Upaya membangun kesadaran umat merupakan tugas penting yang diemban oleh Hizbut Tahrir. inilah yang ditegaskan Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto dalam dalam Halqah Islam dan Peradaban (HIP) Edisi 57: Indonesia Kita Terancam Neoliberalisme & Neoimperialisme, Rabu (15/4) di Jakarta.
Kesadaran itu menurut Jubir HTI mencakup: Pertama, kesadaran problematik. Artinya, rakyat harus sadar bahwa mereka sedang sakit akibat neoliberalisme dan neoimperialisme. Inti neoliberalisme adalah peminggiran peran negara. Negara hanya dijadikan regulator. Akibatnya, negara berpihak kepada swasta (negara korporasi) dan menjadi negara pemalak rakyat (jibayah). Kedua, kesadaran solutif Islam: syariah dan khilafah. Bukan Islam sekadar keyakinan tetapi juga solusi penyelesaian masalah manusia.
Kesadaran ini penting mengingat hanya masyarakat atau umat yang sadar tentang dua hal itulah yang akan bergerak melakukan perubahan. Seseorang yang tidak sadar bahwa dia sebenarnya dalam keadaan sakit, tentu tidak akan pernah datang ke dokter, untuk menyembuhkan penyakitnya. Sama halnya dengan umat ini. Kalau umat tidak tahu bahwa sebenarnya mereka dalam keadaan sakit, tidak tahu apa persoalan utama mereka, apalagi tidak sadar apa solusi bagi penyakit mereka, maka umat akan bersikap apatis, jumud dan pasrah.
Inilah tugas utama dan penting Hizbut Tahrir. Untuk itu Hizbut Tahrir tidak pernah kenal lelah bergerak dan berdakwah di tengah masyarakat. Hizbut Tahrir menjelaskan kepada umat, bahwa kita ini sedang dalam keadaan sakit parah akibat penyakit neoliberalisme dan neoimperialisme.
Lihatlah apa yang terjadi di tengah-tengah kita akibat neoliberalisme ini. Puluhan pelajar di Kendal Jawa Tengah, ditangkap di hotel setelah menyelesaikan ujian nasional (UN). Diduga mereka berada di hotel melakukan zina dengan pasangan masing-masing. Ini yang terungkap. Tentu banyak lagi yang belum terungkap. Pesta seks, narkoba, minum-minuman keras, kerap dilakukan pelajar setelah menyelesaikan UN.
Semua ini akibat virus liberalisme yang telah merusak remaja kita. Itulah virus kebebasan, yang tidak mau terikat pada aturan-aturan Allah SWT.
Pemerintah alih-alih melindungi para remaja dari virus ini, malah memberikan fasilitas dan mengokohkan penyakit ini. Bukannya menutup situs-situs porno, vulgar dan merusak, tetapi malah menutup media-media Islam dengan tuduhan radikal. Tuduhan kabur yang tidak jelas. Bukannya memberikan fasilitas bagi kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah, malah menakuti-nakuti para orangtua dengan menuding kegiatan rohis di sekolah-sekolah ditunggangi kelompok radikal.
Kecenderungan menjauhkan umat dari agama ini semakin menonjol di era rezim Jokowi-JK, seperti upaya pengosongan kolom agama dari KTP, upaya melarang doa berdasarkan Islam di sekolah. Meskipun kebijakan ini tidak dilanjutkan karena mendapat protes keras dari masyarakat, hal ini mencerminkan sikap anti Islam.
Tidak mengherankan kalau Amerika memuji Jokowi karena sikap anti Islamnya. Majalah Time mengeluarkan daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia tahun 2015. Salah satu di antaranya adalah Joko Widodo. Dalam kesaksiannya, Paul Wolfowitz memberikan pengakuan atas upaya memasukan Jokowi ke dalam daftar itu. Menurut mantan Kedubes AS untuk Indonesia, Jokowi menunjukkan sikap anti ekstremis Muslim ketika membela lurah perempuan Kristen di Jakarta. Jokowi dianggap sukses menjaga tradisi keragaman agama di Indonesia.
Di bidang ekonomi, neoliberalisme ini pun semakin menguat. Inti neo-liberalisme adalah meminggirkan peran negara dengan menonjolkan peran swasta. Menguatlah negara korporasi yang lebih memihak kepada pemilik modal, terutama kepentingan kapital asing. Penguatan neoliberalisme ekonomi ini tampak dari kepatuhan negara pada prinsip-prinsip Konsensus Washington seperti privatisasi BUMN, liberalisasi perdagangan, liberalisasi investasi, pengurangan subsidi, ketergantungan pada hutang luar negeri dan penguatan pajak sebagai pemasukan utama negara.
Kebijakan neoliberal ini mendapat legitimasi dalam sistem demokrasi yang mengesahkan bebagai UU neoliberal. Akibatnya, seperti yang dikatakan peneliti Indonesia for Global Justice, Salamuddin Daeng, Indonesia saat ini terjerat dalam tiga persoalan rumit yang membelenggu. Pertama: Perjanjian-perjanjian internasional yang mengikat, seperti investasi dan perdagangan. Kedua: Proses reformasi yang membuka keran intervensi asing dalam merancang Undang-Undang yang kemudian disahkan DPR. Ketiga: Kontrak-kontrak yang menemukan keadaan idealnya sekarang.
Di era rezim Jokowi-JK neoliberalisme ini semakin kokoh. Di era sebelumnya liberalisasi sektor hulu migas sukses, yang berakibat lebih dari 80% migas dikuasai swasta terutama asing. Di era rezim Jokowi-JK, liberalisasi penuh sektor hilir sukses dilakukan. Rezim Jokowi mencabut subsidi BBM dan mengkaitkan harga premium berdasarkan mekanisme pasar secara penuh.
Pertamina juga berencana akan meluncurkan bensin baru beroktan 90 dan mulai menghentikan penjualan premium awal Mei. Produk baru dijanjikan ramah lingkungan dan lebih bertenaga. Padahal kebijakan ini adalah untuk memperkecil selisih harga BBM yang dijual Pertamina dengan SPBU asing. Masyarakat diharapkan akan berbondong-bondong membeli BBM di SPBU asing. Tentu, SPBU asing akan mendapat keuntungan yang sangat besar.
Sikap rezim Jokowi-JK yang demikian ‘baiknya’ kepada Freeport adalah bukti lain yang nyata; bukti bahwa rezim Jokowi-JK sangat berpihak kepada kapitalisme asing. Alih-alih menghukum Freeport karena telah melanggar UU Minerba dengan tidak membangun smelter hingga saat ini. Pemerintah malah menerbitkan surat persetujuan ekspor (SPE) konsentrat tembaga selama enam bulan, berlaku mulai dari bulan januari 2015 hingga Juli 2015.
Selama 6 bulan ini Freeport mendapat izin mengekspor 580 ribu ton konsentrat. Pemerintah, dengan alasan untuk kepentingan membangun smelter dan tambang underground Freeport, bernafsu untuk segera memperpanjang kontrak karya 20 tahun lagi.
Pemerintah neoliberal yang bertumpu pada pajak menargetkan pajak naik 600 triliun. Untuk mencapai target ini, gaji Dirjen Pajak pun dinaikkan 100 juta perbulan.
Kesadaran tentang ancaman neoliberalisme yang menjadi pintu penjajahan gaya baru (neoimperialisme) inilah yang konsisten disampaikan oleh Hizbut Tahrir, termasuk menjelaskan Khilafah Islam sebagai solusi dari semua problem ini. Dari kesadaran ini, umat insya Allah akan bergerak menuntut perubahan, bukan semata-mata karena dorongan penderitaan yang dialami akibat penjajahan, tetapi lebih penting dari itu, karena kewajiban penegakan syariah dan Khilafah. Allahu Akbar! [Farid Wadjdi]