Hukuman Mati Dikebiri, Kejahatan Makin Tak Terkendali

[Al-Islam edisi 755, 19 Rajab 1436 H – 8 Mei 2015 M]

 

Saat ini DPR sedang menggodok revisi (perubahan) KUHP di Komisi III. Banyak perubahan yang ditargetkan tercapai. Salah satunya soal hukuman mati. Hukuman mati akan disingkirkan dari pidana pokok (Lihat: Draf RUU KUHP Pasal 65). Hukuman mati akan diubah menjadi pidana pokok yang bersifat khusus dan sifatnya hanya alternatif/pilihan (Lihat: Draft RUU KUHP Pasal 66).

Akibat Demokrasi

RUU KUHP yang sedang dibahas dimaksudkan untuk menggantikan KUHP yang berlaku saat ini, yang merupakan warisan penjajah Belanda. Memang, KUHP warisan penjajah Belanda itu merupakan bagian dari sistem hukum yang sangat buruk. Selain justru menjaga dan melanggengkan penjajahan, sistem hukum itu buatan manusia. Padahal manusia itu sangat lemah, selalu dipengaruhi oleh kepentingan lingkungan dan hawa nafsu. Karena itu bisa dipastikan sistem hukum buatan manusia akan jauh dari keadilan dan kebenaran. Sistem hukum buatan manusia juga pasti terikat dengan waktu dan kondisi sehingga berlaku terbatas, mudah kadaluwarsa, tidak universal dan mudah berubah-ubah. Itulah yang bisa disaksikan saat ini. KUHP lama diganti dengan yang baru. Sangat mungkin KUHP baru nantinya juga akan diubah dan diganti lagi pada masa datang. Hal ini persis sebagaimana dalam pembuatan banyak UU, yang cepat berubah dan berganti.

Semua itu adalah akibat penerapan demokrasi. Demokrasi menyerahkan kepada manusia kekuasaan membuat hukum; kekuasaan menentukan yang halal dan yang haram, yang boleh dan yang tidak boleh semata-mata menurut akal dan hawa nafsu. Penyerahan kekuasaan membuat hukum kepada manusia itu sudah terjadi sejak dulu kala, termasuk yang dilakukan oleh Bani Israel. Ini adalah perkara yang sangat dilarang dan sangat dicela dalam Islam. Allah SWT berfirman:

]اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ[

Mereka (Yahudi dan Nasrani) telah menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah (TQS at-Taubah [9]: 31)

 

Makna ayat ini dijelaskan dalam riwayat dari Adi bin Hatim, bahwa Rasul saw. bersabda:

 

« أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ »

Mereka (Yahudi dan Nasrani) memang tidak menyembah mereka (para rahib dan pendeta mereka). Namun, jika para rahib dan para pendeta mereka menghalalkan untuk mereka sesuatu maka mereka pun menghalalkannya, dan jika para rahib dan pendeta mereka mengharamkan atas mereka sesuatu maka mereka pun mengharamkankanya (HR at-Tirmidzi).

Hudzaifah dan Ibn Abbas, seperti dinyatakan oleh Imam Ibn Katsir dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, menjelaskan makna ayat tersebut, yakni bahwa Bani Israel mengikuti para rahib dan para pendeta mereka dalam apa yang mereka halalkan dan mereka haramkan. Itulah yang dikatakan oleh Rasul saw. sebagai bentuk ibadah (penyembahan) Bani Israel terhadap para rahib dan para pendeta mereka.

Kejahatan Makin Tak Terkendali

Hukuman mati yang akan disingkirkan dari pidana pokok itu dikhawatirkan oleh banyak pihak akan membuat negeri ini makin rusak. Dalam hal peredaran narkoba, misalnya, para gembong narkoba nantinya akan lebih berani beraksi. Sebab, dengan aturan itu, hukuman mati akan selalu menjadi pilihan terakhir yang besar kemungkinan tak dilirik oleh hakim. Para gembong narkoba akan bebas dari ancaman hukuman mati. Kalaupun dihukum penjara, mereka akan terus mengendalikan jaringan kejahatannya dari dalam penjara sampai dia mati. Dampaknya, bisa jadi narkoba di Indonesia makin tersebar luas. Itu artinya, jika sekarang sekitar 50 orang mati tiap hari karena narkoba, nanti angka itu bisa makin tinggi.

Pembunuhan, perampokan dan kejahatan lain juga bisa jadi akan makin banyak. Pasalnya, para pelaku tak lagi takut akan dihukum mati. Sungguh, ini akan makin memperparah bencana yang menimpa negeri ini. Karena hukuman mati disingkirkan, hukum sebagai faktor pencegah kejahatan jadi makin lemah.

Sebagian orang berdalih, hukuman mati tidak menyebabkan kejahatan berkurang, atau tidak efektif mencegah kejahatan. Ini adalah dalih yang tidak ada nilainya. Ada hukuman mati saja, angka kejahatan saat ini terus meningkat. Apalagi jika hukuman mati disingkirkan, hukuman jadi makin lembek sehingga tentu kejahatan akan makin marak.

Hukuman mati saat ini belum efektif sebab dianggap tidak terlalu menakutkan. Penjahat yang dipidana mati saja, masih punya kesempatan lolos dengan banding, kasasi, PK bahkan grasi dari Presiden. Pelaksanaan hukuman mati juga banyak ditunda-tunda, bahkan sangat lama sejak dijatuhkan vonis. Akibatnya, terpidana mati masih bisa mengendalikan jaringan kejahatannya dari penjara seperti dalam kasus narkoba. Ketika eksekusi dilakukan, masyarakat sudah tidak ingat betul atas kasusnya. Apalagi jika pun dilaksanakan, pelaksanaan hukuman mati itu tidak diketahui, tidak dilihat dan tidak diindera oleh masyarakat. Karena semua itu, wajar saja jika hukuman mati saat ini belum begitu efektif memberikan efek jera.

Karena itu semestinya yang harus dilakukan adalah bagaimana supaya efek jera dari hukuman mati itu efektif, bukan hukuman matinya yang malah dihilangkan.

Hukuman Mati dalam Islam

Syariah Islam dengan jelas menyatakan hukuman mati atas beberapa kejahatan tertentu yang masuk dalam kategori hudud dan jinayat. Hukuman bagi orang yang murtad dari Islam, misalnya, adalah hukuman mati. Rasul saw. bersabda:

« مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوْهُ »

Siapa saja yang mengganti agamanya maka bunuhlah (HR al-Bukhari, an-Nasa’i, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).

Pelaku homoseksual juga harus dihukum mati. Rasul saw. bersabda:

« مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ »

Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan obyeknya (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).

Pelaku begal, jika ia membunuh korbannya tanpa mengambil hartanya, juga harus dihukum mati (Lihat: QS al-Maidah [5]: 33). Pelaku pembunuhan juga mesti dihukum mati. Allah SWT berfirman:

]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى[

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh (TQS al-Baqarah [2]: 178)

Berdasarkan ayat ini, pelaku kejahatan pembunuhan yang disengaja wajib di-qishash yakni dihukum mati, kecuali jika ahli waris korban memaafkan dia, maka dia harus membayar diyat (denda).

Masih ada pelaku kejahatan lainnya yang bisa dijatuhi hukuman mati. Pelaku kejahatan dalam kategori ta’zir (yang bentuk dan kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad khalifah atau qadhi sesuai koridor hukum syariah) juga bisa sampai dijatuhi hukuman mati sesuai tingkat dan akibat dari kejahatannya. Misal, pelaku korupsi dan pengedar narkoba, jika tingkat kejahatannya sangat besar dan dampaknya sangat buruk, bisa dihukum mati.

Syariah Islam menyatakan tanpa ragu penerapan hukuman mati atas beberapa kejahatan tertentu. Ketentuan itu bersifat tetap dan tidak boleh diubah-ubah.

Pelaksanaan hukuman itu, seperti dalam kasus pelaksanaan rajam bagi pezina, harus disaksikan oleh masyarakat. Pelaksanaannya juga tidak berjeda lama dari saat vonis dijatuhkan. Dengan begitu masyarakat akan ingat betul hukuman itu dijatuhkan atas kejatahan apa. Dengan mengetahui pelaksanaan hukuman itu, maka efek jera akan sangat efektif. Efek jera itu pun akan efektif menghentikan pelaku dan mencegah orang lain dari kejahatan serupa. Inilah yang dinyatakan oleh Allah SWT bahwa dalam pelaksanaan qishash itu ada kehidupan bagi umat manusia:

]وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ[

Dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 179).

 

Imam al-Baghawi di dalam Ma’âlim at-Tanzîl menjelaskan, “Hal itu karena orang yang bermaksud membunuh, jika dia tahu bahwa membunuh itu akan menyebabkan dia dibunuh (dihukum mati), akan tercegah dari melakukan pembunuhan itu. Di situlah ada kelangsungan hidupnya dan kelangsungan hidup orang yang akan dia bunuh.”

Dengan demikian hukuman qishash itu bisa mempertahankan kehidupan orang yang ingin membunuh, orang yang akan dibunuh dan masyarakat pada umumnya. Hikmah berupa efek jera ini ada pada semua bentuk sanksi hukuman dalam Islam.

Syariah Islam Mewujudkan Keadilan dan Rasa Aman

Syariah Islam berasal dari Allah SWT, Zat Yang Mahatahu, Mahaadil dan Mahabijaksana. Karena itu pelaksanaan syariah Islam pasti akan mendatangkan rahmat, keadilan, rasa aman dan segala kebaikan bagi manusia.

Alhasil, jika kita benar-benar ingin merasakan rasa aman dan keadilan, maka syariah Islam harus diterapkan secara menyeluruh, tentu di bawah naungan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

 

 

Komentar al-Islam

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang kuartal I-2015 (Januari-Maret) mencapai 4,7%, melemah dibandingkan kuartal IV-2015 yang bisa di atas 5% (Detik.finance.com, 5/5).

  1. Kualitas pertumbuhan selama ini sangat buruk karena tidak disertai dengan pemerataan. Pertumbuhan hanya menghasilkan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang sehingga jurang kesenjangan kaya-miskin justru makin dalam.
  2. Itu adalah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang fokus pada pertumbuhan tetapi abai terhadap distribusi kekayaan secara merata dan berkeadilan.
  3. Terapkan sistem ekonomi Islam, niscaya pertumbuhan ekonomi akan tinggi serta distribusi kekayaan yang merata dan adil bisa terwujud.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*