ini adalah untuk menghambat pengaruh Cina.
Rezim Jokowi-JK : Pengokoh Neoimperialisme Dunia
Dalam perjalanannya, liberalisasi perdagangan di berbagai kawasan saat ini telah berhasil mereduksi peran negara. Negara bukan lagi satu-satunya aktor atau agen yang berperan dalam ekonomi politik internasional, walaupun negara masih memiliki otoritas tertinggi dalam mengatur segala kompetensi yang dimiliki dari sumber daya alam di sebuah negara. Dari sini akhirnya bisa dipahami bahwa apa yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menjaring investor dalam perhelatan akbar KAA dan WEF adalah suatu kelaziman. Pemerintah melalui kebijakannya akan mempermudah berbagai prosedur, membuat UU atau perpu, menyederhanakan birokrasi sehingga investor asing mudah masuk dan menanamkan investasinya di Indonesia. Dan sudah tak terhitung lagi berbagai UU yang melempangkan jalan bagi asing untuk menguasai sumber daya alam Indonesia seperti UU Migas, UU Minerba, dan sebagainya.
Contoh lain yang menyakitkan rakyat adalah penandatanganan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur oleh Jokowi tanggal 20 Maret lalu. Dalam Perpres ini disebutkan, Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dapat bekerjasama dengan Badan Usaha (BUMN, BUMD, swasta, badan hukum asing, atau koperasi) dalam Penyediaan Infrastruktur.
Infrastruktur yang dapat dikerjasamakan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 itu adalah infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial yang mencakup: a. Infrastruktur transportasi; b. Infrastruktur jalan; c. Infrastruktur sumber daya air dan irigasi; d. Infrastruktur air minum; e. Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah terpusat; f. Infrastruktur sistem pengelolaan air limbah setempat; g. Infrastruktur sistem pengelolaan persampahan; h. Infrastruktur komunikasi dan informasi: i. Infrastruktur ketenagalistrikan; j. Infrastruktur minyak dan gas bumi dan energi terbarukan; l. Infrastruktur konservasi energi; m. Infrastruktur fasilitas pendidikan; n. Infrastuktur fasilitas sarana dan prasarana olahraga; o. Infrastruktur kawasan; p. Infrastruktur pariwisata; q. Infrastruktur kesehatan; r. Infrastruktur lembaga pemasyarakatan; dan s. Infrastruktur perumahan rakyat.
Artinya semua infrastruktur yang menguasai hajat hidup orang banyak dibangun dengan skema kerjasana pemerintah dengan swasta/asing yang sudah pasti tidak mau rugi. Berarti rakyat harus menanggung biaya hidup yang sangat besar. Tidak hanya BBM, listrik, pendidikan dan kesehatan, kelak semua kebutuhan hidup harus dibayar dengan mahal. Inilah realita rezim neoliberal yang membuka pintu bagi neoimperialis. Masihkah berharap padanya?
Penutup
Kedzaliman sistem ekonomi Kapitalis telah nampak dengan sangat jelas. Kapitalisme yang kini menjelma menjadi neo imperialisme takkan pernah memihak pada rakyat kecil dan hanya akan menguntungkan segelintir orang. Oleh karena itu tak ada lagi harapan kecuali kembali pada sistem ekonomi Islam. Tiada kemuliaan kecuali dengan Islam. Tiada Islam kecuali dengan syariah. Tiada syariah kecuali dengan Daulah Khilafah Islamiyah. []