Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Apa itu Neoliberalisme?
Neoliberalisme (sering disingkat neolib) merupakan perkembangan mutakhir kapitalisme pada abad ke-20, sebagai upaya untuk kembali kepada kapitalisme versi liberalisme klasik yang mengutamakan ekonomi pasar. Andrew Heywood dalam bukunya Politics (2002 : 49) mendefinisikan neoliberalisme sebagai,”…an updated version of classical economy that was developed in the writings of free-market economists…” ([neoliberalisme adalah] suatu versi terbaru dari ekonomi klasik yang awalnya dikembangkan dalam tulisan-tulisan para ahli ekonomi yang mendukung pasar bebas). (Poppy S. Winanti, Melacak Asal-Usul Neoliberalisme, 2007; www.poppysw.staff.ugm.ac.id).
Ekonomi klasik yang disebut dalam definisi neoliberalisme tersebut merujuk kepada para pemikir kapitalisme liberal generasi awal, seperti Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823). Maka dari itu, dalam redaksi yang lebih lengkap, David N. Balaam & Michael Veseth dalam bukunya Introduction to International Political Economy (2005:507) mendefinisikan neoliberalisme sebagai,”a viewpoint that favors a return to the economic policies advocated by classical liberal such as Adam Smith and David Ricardo. Neoliberalism emphasizes market deregulation, privatization of government enterprises, minimal government intervention, and open international markets. Unlike classical liberalism, neoliberalism is primarly an agenda of economic policies rather than a political economy perspective.” ([neoliberalisme adalah] suatu pandangan yang hendak kembali pada kebijakan-kebijakan ekonomi yang diusung oleh pemikir ekonomi liberal klasik seperti Adam Smith dan David Ricardo. Neoliberalisme menekankan pada deregulasi pasar, privatisasi badan-badan usaha milik negara (BUMN), intervensi (campur tangan) pemerintah yang minimal (dalam perekonomian) dan pasar-pasar internasional yang lebih terbuka. Tidak seperti liberalisme klasik, neoliberalisme lebih merupakan “suatu agenda kebijakan-kebijakan ekonomi” daripada “suatu perspektif mengenai sebuah ekonomi politik”). (Poppy S. Winanti, ibid.)
Akar Ide Neoliberalisme
Dari definisi neoliberalisme di atas dapat dipahami bahwa neoliberalisme merupakan paham yang berupaya kembali kepada liberalisme klasik, seperti gagasan Adam Smith, yang terkenal dengan jargon invisible-hand (tangan yang tak terlihat) atau mekanisme pasar. Gagasan ini dicetuskan Adam Smith sebagai respon terhadap merkantilisme di Inggris pada abad ke-18, yang memberikan peran yang sangat besar kepada negara untuk melakukan campur tangan (intervensi) dalam perekonomian. Intervensi negara ini dianggap oleh Adam Smith hanya menguntungkan segelintir orang tertentu dan hanya menyebabkan kesengsaraan bagi sebagian besar masyarakat.
Karena alasan itulah, Adam Smith lalu menolak intervensi negara dan menegaskan bahwa kegiatan perekonomian haruslah diserahkan kepada kepentingan masing-masing individu, bukan diatur oleh negara. Menurut Adam Smith, dengan dorongan kepentingan pribadi (self-interest), individu akan dapat mengatur sendiri kegiatan-kegiatan ekonomi mereka. Kata Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776:27),”it is not from the benevolent of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest.” (bukan dari kebaikan hati si tukang daging, tukang arak, atau tukang roti kita berharap dapat makan siang, melainkan dari keinginan mereka sendiri demi kepentingan mereka sendiri). (Abul Khair M. Jalaluddin, The Role of Government in An Islamic Economy, 1991:22-23).
Menurut Adam Smith, kepentingan individu itulah, yang akan dapat mewujudkan keseimbangan ekonomi (equalibrium) antara permintaan dan penawaran tanpa perlu intervensi apa pun dari negara. Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776) mengatakan,”…every individual, it is evident, can, in his local situation, judge his own economic interest much better than any statesman or lawgiver can do for him.” (…setiap individu, dan ini adalah bukti, dapat, dalam situasinya yang bersifat lokal, memutuskan kepentingan ekonominya sendiri jauh lebih baik daripada apa yang dapat dilakukan oleh negarawan atau legislator manapun). (Abul Khair M. Jalaluddin, ibid.).
Perekonomian dengan peran minimalis dari negara seperti digagas oleh Adam Smith ini ternyata tidak bertahan lama. Ketika di AS terjadi Depresi Besar (The Great Depresion) pada tahun 1930-an, dengan berbagai gejalanya seperti merajalelanya pengangguran, muncul desakan agar negara kembali melakukan intervensi dalam perekonomian. Desakan ini dipelopori oleh John Maynard Keynes (1883-1946) dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest, and Money yang terbit tahun 1936. Keynes menolak asumsi dasar liberalisme klasik, yaitu self-regulating market atau pasar yang mengatur dirinya sendiri tanpa intervensi negara. Keynes memandang liberalisme klasik yang meminimalkan peran negara terbukti telah menimbulkan pengangguran, sebagaimana terjadi saat Depresi Besar tahun 1930-an di AS. Karena itu, Keynes mendesak kembalinya intervensi negara untuk mengatasi masalah ekonomi yang tak dapat diselesaikan sendiri oleh pasar, seperti pengangguran dan inflasi. Keynes meyakini bahwa kapitalisme akan dapat berhasil jika terwujud full-employment yang hanya akan dapat dicapai dengan adanya intervensi negara dan bank sentral.
Gagasan Keynes dalam ekonomi itu disebut Keynesian Economics dan diterapkan di negara-negara Barat seperti AS dan Eropa dengan nama “sosialisme demokrasi (sosdem)” dan negara yang menjalankannya disebut “welfare state” (negara kesejahteraan). Keynesian Economics yang diterapkan hingga tahun 1970-an tersebut ternyata juga menimbulkan masalah. Intervensi negara yang diundang kembali oleh Keynes dianggap berlebihan sehingga malah menimbulkan inefisiensi dan krisis, bukan menghasilkan kesejahteraan sebagaimana dijanjikan. Hal ini ditandai dengan terjadinya fenomena stagflasi (gabungan stagnasi atau pengangguran, dan inflasi atau kenaikan harga) yang terjadi di Barat pada tahun 1970-an. Oleh karena itulah, muncul desakan untuk kembali lagi pada doktrin liberalisme klasik ala Adam Smith dan David Ricardo yang mempercayai unregulated market (pasar yang tak diatur oleh negara). Paham yang memandang perlunya kembali pada doktrin liberalisme klasik pasca staglasi 1970-an inilah yang kemudian disebut dengan neoliberalisme. (Poppy S. Winanti, ibid.).
Namun demikian, sebelum terjadinya staglasi tahun 1970-an itu, sebenarnya gagasan neoliberalisme sudah mulai dirintis sejak tahun 1940-an oleh beberapa gelintir ekonom seperti Friedrich von Hayek, seorang ekonom Austria. Pada tahun 1944 von Hayek menerbitkan bukunya The Road to Serfdom yang mengkritik keras welfare state atau kapitalisme ala Keynesian yang mengundang kembali campur tangan negara. Von Hayek mengatakan bahwa setiap jenis sosialisme, betapa pun lembutnya, atau setiap jenis perencanaan ekonomi atau pun welfare state, betapapun baiknya, atau setiap jenis campur tangan terhadp pasar bebas, betapa pun masuk akalnya, adalah sesuatu yang sangat salah. Karena hal itu dianggapnya sebagai reduksi terhadap liberalisme individu yang sangat berharga dan jalan menuju tirani dan perbudakan baru bagi rakyat jelata. (Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, hlm. 326-327; Revrisond Baswir, Ekonomi Kerakyatan vs Neoliberalisme, hlm. 163-164).
Walhasil, neoliberalisme mempunyai kecurigaan yang lebih tinggi terhadap setiap campur tangan negara dibanding liberalisme klasik. Memang itulah salah satu perbedaan mendasar liberalisme klasik dengan neoliberalisme. Liberalisme klasik ala Adam Smith walau mempercayai mekanisme pasar dan menolak intervensi negara, namun tidak terlalu curiga terhadap campur tangan negara. Jadi liberalisme klasik Adam Smith bukanlah paham anti-negara, karena negara dalam pandangan Adam Smith tetap diperlukan keberadaannya, yaitu untuk menjaga penegakan hukum dan ketertiban ekonomi (to maintain the law and order in an economy). (Abul Khair M. Jalaluddin, ibid.).
Sedangkan neoliberalisme, hampir-hampir merupakan paham anti-negara, sehingga sebagian orang menyebut neoliberalisme sebagai “fundamentalisme-pasar”. Artinya segala sesuatu urusan masyarakat harus diserahkan kepada pasar, bukan kepada negara. Dengan kata lain, peran atau intervensi negara harus berada pada level yang sangat-sangat minimal. Ringkasnya, neoliberalisme mencurigai apapun peran atau campur tangan negara dengan tingkat kecurigaan lebih tinggi daripada kecurigaan dalam liberalisme klasik.
Neoliberalisme dalam Praktik
Dalam praktiknya, paham neoliberalisme mulai diterapkan bagi publik secara luas di Barat pada tahun 1980-an, yakni pada masa Presiden AS Ronald Reagan (berkuasa 1981-1989) dan masa PM Inggris Margaret Thatcher (berkuasa 1979-1990). Sebagai pemimpin berhaluan neolib, Reagan dan Thathcher sama-sama mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi khas neolib yang pro pasar dan mengurangi peran negara. Reagan misalnya mengurangi dana santunan, mengurangi pajak, dan mengalihkan beban pemerintah ke punggung rakyat (seperti pengurangan dana subsidi kesehatan). Sedang Thatcher, menjalankan neolib dengan cara menurunkan inflasi, mengurangi belanja negara, menyediakan insentif bagi pengusaha (misalnya mengurangi pajak penghasilan), dan menghilangkan hambatan pasar bebas, utamanya melalui privatisasi BUMN. (Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, hlm. 333; Revrisond Baswir, Ekonomi Kerakyatan vs Neoliberalisme, hlm. 165).
Penyebaran neoliberalisme menemukan momentumnya secara gobal pada akhir tahun 1980-an ketika terjadi krisis moneter di beberapa negara Amerika Latin. Untuk mengatasinya, IMF yang bekerjasama dengan Bank Dunia dan Departemen Keuangan AS, mengeluarkan paket kebijakan neoliberal yang disebut “Konsensus Washington”. Paket kebijakan Konsensus Washington ini menjadi menu dasar bagi apa yang dinamakan SAP (structural adjustment program), yang garis besarnya menurut Joseph E. Stiglitz dalam bukunya Globalisation and Its Discontent (2002) ada 4 (empat) kebijakan; yaitu (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk kebijakan penghapusan subsidi, (2) liberalisasi sektor keuangan, (3) liberalisasi sektor perdagangan, dan (4) privatisasi BUMN. (Revrisond Baswir, Ekonomi Kerakyatan vs Neoliberalisme, hlm. 166-167).
Apakah neoliberalisme setelah dipraktikkan menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat global? Jawabnya, tergantung siapa yang dimaksud dengan “masyarakat global”. Jika yang dimaksud “masyarakat global” adalah negara-negara kapitalis, seperti AS dan negara-negara Eropa, maka neoliberalisme memang membawa untung. Tapi bagi negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, neoliberalisme tidak membawa untung, tapi membawa buntung (mudharat).
Sejak tahun 1980-an hingga menjelang abad ke-21, yakni kira-kira dua dasawarsa selama neoliberalisme diterapkan secara global, TNC (trans national companies) di negara-negara kapitalis Barat mengalami perkembangan dalam jumlah dan keuntungan. Pada tahun 1970-an jumlah TNC hanya sekitar 7.000 buah. Namun pada tahun 1998 jumlahnya membengkak menjadi 44.508 buah. Dalam dua dasawarsa itu TNC berhasil menguasai 67% perdagangan dunia antar-TNC dan 34,1% dari total perdagangan global. TNC juga menguasai 75% dari total investasi global, dan mampu mengontrol hingga 75% perdagangan dunia. (Nanang Pamuji Mugasejati & Ucu Martanto, Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, hlm. 8).
Gambaran sebaliknya justru dialami oleh negara-negara Dunia Ketiga. Laporan Human Development Report dari UNDP pada tahun 2005 telah membuat prakiraan berdasarkan tren lima tahun terakhir (2000-2005), bahwa jika neoliberalisme terus diterapkan, maka pada tahun 2015 akan ada 827 juta orang yang berada dalam kemiskinan akut (extreme poverty). Kesenjangan antar kaya-miskin juga akan semakin menggila baik pada level global maupun lokal. Menurut majalah Newsweek yang terbit 21 Nopember 2005, pada level global, sebanyak 40% atau sekitar 2,5 miliar jiwa manusia harus hidup kere (melarat) dengan pendapatan hanya 2 dolar AS perhari. Pada level Asia, 700 juta penduduknya terpaksa hidup miskin dengan pendapatan di bawah 1 dolar AS per kapita. (Nanang Pamuji Mugasejati & Ucu Martanto, Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, hlm. 9).
Bagaimanakah praktik neoliberalisme di Indonesia dan hasil-hasilnya? Jawabannya sama saja dengan hasil praktik neoliberalisme secara global, yaitu hanya menguntungkan segelintir para pemodal, khususnya pemodal asing, namun menyengsarakan rakyat banyak. Sebagai contoh, pencabutan subsidi BBM, sebagai bagian dari program Konsensus Washington yang dipaksakan Bank Dunia kepada Indonesia. Jelas pencabutan subsidi BBM (kenaikan harga BBM) akan diikuti dengan naiknya seluruh harga barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat.
Siapakah yang diuntungkan dengan kondisi tersebut? Bagi rakyat jelas tidak menguntungkan sama sekali. Bahkan terbukti menambah jumlah orang miskin. Sebagai contoh, kenaikan BBM pada tahun 2005, terbukti telah mengakibatkan kenaikan angka kemiskinan sebesar 1,95% dari semula 16,66 % menjadi 18,61% (atau menjadi 40,4 juta jiwa) dari total penduduk Indonesia. Kenaikan tersebut termasuk perubahan status dari keluarga miskin menjadi sangat miskin sebesar 1,87% (4,04 juta jiwa), sedangkan perubahan dari dari keluarga tidak miskin menjadi miskin sebesar 3,82 % (8,37 juta jiwa). (“Kenaikan BBM Kebijakan Panik dan Zalim Pemerintahan SBY-JK”, www.jurnal-ekonomi.org, 2008/05/13).
Sebaliknya, kenaikan BBM tersebut justru akan menguntungkan para pemodal asing yang bergerak dalam bisnis eceran migas (SPBU). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat itu, Purnomo Yusgiantoro, pada tahun 2003 pernah menyatakan,”Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14 Mei 2003). (Revrisond Baswir, Ekonomi Kerakyatan vs Neoliberalisme, hlm. 176).
Aktor-Aktor Pemain Neoliberalisme
Terdapat 3 (tiga) aktor utama yang memungkinkan neoliberalisme dipraktikkan secara global. Pertama, perusahaan-perusahaan transnasional (TNC), seperti Freeport-McMoran. Kedua, lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia (World Bank) dan IMF. Ketiga, organisasi-organisasi kerjasama perdagangan internasional, seperti WTO (World Trade Organization), AFTA, NAFTA, termasuk juga yang mutakhir adalah MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) yang akan diberlakukan akhir 2015. Ketiga aktor itulah yang menciptakan aturan main global dan proses produksi global. (Nanang Pamuji Mugasejati & Ucu Martanto, Kritik Globalisasi dan Neoliberalisme, hlm. 7-8).
Sebenarnya masih ada satu aktor lagi di samping tiga aktor yang sudah disebut tadi. Aktor keempatnya adalah para penguasa Dunia Ketiga, yang sadar atau tidak, telah menjadi kepanjangan tangan dari negara-negara kapitalis. Jika diumpamakan pemain sebuah film, katakanlah film itu berjudul “Struktur Neoliberalisme Global”, tiga aktor utama tersebut di atas adalah aktor utama (starring), yang memerankan tokoh pahlawan (hero). Sedang para penguasa Dunia Ketiga, dapat diumpamakan sebagai aktor figuran, yang hanya mempunyai peran pinggiran dan itupun hanya memerankan tokoh pecundang (looser) saja.
Namun meski sebagai aktor figuran, penguasa Dunia Ketiga juga membentuk struktur sendiri di internal negeri masing-masing untuk menjamin berlangsungnya agenda-agenda neoliberalisme yang menyengsarakan rakyat. Menurut Bradley R. Simpson dalam bukunya Economist with Guns : Amerika Serikat, CIA, dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru (Gramedia : Jakarta, 2010), struktur kekuasaan pro neoliberalisme untuk kasus di Indonesia sejak Orde Baru, tersusun dari 2 (dua) aktor utama sebagaimana tercermin dalam judul bukunya. Pertama, para birokrat (khususnya ahli ekonomi) yang telah dididik di AS dengan cara berpikir asing, seperti Widjojo Nitisastro, M. Sadli, Subroto, Ali Wardhana, dan Emil Salim, atau yang biasa disebut Mafia Berkeley. Mereka kenyang dengan teori-teori asing seperti “pembangunan” (developmentalism) dan neoliberalisme. Kedua, angkatan bersenjata (militer dan kepolisian), sebagai penjamin stabilitas ekonomi dan politik, yang memberi dukungan penuh terhadap agenda neolib Barat dan selalu siap melakukan tindakan represif yang kejam kepada siapa saja yang kritis terhadap negara.
Sikap Islam Terhadap Neoliberalisme
Islam jelas tidak dapat merestui neoliberalisme. Sekurang-kurangnya ada 2 (dua) alasan mengapa Islam mengharamkan neoliberalisme. Pertama, karena neoliberalisme jelas-jelas telah menimbulkan bahaya (mudharat) bagi umat manusia. Pada level global, bahaya tersebut terbukti dengan adanya ketimpangan yang menganga lebar antara negara kapitalis dengan negara Dunia Ketiga. Pada level lokal, bahaya (mudharat) juga terjadi ketika neoliberalisme dipraktikkan di sebuah negeri, seperti naiknya harga-harga barang dan jasa yang menyulitkan rakyat akibat pencabutan subsidi BBM, termasuk dampak ikutannya seperti munculnya kemiskinan.
Padahal Islam telah mengharamkan terjadinya segala bentuk bahaya (mudharat), sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
لا ضرر ولا ضرار في الإسلام
“Tidak boleh ada segala bentuk bahaya bagi diri sendiri (dharar) dan bahaya bagi orang lain (dhirar) dalam Islam.” (HR Thabrani).
Kedua, karena neoliberalisme ketika diterapkan telah menimbulkan dominasi/hegemoni kaum kafir penjajah atas kaum muslimin. Sehingga dengan demikian, kaum muslimin tidak mempunyai kedaulatan untuk mengatur negerinya sendiri berdasarkan peraturannya sendiri, yaitu Syariah Islam.
Padahal Islam telah jelas mengharamkan segala macam jalan (sarana) yang dapat membuat kaum kafir mendominasi atau mengontrol kehidupan kaum muslimin. Firman Allah SWT :
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
“Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS An Nisaa` [4] : 141).
Dengan demikian, jelaslah bahwa praktik neoliberalisme di Indonesia adalah haram hukumnya dan merupakan suatu dosa besar bagi siapa saja yang terlibat dalam penerapannya di Indonesia. Namun pertanyaannya selanjutnya adalah, bagaimanakah umat Islam dapat membebaskan diri dari belenggu neoliberalisme ini? Bukankah neoliberalisme dapat diterapkan bukan karena adanya satu aktor saja, misalnya Bank Dunia atau IMF saja, atau penguasa antek Barat saja, melainkan karena adanya struktur pelaku (aktor) neoliberalisme yang kompleks baik dalam level lokal maupun global, yang didukung oleh penguasa pro AS dan angkatan bersenjata dan lebih dari itu dijaga oleh negara adidaya, yaitu AS?
Jawabannya jelas, bahwa neoliberalisme global di bawah pimpinan negara AS itu tidaklah mungkin dilawan oleh kekuatan yang tidak seimbang dengannya, misalnya oleh kelompok atau bahkan oleh sebuah negara sekalipun, jika negara itu tak mempunyai ideologi (risalah) internasional.
Sejarah mengajarkan, sebuah negara besar umumnya tidak runtuh dengan sendirinya, juga tidak runtuh oleh kekuatan yang lebih kecil darinya, tapi hancur oleh kekuatan yang seimbang dengannya. Uni Soviet misalnya, hancur pada awal dasawarsa 1990-an karena adanya AS sebagai kekuatan negara adidaya yang setara dengannya.
Maka dari itu, neoliberalisme global di bawah pimpinan negara AS hanya dapat dilawan dan dihancurkan oleh kekuatan yang seimbang dengannya, yaitu sebuah negara yang mengemban sebuah ideologi internasional, yang didukung oleh sebuah angkatan bersenjata yang kuat. Itulah negara Khilafah, yang akan mengemban Islam sebagai ideologinya, yang didukung oleh pasukan umat Islam untuk menyebarkan dakwah Islam ke seluruh alam dengan jalan jihad fi sabilillah. Dengan negara Khilafah itulah, umat Islam akan melawan dan bahkan akan menghancurkan neoliberalisme global di bawah pimpinan AS yang zalim, untuk digantikan dengan tatanan Islam global yang adil dan penuh rahmat. Dengan demikian, tak hanya terjadi penyelamatan umat Islam saja (inqaadzul ummah), namun lebih dari itu, akan terjadi penyelamatan umat manusia (inqaadzul insan) dari hegemoni neoliberalisme global yang sewenang-wenang. (Taqiyuddin An Nabhani, Nazharat Siyasiyyah li Hizb Al Tahrir).
Maka dari itu, yang wajib dilakukan saat ini adalah mengupayakan lebih dahulu tegaknya Khilafah di sebuah negeri Islam. Perjuangan suci dan mulia ini telah dirintis oleh Hizbut Tahrir sejak tahun 1953 yang lalu di bawah pimpinan pendirinya, yaitu Imam Taqiyuddin An Nabhani, radhiyallahu ’anhu. Berbagai langkah dan tahapan dakwah Hizbut Tahrir telah dilakukan, dan kini terdapat 3 (tiga) agenda utama yang sedang dan akan terus dilakukan Hizbut Tahrir di berbagai belahan wilayah dunia untuk tegaknya Khilafah, yaitu:
Pertama, mempersiapkan para negarawan sebagai pemegang kepemimpinan politik (qiyadah siyasiyah) yang mampu menjalankan roda pemerintahan Khilafah di masa yang akan datang, sebagai generasi yang lahir dari rahim Hizbut Tahrir.
Kedua, membentuk opini umum di tengah masyarakat yang mendukung penerapan Syariah Islam yang total (kaaffah) dalam bingkai negara Khilafah.
Ketiga, melakukan thalabun nushrah, yaitu mencari dukungan dan pertolongan kepada Ahlul Quwwah atau Ahlun Nushrah, yaitu pihak yang berkemampuan dengan dua tujuan, pertama, untuk melindungi dakwah agar dakwah berlangsung dengan aman, dan kedua untuk mengambil kekuasaan demi tegaknya negara Khilafah.
Memang agenda-agenda tersebut tidaklah mudah dan sudah pasti akan banyak hambatan dan tantangan. Namun dengan pertolongan Allah SWT, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Firman Allah SWT :
إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الأَشْهَاد
“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (QS Ghafir/Al Mukmin [40] : 51). Wallahu a’lam.