Nah Indonesia ini disinyalir telah menjadi surga bagi para bandar dan pengedar narkoba kelas kakap. Kenapa? Karena hukum di Indonesia lemah.
Kalau rakyat jelata ditanya, apakah setuju dengan hukuman mati bagi para bandar dan pengedar narkoba kelas kakap, pasti sebagian besar mereka menjawab setuju. Soalnya, kini peredaran narkoba sudah demikian luas. Bahkan sampai ke kampung-kampung yang jauh dari hingar bingar.
Berdasarkan catatan Badan Narkotika Nasional (BNN), tak ada wilayah yang tidak terpapar oleh narkoba. Malah, data menunjukkan, anak sekolah dasar pun kini telah menjadi pengguna narkoba.
Tak heran jika BNN menyebut Indonesia dalam kondisi darurat narkoba. Kondisinya sangat mengkhawatirkan. Korban tewas pernah mencapai 18 ribu orang per tahun. Bila dirata-rata hampir 50 orang per hari. Mereka mati sia-sia karena mengonsumsi narkoba.
Korban narkoba paling besar berada di usia produktif yakni 15-65 tahun. Jumlah keseluruhan yang tercatat tahun lalu 4,2 juta orang. Bisa dibayangkan, nasib mereka. Mereka kehilangan dan menjadi beban masyarakat. Bahkan kalau mereka masuk ke panti rehabilitasi, menjadi beban pemerintah karena harus membayar biaya rehabilitasi.
Maraknya narkoba sampai ke desa-desa ini tak lain adalah pekerjaan para pengedar narkoba dari yang kelas teri sampai kelasa kakap. Bandar-bandar kakap itulah yang memasok narkoba dan menjerat pengedar-pengedarnya sehingga sampai masuk ke pelosok-pelosok. Mereka menyediakan stok, baik dibuat di dalam negeri maupun di luar negeri.
Nah Indonesia ini disinyalir telah menjadi surga bagi para bandar dan pengedar narkoba kelas kakap. Kenapa? Karena hukum di Indonesia lemah. Masih ingat Ratu Mariyuana asal Australia Schapelle Corby. Corby yang membawa mariyuana seberat 4,2 kg hanya diganjar hukuman 20 tahun penjara. Setelah menjalani hukuman 7 tahun, eh ia malah mendapat grasi atau pengampunan hukuman oleh Presiden SBY sebanyak 5 tahun. Bagaimana tidak enak? Bahkan beberapa kali gembong narkoba bisa lolos dari kepolisian.
Maka ketika pemerintah yang baru melaksanakan eksekusi kepada para gembong narkoba, masyarakat menyambutnya. Kendati berbagai penolakan muncul baik dari dalam maupun dari luar negeri, masyarakat berharap pemerintah tak menggubrisnya.
Para pegiat HAM dengan lantang mengecam niat pemerintah yang akan meneruskan lagi eksekusi mati dalam waktu dekat. Demikian pula pemerintah negara lain yang warga negara termasuk yang akan dieksekusi seperti Australia dan Brazil. Sampai-sampai Sekjen PBB Ban Ki Moon pun sampai meminta pemerintah Indonesia untuk menghapus hukuman mati.
Alasan yang paling sering dikemukakan untuk menolak hukuman mati ini adalah proses eksekusi itu melanggar HAM. Mereka berasalan bukan hak manusia untuk mencabut hak hidup seseorang.
Kendati demikian, mereka yang mendukung hukuman mati pun tak kalah lantang menyuarakan dukungannya. Di Indonesia, hukuman mati sendiri telah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dinyatakan tidak bertentangan dengan UU yang berlaku. Lagi pula setiap negara memiliki kedaulatan hukum masing-masing yang tidak boleh diintervensi oleh negara lain. Mereka mengkritik para pegiat HAM yang hanya berusaha melindungan pelaku/terdakwa tapi tidak melindungi rakyat yang mati tiap hari karena narkoba.
Pengalaman negara lain menunjukkan, hukuman mati bukanlah hal yang tabu. Kenapa tidak? Bahkan di negara bagian di Amerika Serikat sendiri, hukuman mati masih diberlakukan. Sayangnya, tak ada pegiat HAM yang menggugatnya dan tak ada negara lain yang berani mengintervensinya, termasuk PBB sekalipun.
Di sini terlihat betapa negara-negara Barat memiliki standar ganda terhadap HAM itu sendiri. Mereka berteriak kencang kalau lagi ada maunya. Tapi kalau tidak ada kepentingan, pelanggaran HAM pun mereka biarkan.
Sudut Pandang Islam
Hukuman mati secara hukum Islam memang ada. Kriminal apa saja yang wajib dihukum mati telah dirinci. Dalam pandangan Islam tidak ada pertimbangan HAM. Maka jika berbicara hak hidup, yang memberikan hak hidup itu Allah SWT. Allahlah yang menciptakan manusia. Nah, hukuman mati itu atas perintah Allah juga.
Jadi, orang orang yang kena qishas, pezina mukhsan, bughat, pelaku homoseksualitas, murtad yang tidak mau tobat, termasuk kejahatan kejahatan di tengah masyarakat yang hukumannya terkategori ta’zir yang oleh hakim (qadhi) diputus hukuman mati, maka itu sah karena memang itu perintah Allah.
Nah, dari sisi ini, bandar dan pengedar kelas kakap telah melakukan kejahatan luar biasa karena merusak masyarakat. Mereka itu mengambil keuntungan di kerusakan masyarakat, kerusakan manusia. Makanya mereka layak dihukum mati.
Dalam Islam, hukuman itu berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Dengan hukuman yang keras, diharapkan masyarakat tercegah untuk melakukan tindakan kejahatan yang sama. Sedangkan bagi pelaku, penerapan hukum atasnya akan menebus hukuman yang akan dijatuhkan oleh Allah di akhirat.
Namun muncul pertanyaan, apakah hukuman yang dijatuhkan oleh pemerintah sekarang memiliki fungsi penebus dosa? Bukankah pemerintah saat ini bukan pelaksana hukum syariah Islam?
Memang, fungsi hukum Islam akan berlangsung jika dan hanya jika dilaksanakan oleh pemerintah yang menjalankan syariah Islam. Itulah khilafah Islamiyah.
Dengan penerapan syariah Islam, hukuman itu akan memberikan manfaat kepada masyarakat karena terhindar dari tindak kejahatan; dan bagi pelaku akan menghindarkan dirinya dari sanksi di akhirat.
Walhasil, sistem Islam yang kaffah menjadi penopang dalam penerapan hukum Islam. Karena di sana dibangun budaya dan kesadaran hukum Islam. Dalam masyarakat Islam, warga negara menaati hukum karena menaati perintah dan larangan Allah SWT, bukan sekadar takut terhadap hukuman atau aparat penegak hukum.
Adakah hal seperti ini ada dalam negara sekuler saat ini? [] mujiyanto