Dukungan terhadap kemerdekaan Palestina kembali muncul. Kali ini keluar dari mulut Presiden Jokowi dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Jakarta , Selasa (21/4). Jokowi menyatakan Palestina adalah satu-satunya negara yang masih dalam penjajahan dan hal ini harus diakhiri. Presiden RI ini pun menegaskan akan ada tindak lanjut dari pernyataannya.
Harapan kita, tentu tindak lanjut itu kongkret. Namun berkaca dari pengalaman sebelumnya, seringkali dukungan terhadap kemerdekaan Palestina, hanya sekadar retorika politik kosong, tanpa ada bukti nyata. Sekadar pencitraan untuk mencari simpati umat yang memang sangat berharap penjajahan Palestina bisa dihentikan. Terkait dengan KAA, dukungan ini, bisa diduga untuk membangun citra anti penjajahan.
Apa yang terjadi selama ini membuat kita pesimistis. Retorika mendukung Palestina dari penguasa negeri Islam baik itu dari Turki, Iran, Saudi, Indonesia dan negara-negara lainnya, cuma basa-basi. Buktinya saat Gaza dibombardir oleh entitas penjajah Yahudi, penguasa-penguasa negeri Islam itu, tidak melakukan tindakan apapun untuk mencegah pembantaian itu, misalnya dengan mengirim pasukan perang. Padahal hanya dengan pasukan peranglah kebiadaban entitas penjajah Zionis itu bisa dihentikan.
Yang sering terjadi, penguasa negeri Islam untuk menunjukkan kepeduliannya, cukup hanya membantu dengan mengirim bantuan obat-obatan, makanan, atau dana bagi pembangunan gedung-gedung yang dihancurkan. Tak pernah ada upaya konkret menghentikan serangan pelaku kejahatan, yakni Israel. Setelah para korban ditolong , gedung-gedung dibangun, penjajah Yahudi kembali membombardir, tanpa ada yang mencegah.
Patut kita cermati, apa yang dimaksud dengan kemerdekaan Palestina. Kalau pengakuan kemerdekaan Palestina dengan tetap membiarkan keberadaan penjajah Yahudi, maka kemerdekaan itu hanyalah semu. Sebab, keberadaan penjajah Yahudi-lah yang menjadi pangkal krisis dan malapetaka di Palestina.
Kemerdekaan Palestina yang disertai pengakuan terhadap keberadaan penjajah Yahudi sebagai sebuah negara, tidak lebih merupakan perwujudan dari kebijakan Amerika di Palestina. Kebijakan yang dikenal dengan two state solution itu menghendaki adanya dua negara di bumi Palestina, negara Palestina dan negara Yahudi Israel. Ini yang harus kita tolak, karena hal ini berarti pengakuaan terhadap penjajahan Yahudi. Apalagi kemudian negara Palestina yang dimaksud tetap dalam kontrol penjajah Yahudi dengan pembatasan-pembatasan yang diatur oleh mereka.
Kembali kita tegaskan, persoalan Palestina akan selesai kalau penjajah Yahudi dilenyapkan dari bumi Palestina. Hal itu tidak akan bisa ditempuh lewat jalan diplomasi ala Barat atau lewat PBB. Karena solusi yang mereka tawarkan tetap dalam kerangka mempertahankan keberadaan penjajah Yahudi.
Jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan Palestina adalah tindakan kongkret perang jihad fi sabilillah. Inilah jalan satu-satunya untuk melenyapkan Yahudi. Namun hal ini tidak cukup hanya menyandarkan kepada Hamas yang telah menunjukkan keberanian dan kepahlawanan luar biasa mempertahankan Palestina selama ini.
Jihad fi sabilillah ini harus dilakukan dengan mengirim pasukan perang dari tentara-tentara reguler dunia Islam dari Mesir, Saudi, Turki, Pakistan, Indonesia dan lain-lain. Di sinilah letak pentingnya umat Islam memiliki khilafah yang akan menyatukan dan memobilisasi tentara-tentara di negeri Islam membebaskan Palestina dan melenyapkan keberadaan penjajah Yahudi di bumi Palestina. Tidak terbayangkan, bagaimana menyatukan para tentara negeri Islam, memobilisi mereka tanpa ada khilafah.
Keberadaan khilafah juga akan menghilangkan penghalang-penghalang persatuan umat, penghalang-penghalang bergeraknya umat untuk membebaskan Palestina. Siapa yang menjadi penghalang itu? Merekalah para penguasa-penguasa negeri Islam. Mereka menjadi penghalang persatuan umat dengan alasan nasionalisme. Mereka menjadi penghalang umat untuk jihad fi sabilillah dengan tuduhan teroris.
Untuk bergerak memerangi Yahudi penguasa-pengusa itu demikian berat bergerak. Namun di sisi lain, mereka dengan ringan mengirimkan pesawat-pesawat tempur untuk membombardir kaum Muslimin di Suriah, Irak, Libya, Yaman dengan mengeksploitasi ancaman ISIS atau isu-isu lainnya. Padahal semua itu mereka lakukan karena sejalan dengan kepentingan Amerika yang menjadikan isu perang melawan ISIS sebagai alat intervensi di negeri Islam.
Perlu kembali kita tegaskan, siapapun yang memang sungguh-sungguh dan serius untuk membebaskan Palestina dan negeri-negeri Islam lainnya, harus sungguh-sungguh pula memperjuangkan tegaknya Khilafah Islam. Apalagi, tegaknya khilafah adalah merupakan kewajiban syar’i yang tidak boleh kaum Muslimin berlepas dari dari kewajiban ini.
Penting kita pikirkan kutipan sambutan Amir Hizbut Tahrir, al-Alim al-Jalil Atha’ bin Khalil Abu Rastah hafidzahullāh, dalam Konferensi Khilafah yang diadakan di Istanbul, Selasa 3/3/2015. Amir Hizbut Tahrir menegaskan : Wahai orang-orang yang memiliki mata, hati dan akal, serta orang-orang yang merasakan sakit dan perih akibat tidak adanya Khilafah, perisai yang melindungi kaum Muslim … Selamatkan diri kalian dari dosa besar. Berjuanglah untuk mengembalikan kehidupan Islam di bumi dengan menegakkan kembali Khilafah Rasyidah. Ingat, berdiam diri dari (kewajiban menegakkan khilafah) adalah dosa besar, kecuali orang yang terlibat dalam perjuangan. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada baiat, maka ia mati seperti mati jahiliyah (dalam keadaan berdosa).” (HR. Muslim). Artinya, hingga ada baiat pada khalifah dengan benar. Untuk itu, marilah para laki-laki dan perempuan, pribadi dan kelompok, semuanya berjuang dengan serius, sungguh-sungguh, jujur dan ikhlas untuk kembali menegakkan khilafah. Sebab hanya dengan itu kemenangan besar akan kita diraih. Allahu Akbar! [] Farid Wadjdi