Ketentuan Umum
Perusahaan yang dibentuk untuk menjalankan bisnis ini merupakan badan usaha. Badan usaha ini dalam kitab-kitab fiqih disebut syakhshiyyah ma’nawiyyah. Badan usaha ini sekaligus merupakan badan hukum (syakhshiyyah qanuniyyah). Badan usaha ini, dalam kitab fiqih, dibahas dalam pembahasan syarikah. Syarikah dibentuk oleh dua orang atau lebih. Mereka bisa warga negara tempat di mana syarikah tersebut berada, atau warga negara asing.
Mengenai status hukum perusahaan tersebut, apakah milik asing atau tidak, bisa dikembalikan kepada para pihak yang membentuk syarikah. Jika yang membentuk syarikah tersebut warga negara khilafah, di manapun wilayahnya, maka tidak disebut sebagai orang asing. Dengan begitu, perusahaannya tidak disebut sebagai perusahaan asing. Namun, jika yang membentuk syarikah tersebut adalah non-warga negara khilafah, inilah yang disebut perusahaan asing.
Mengenai hukum boleh dan tidaknya perusahaan asing di dalam negara khilafah, sebenarnya dikembalikan pada status warga asing tersebut. Jika dia Kafir Harbi fi’lan, seperti warga negara AS, Inggris, Rusia, Israel, misalnya, maka dengan tegas tidak dibenarkan mendirikan atau mempunyai perusahaan di dalam negara khilafah. Karena, visa yang diberikan oleh khilafah kepadanya adalah visa untuk mempelajari Islam saja, bukan visa bisnis atau yang lain.
Berbeda jika dia warga negara Kafir Harbi hukman, di mana hubungan antara negara khilafah dengan negaranya bukan hubungan perang, maka boleh dan tidaknya kembali kepada ada dan tidaknya klausul perjanjian antara negara khilafah dan negaranya. Jika ada, maka status mereka disebut Kafir Mu’ahad. Karena mereka boleh melakukan bisnis di dalam wilayah negara khilafah, maka mereka juga dibolehkan mendirikan perusahaan. Tentu dengan tetap terikat dengan ketentuan hukum Islam yang berlaku di wilayah tersebut.
Mengenai cakupan bisnisnya, karena barang-barang milik umum dan negara tidak boleh dikuasai oleh individu, maka perusahaan-perusahaan tersebut tidak akan memasuki dua sektor ini. Karena itu, penguasaan individu (swasta) terhadap kedua sektor ini, baik asing maupun domestik, sama-sama dianggap melanggar hukum. Maka, ketika khilafah berdiri, perusahaan-perusahaan ini dibekukan, karena dianggap melanggar hukum.
Menormalisasi Aset
Konsekuensi atas kebijakan ini, perusahaan publik atau negara yang dikuasai oleh individu, baik domestik maupun asing akan ditata ulang oleh khilafah berdasarkan hukum syara’. Perusahaan-perusahaan tersebut tidak harus dibubarkan, tetapi cukup diubah akadnya. Untuk itu, bisa dibekukan sementara. Dengan demikian, statusnya pun berubah, dari milik privat menjadi milik publik dan negara. Selain bentuknya menggunakan perseroan saham (PT Terbuka), yang jelas diharamkan, dan harus diubah, juga aspek kepemilikan sahamnya akan dikembalikan kepada masing-masing individu yang berhak. Karena akad ini batil, maka mereka hanya berhak mendapatkan harta pokoknya saja. Sedangkan keuntungannya haram menjadi hak mereka.
Karena bukan merupakan hak milik mereka, maka harta tersebut tidak boleh diserahkan kepada mereka, ketika PT terbuka tersebut dibatalkan. Demikian halnya, ketika perusahaan privat tersebut dikembalikan kepada perusahaan publik dan negara, maka pemilik yang sebenarnya adalah publik dan negara, bukan privat. Dengan begitu, individu-individu pemilik saham sebelumnya, setelah dibatalkan, tidak berhak mendapatkan keuntungan dari apa yang sebenarnya bukan haknya.
Dengan dinormalkannya kembali perusahaan publik dan negara berdasarkan hukum Islam, maka negaralah yang menjadi satu-satunya pemegang hak dalam mengelolanya. Dalam hal ini, negara bisa mengkaji, apakah bisa langsung running, atau tidak, bergantung tingkat urgensitas perusahaan tersebut. Termasuk, apakah dalam bentuk perusahaan atau biro, direktorat dan departemen? Ini masalah uslub.
Hanya saja, tetap harus diperhatikan, jika bidang yang ditangani perusahaan tersebut menyangkut layanan publik, tentu sangat urgen, sehingga tidak boleh berhenti. Misalnya, seperti PLN, Telkom, PAM, tol, dan lain-lain. Jika dengan pengembalian saham milik privat tadi menyebabkan perusahaan tidak berjalan, maka khilafah boleh saja untuk sementara tidak mengembalikan saham tersebut, tentu dengan kerelaan pemiliknya. Namun, jika bisa, dan terpaksa, maka khilafah bisa menyuntikkan dana dari sumber lain. Begitu seterusnya hingga layanan publik ini tidak terganggu.
Jika sebelumnya perusahaan ini untung, sebagaimana kasus Indosat, Freeport, dan lain-lain, maka keuntungannya bisa diparkir pada pos harta haram. Karena, ini merupakan keuntungan dari PT terbuka, yang statusnya haram. Selain itu, ini juga keuntungan yang didapatkan individu dari harta milik publik dan negara. Setelah itu, keuntungan yang haram ini pun menjadi halal di tangan khilafah, dan boleh digunakan untuk membiayai proyek atau perusahaan milik negara atau publik yang lainnya.
Menangani Perusahaan Asing
Jika perusahaan tersebut dimiliki oleh warga negara Kafir Harbi fi’lan, dan bergerak di sektor yang masuk dalam wilayah kepemilikan umum dan kepemilikan negara, seperti bisnis telekomunikasi, tambang, dan lain-lain, maka perusahaan tersebut akan dibekukan oleh khilafah. Sedangkan bisnis yang ditanganinya langsung diambil alih dan dikelola oleh negara. Karena ini merupakan hak milik umum dan negara.
Adapun perusahaan yang menangani sebelumnya, yaitu badan usaha (badan hukum), yang menjadi hak milik orang, maka negara pun akan menyerahkan kepemilikan perusahaan dan hartanya kepada pemilik asalnya. Ini dilakukan setelah diaudit oleh negara, berapa harta mereka, dan mana yang seharusnya menjadi hak milik umum dan negara yang ada di dalamnya. Harta yang menjadi milik mereka akan dikembalikan sebagai hak mereka, sedangkan yang menjadi hak milik umum dan negara akan diserahkan ke Baitul Mal.
Jika pemiliknya warga negara Kafir Harbi fi’lan, maka khilafah sama sekali tidak akan memberikan izin kepada mereka untuk menjalankan bisnisnya di dalam wilayah khilafah. Namun, jika pemiliknya warga negara Kafir Harbi hukman, atau Mu’ahad, maka khilafah bisa memberikan izin kepada mereka untuk menjalankan bisnis di dalam wilayahnya, sesuai dengan ketentuan hukum syariah. Hanya saja, ini pun tetap mengacu pada klausul yang disepakati oleh khilafah dengan negara mereka.
Lalu, bagaimana negara khilafah menangani sektor kepemilikan umum dan milik negara tersebut? Apakah dengan membentuk perusahaan baru, seperti syarikah, ataukah langsung di bawah departemen, biro, atau direktorat?
Dibentuknya perusahaan atau tidak untuk menangani sektor kepemilikan umum dan milik negara ini sebenarnya masalah uslub. Hukumnya mubah, sesuai dengan kebutuhan. Hanya saja, perusahaan atau badan yang dibentuk jelas bukan berupa syarikah, badan usaha atau badan hukum. Karena, untuk mengelolanya, negara tidak perlu menggaet pihak lain untuk melakukan partnership, sebagaimana individu ketika membentuk syarikah.
Karena itu, kalau pun negara memutuskan bidang tersebut dikelola oleh negara dalam bentuk perusahaan, maka perusahaan tersebut jelas bukan berbentuk badan usaha, badan hukum atau syarikah. Begitu juga, kalau negara memandang tidak perlu menggunakan uslub tersebut, tetapi cukup dengan departemen, biro atau direktorat, maka uslub ini juga mubah. Semuanya dikembalikan pada ijtihad dan pandangan khalifah. Wallahu a’lam[]
Sumber: Tabloid MediaUmat