Neoimperialisme Ancaman Besar Negeri Ini: Penguasaan Oleh Asing dan Ketergantungan Kepada Asing

Oleh: Yahya Abdurrahman (Lajnah Siyasiyah DPP HTI)

Negeri ini sudah hampir 70 tahun bebas dari penjajahan fisik, penjajahan ala militer. Kemerdekaan itu mestinya membuat negeri ini berdaulat, dalam arti nasib negeri ini ada di tangan pemerintah negeri ini dan rakyatnya. Negeri ini bisa menentukan kebijakannya sendiri tanpa disetir, dikendalikan atau di bawah pengaruh pihak lain. Kemerdekaan itu mestinya membuat rakyat negeri ini berkuasa atas kekayaan negerinya dan bisa didistribusikan kepada mereka secara adil untuk kemakmuran mereka sendiri.

Namun jika kita cermati kondisi negeri ini hingga saat ini, tampaklah bagi kita bahwa imprialisme masih terus berjalan di negeri ini. Imperialisme saat ini tidak lagi dengan wajah sangar imperialisme militer, melainkan melalui cara-cara modern yang tidak tampak kasat mata. Namun esensinya tetap sama.

Imperialisme adalah politik untuk menguasai wilayah lain demi kepentingan pihak yang menguasai. Menguasai disini dahulu para era penjajahan kuno dilakukan dengan kekuatan militer, mengammbil alih dan menduduki satu wilayah serta membentuk pemerintahan kolonial di negara/wilayah jajahan. Namun cara ini secara umum sudah ditinggalkan, sebab menimbulkan perlawanan dari penduduk wilayah yang dijajah karena penjajahan itu bisa dilihat secara kasat mata. Maka penguasaan atas suatu wilayah itu akhirnya dilakukan melalui kontrol dan menanamkan pengaruh ekonomi, politik, pemikiran, budaya, hukum dan hankam. Namun tujuan akhirnya sama, yaitu mengalirkan kekayaan wilayah itu ke negara yang menguasai dan berpengaruh. Wilayah yang dijajah tetap dijadikan sebagai sumber kekayaan baik bahan mentah, tenaga kerja murah dan pasar.

Upaya neoimperialisme atau penjajahan modern itu dilakukan melalui apa yang disebut oleh Jenderal Ryamizard Ryacudu sewaktu menjadi KSAD sebagai skenario perang modern. Perang modern ini tidak menggunakan hard power (militer dan senjata) tetapi menggunakan soft power bahkan smart power. Menurutnya negara-negara kaya sumber daya alam (SDA) menjadi sasaran perang modern. Perang modern itu dimainkan dan dikendalikan negara-negara maju yang memiliki naluri sebagai agresor. Perang modern itu dilancarkan untuk memuluskan kepentingan nasional mereka terutama terkait dengan aspek ekonomi negara agresor. “Penghancuran negara secara sistematis menjadi konsep perang modern, khususnya terhadap negara-negara yang memiliki SDA kaya untuk kemudian ditaklukan dan dikuasai,” katanya. Masih menurutnya, berbeda dengan perang konvensional, perang modern murah meriah dengan efek lebih dahsyat karena menghancurkan semua sendi.

Jenderal Ryamizard mengungkapkan, perang modern dilancarkan melalui sejumlah tahapan. Tahap pertama adalah infiltrasi lewat jalur intern, militer, pendidikan, politik, media massa. Di samping itu juga ada eksploitasi dan adu domba lewat pembentukan opini, penciptaan sel-sel perlawanan hingga gelar provokasi. Tahap berikutnya, adanya kegiatan cuci otak dengan mengubah cara berfikir dan paradigma, mengubah nilai-nilai yang ada ke nilai-nilai asing. Setelah itu tahap perang modern memasuki aksi penghancuran, pelemahan, dan penguasaan yang dilakukan melalui operasi intelijen hingga konfrontasi. Tahap terakhir adalah sasaran direbut dan dikuasai.

Sepuluh tahun lalu, jenderal Ryamizard meyakini tahapan perang modern telah dijalankan di Indonesia. Tahapan itu dimulai dari infiltrasi, operasi intelijen, politik adu domba, cuci otak, invasi, cuci tangan, dan dipuja-puji sebagai penegak hak asasi manusia dan demokrasi setelah berhasil.

Perang modern itu mirip dengan apa yang diistilahkan oleh Jean Tirole, profesor ekonomi di Universitas Toulouse, pemenang Nobel Ekonomi, sebagai proxy war. Yaitu suatu bentuk perang memperebutkan pengaruh ekonomi dan politik di suatu negara tanpa keterlibatan langsung negara yang melakukan agresi. Proxy war itu merupakan tahap lanjut dalam perang modern. Aktor-aktornya adalah korporasi multinasional, lembaga internasional dan negara-negara besar.

Semua itu tergambar pada fakta penguasaan asing atas sumberdaya negeri ini, besarnya ketergantungan negeri ini terhadap asing, kontrol dan pengaruh asing dalam pembuatan UU yang melahirkan banyak sekali UU bercorak neo-liberal yang membangun kerangka legal (legal frame) sistem neo-liberal. Sistem neo-liberal yang makin membuka lebar dan melapangkan jalan bagi penjajahan. Termasuk bagian dari cara untuk makin mempermudah masuknya penjajahan dan memperdalam penjajahan itu, banyak kewenangan didorong untuk dipecah dari pusat (nasional) ke daerah melalui otonomi dan jika perlu melalui disintegrasi dan separatisme.

Maka dari itu, bahaya dan ancaman hakiki negeri ini adalah neoimperialisme, neoliberalisme dan separatisme. Bahaya ini bukan sekedar ancaman bahkan sudah nyata-nyata menyebabkan kesengsaraan bagi penduduk negeri ini.

Neoimperialisme: Penguasa Oleh Asing dan Ketergantungan Kepada Asing

Meski sudah merdeka hampir 70 tahun, nyatanya negeri ini belum lepas dari penguasaan oleh asing. Data-data tentang kondisi negeri ini dengan jelas menunjukkan negeri ini masih dikuasai asing di berbagai lini. Ketergantungan negeri ini terhadap asing juga terjadi di berbagai bidang, bahkan sering tidak masuk akal.

Fakta penguasaan oleh asing atas kekayaan negeri ini, kontrol terhadap politik dan kebijakan negeri ini, dan ketergantungan terhadap asing membuat miris siapapun yang peduli dengan negeri ini dan penduduknya. Jika konstitusi mengamanatkan bahwa “tanah air dan segala isinya dikuasai oleh negara dan diguakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, fakta yang ada ternyata sangatlah jauh panggang dari api.

Pada tahun 2011 data menunjukkan di bidang perminyakan, penghasil minyak utama didominasi oleh asing. Diantaranya, Chevron 44%, Total E&P 10%, Conoco Phillip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1 % dan lainnya 3%. Sedangkan Pertamina & mitra yang dianggap mencerminkan penguasaan nasional hanya menguasai 16% (sumber: Dirjen Migas, 2009).

Di bidang pertambangan, lebih dari 70% dikuasai asing. Porsi operator minyak dan gas, 75 % dikuasai asing. Asing juga menguasai 50,6% aset perbankan nasional per Maret 2011. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Begitu pula telekomunikasi dan industri sawit pun juga lebih banyak dikuasai asing (lihat, Kompas, 22/5/2011).

Dalam hal penguasaan terhadap aset dan investasi, sebagian besar dikuasai asing. Hal itu bisa dilihat dari penguasaan tambang. PMA (Penanaman Modal Asing) menguasai US$ 4,8 miliar atau sekitar Rp 57,6 triliun, sementara PMDN hanya 18,8 triliun (Republika, 20/10/2014). Artinya penguasaan asing atas pertambangan mencapai 75,39 peren, sementara nasional hanya menguasai 24,61 persen. Begitu pula penguasa asing pada sektor migas.

Menurut Ketua Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia Bambang Ismawan, 60 persen industri penting dan strategis telah dikuasai investor asing, seperti perbankan, telekomunikasi, elektronika, asuransi dan pasar modal (Republika, 20/10/2014). Ketika, kekayaan alam dan industri penting dan strategis lebih dikuasai asing, pada hakikatnya negeri ini masih terjajah. Sebab dengan itu kekayaan negeri ini dan hsil industrinya banyak mengalir demi kesejahteraan asing.

Dalam aspek penguasaan atas areal tanah dan hutan, area tanah seluas 175 juta ha dikuasai dalam bentuk HPH, HGU, Kontrak Karya. Sementara air tawarnya dikuasai oleh 246 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK). 65% dipasok oleh perusahaan asing (Aqua Danone dan Ades Coca Cola). Aqua Danone milik Prancis menguras air Indonesia dari 2001-2008 saja mampu menjual 32 juta liter dengan laba yang dilapor hanya Rp 728 milyar. Dimana label dalam kemasannya disebut berasal dari mata air pegunungan, padahal tak sedikit diambil dari exploitasi air tanah.

Ahmad Erani Yustika, ekonom INDEF, mengungkapkan bahwa struktur sektor perbankan secara umum juga telah dikuasai asing. Beberapa bank sahamnya didominasi asing yaitu Danamon (68,83%), Buana (61%), UOBI (100%), NISP (72%), OCBC (100%), CIMB Niaga (60, 38%) BII (55,85%), BTPN (71,6%). Meskipun masih minoritas tapi Bank Panin dan Bank Permata masing-masing sudah dikuasai asing dengan 35% dan 44,5%. Tahun 2011 dijual/privatisasi 10 BUMN. Selama 5 thn (2004- 2009) kredit bank asing hanya mengucur 19,34% dan sekarang cenderung turun dibawah bank pemerintah/swasta nasional.

Penguasaan negara dalam perekonomian dari hari ke hari makin kecil. BUMN yang merupakan perpanjangan tangan negara di berbagai sektor perekonomian satu per satu dijual kepada swasta melalui program privatisasi langsung atau tidak langsung.

Pemerintah telah memprivatisasi 12 BUMN pada periode 1991-2001 dan 10 BUMN pada periode 2001-2006. Salah satu penjualan BUMN yang merugikan negara bahkan krugian strategis adalah penjualan Indosat pada tahun 2003. Pada tahun 2003 itu BUMN Indosat dijual ke Temasek BUMN Singapura dengan harga 5 triliun. Selama 5 tahun Temasek telah meraup keuntungan 5 triliun laba dari bisnis telekomunikasi tersebut. Artinya secara kasar modal sudah kembali. Tahun 2008 Temasek menjual Indosat ke Qatar Telecom senilai 16 triliun. Artinya dalam lima tahun saja BUMN Singapura itu untung 16 triliun. Meneg BUMN kala itu Sofyan Djalil tidak mampu memperjuangkan pembelian kembali Indosat oleh pemerintah dan juga tidak kuasa menahan penjualan Indosat ke Qatar Telecom.

Pada 31 Januari 2008, Menko Ekuin Boediono sebagai ketua Komite Privatisasi BUMN meneken surat keputusan untuk menjual 44 BUMN.   Dari 44 BUMN itu, sebanyak 33 di antaranya adalah nama baru, sedangkan 11 lainnya adalah perusahaan yang direncanakan dilego tahun sebelumnya, tapi tidak kesampaian. Keputusan privatisasi dilakukan oleh Komite Privatisasi Perusahaan BUMN yang diketuai Menko Ekuin Boediono dengan wakilnya Meneg BUMN Sofyan Djalil –yang sekarang menajdi Menko Ekuin Kabinet Kerja- dan anggotanya Menkeu Sri Mulyani Indrawati serta menteri yang menjadi pembina teknis BUMN yang akan dijual.

Sejumlah BUMN yang akan dilego tersebut adalah Semen Kupang,  PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, IV, dan V, Adhi Karya, Sucofindo, Surveyor Indonesia, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Tabungan Negara, Krakatau Steel, serta kawasan industri di Medan dan Makassar. Pada tahun 2008 tersebut, Menko Ekuin Boediono mengharapkan agar dari 139 BUMN diprivatisasi menjadi 69 BUMN pada  di akhir 2009.  Rencana menjual 44 BUMN ini akhirnya gagal terganjal di DPR karena sudah mendekati Pemilu 2009.

Sejak 2009, privatisasi tidak dilakukan melalui penjualan langsung dengan menggandeng mitra strategis (strategic sales). Sebab penjualan langsung seperti itu sudah mendapat kritik sangat banyak dan langsung kasat mata. Privatisasi pun akhirnya dilakukan secara tidak langsung. Yaitu melalui skema penjualan saham ke publik. Krakatau steel diprivatisasi dengan model ini. Berdasar data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2009, dari 14 BUMN yang tercatat di BEI, pihak asing telah menguasai saham 31%, setara dengan Rp 137 triliun. Asing menguasai sektor-sektor strategis seperti telekomunikasi, perbankan, pertambangan dan migas, semen, serta farmasi. Pada beberapa BUMN kategori blue chips, kepemilikan asing bahkan menyundul angka 40 persen. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, misalnya, 39,5 persen sahamnya ada dalam genggaman pihak asing. Demikian pula PT Semen Gresik Tbk sebanyak 39,21% dikuasai asing. Bank Rakyat Indonesia (BRI) – yang selama ini menjadi andalan para petani dan rakyat kecil – sahamnya telah dikuasi asing sebesar 35,39 persen. Maka dengan skema penjualan saham ke publik itu, namanya tetap BUMN tetapi banyak sahamnya telah dikuasai asing. Dengan begitu, penguasaan asing atas BUMN tidak kasat mata dan karenanya tidak atau kurang dipersoalkan. Dengan semua program privatisasi itu baik yang lansung maupun tidak langsung, penguasaan atau perang langsung negara dalam berbagai sektor perekonomian terutama yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak dari waktu ke waktu makin kecil. Ini sejalan dengan doktrin neo liberal yang selama ini dipraktekkan di negeri ini.

Semua itu baru sebagian dari fakta penguasaan asing atas sumberdaya, kekayaan dan perekonomian negeri ini. Dari situ saja sudah tampak jelas sedemikian besarnya penguasaan asing atas berbagai sumberdaya negeri ini. Di sisi lain, ketergantungan negeri ini kepada asing juga sangat besar. Banyak sekali komoditi yang tergantung pada impor dari negara lain. Bahkan pada produk-produk pertanian yang sesungguhnya di negeri ini juga bisa diproduksi ternyata tidak luput dari serbuan impor bahkan tergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada beberapa tahun terkhir negeri ini impor 1,6 juta ton gula, 1,8 juta ton kedelai, 1,2 juta ton jagung, 1 juta ton bungkil makanan ternak, 1,5 juta ton garam, 100 ribu ton kacang tanah, bahkan pernah mengimpor sebanyak 2 juta ton beras. Dengan kondisi seperti ini pastinya ada yang salah dengan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia menyangkut sektor pertanian.

Dari semua fakta itu tidak salah jika dikatakan bahwa neoimperialisme masih terus berjalan terhadap negeri ini. Bahkan dari hari ke hari neoimperialisme itu makin dalam. Hanya bedanya dengan imperialisme kuno dahulu yang menggunakan kekuatan militer dan pendudukan langsung, neoimperialisme (imperialisme modern) ini dilakukan melalui soft power dan skenario perang modern seperti yang digambarkan oleh jenderal Ryamizard sewaktu menjadi KSAD.

Neoimperialisme yang sudah dan sedang terjadi akhirnya menimbulkan dampak negatif yang luar biasa di berbagai lini. Di antara dampak nyata dari imperialisme baru itu:

  1.  Kemiskinan

Pembangunan sudah berjalan 69 tahun, kekayaan alam juga sudah banyak yang habis, tetapi jumlah orang miskin hingga Maret 2014 masih sangat tinggi. Berdasarkan data BPS, jumlah orang miskin pada Maret 2013 sebesar 28,066 juta orang dan jumlah itu justru naik menjadi 28,280 juta orang pada Maret 2014. Padahal standar orang yang dikatakan miskin menurut BPS adalah jika pengeluaran per bulannya sekitar Rp 220.000 per orang per bulan. Sementara jika mengikuti standar Bank Dunia yaitu orang dikatakan miskin jika pengeluarannya kurang dari 2 dolar AS per hari atau sekitar Rp 600 ribu per orang per bulan, maka jumlah orang miskin bisa lebih dari 100 juta atau hampir separo dari jumlah penduduk negeri ini.

  1. Angka Pengangguran Tinggi

Menurut data BPS, per Juli 2014 angka pengangguran terbuka masih sebesar 7,15 juta. Ini adalah angka pengangguran terbuka, yaitu yang benar-benar nganggur, yaitu yang bekerja kurang dari 2 jam per minggu. Jika kriteria penangguran juga dimasukkan yang setengah menganggur maka angka itu akan jauh lebih besar. Disi lain, tiap tahun angkatan kerja bertambah sekitar 2,5 juta orang. Masalahnya akibat pembangunan yang mengikuti model yang diperintahkan oleh negara-negara imperialis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama ini tidak bisa menciptakan lapangan kerja seperti yang diharapkan untuk bisa mengatasi masalah angka pengangguran itu.

  1. Kesenjangan Terus Melebar

Di Kaltim, batubara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas 16.8 ton pertahun; perak 14 ton pertahun; gas alam 1.650 miliar meter kubik pertahun (2005); minyak bumi 79.7 juta barel pertahun, dengan sisa cadangan masih sekitar 1.3 miliar barel. Namun, dari sekitar 2.5 juta penduduk Kaltim, sekitar 313.040 orang (12.4 persen) tergolong miskin.

Di Aceh, cadangan gasnya mencapai 17.1 tiliun kaki kubik. Hingga tahun 2002, sudah 70 persen cadangan gas di wilayah ini dikuras oleh PT Arun LNG dengan operator PT Exxon Mobile sejak 1978. Namun, Aceh menjadi daerah termiskin ke-4 di Indonesia dimana 28,5 % penduduknya miskin.

PDB Indonesia tahun 2014 diprediksi sebesar Rp 10.063 triliun. Pertumbuhan negeri ini juga terus ada di atas angka 5 persen. Namun semua itu diikuti dengan kesenjangan yang makin tinggi. Hal itu bisa dilihat dari Indeks Gini yang terus meningkat. Jika pada tahun 2009 Indeks Gini 0,37, angka itu terus naik menjadi 0,413 tahun 2013 dan tahun 2014 diprediksi mencapai 0,42 atau 0,43. Ini menandakan hasil pertumbuhan dan kekayaan lebih banyak di nikmati oleh segelintir kecil orang. Hal itu dibuktikan oleh data distribusi simpanan di bank umum pada Juli 2014 yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Total ekening simpanan di bank umum yang ada sebanyak 152.804.340 rekening. Jika diasumsikan satu orang memiliki satu rekening, artinya ada sekitar 100 juta penduduk Indonesia yang tidak punya rekening simpanan di Bank umum. Pemilik rekening diatas 1 miliar yang jumlahnya 409.564 rekening (rekening 1-2 M sebanyak 222.563 rekening, rekening 2-5 M sebanyak 118.077 rekening dan rekening lebih dari 5 M sebanyak 69.014 rekening) atau 0,27% dari total rekening menguasai 61,44 % dari total nominal simpanan. Pemilik rekening diatas 5 miliar yang jumlahnya hanya 60.014 rekening atau 0,05 persen ternyata menguasai 43,59 persen dari total nominal tabungan.

Sumber: Distribusi Simpanan Bank Umum Juli 2014. LPS.go.id

Sumber: Distribusi Simpanan Bank Umum Juli 2014. LPS.go.id

 

  1. Beban berat utang luar negeri dan dalam negeri.

Negeri ini sudah terjebak dalam jerat utang. Total utang pemerintah per 30 September sudah mencapai Rp. 2.601,72 triliun terdiri dari Rp 684 triliun utang dan Rp 1.918 triliun dari Surat Utang Negara. Akibat terus membengkaknya utang, APBN tiap tahun terbebani untuk membayar cicilan pokok dan bunga yang terus meningkat. Pembayaran bunga utang sampai September 2014 sudah mencapai Rp 103,352 triliun dan cicilan pokok mencapai Rp 170,062 triliun. Pagu APBN 2014 untuk cicilan pokok Rp 247,696 triliun dan cicilan bunga Rp 121,386 triliun, totalnya Rp 368,981 triliun. Sedangkan di APBN-P 2014, cicilan bunga ditetapkan Rp 135,453 triliun. Bahkan sejak 2010 total cicilan pokok dan bunga utang selalu diatas 230 triliun pertahun. Untuk mengatasi problem jerat utang ini belum ada skenario dari pemerintahan baru. Justru yang sudah ada adalah penarikan utang baru di tahun 2015 seperti yang ada di APBN 2015.

Meski sudah lebih dari Rp 1300 triliun membayar cicilan utang pokok dan bunga, negeri ini bukannya terbebas dari utang, justru sebaliknya makin tenggelam dalam jeratan utang. Pada Maret 2015, total utang Pemerintah Pusat telah mencapai Rp 2.702,29 triliun. Sebesar Rp 681,27 triliun berupa utang terdiri dari Rp 677,98 triliun berupa utang luar negeri dan Rp 3,2 triliun berupa utang dalam negeri, dan sisanya Rp 2.021,02 triliun berupa Surat Utang Negara yang terdiri dari Rp 513,04 triliun dalam bentuk mata uang asing dan Rp 1.507,98 triliun dalam bentuk Rupiah.

  1. Kekayaan Alam Lebih Banyak Dikuasai dan Dinikmati oleh Asing

Akibat kekayaan alam lebih dikuasai asing maka akhirnya kekayaan itu lebih banyak dinikmati oleh asing. Ambil contoh hasil kekayaan alam berupa emas dan tembaga yang dikuasai oleh PT Freeport di Papua. Penerimaan pajak, deviden dan royalti Pemerintah dari PT Freeport selama 2010 (sampai bulan September) adalah sebesar Rp 11,8 triliun (Kompas.com, 14/12/2010). Pemerintah memiliki saham di PT Freeport Indonesia (PTFI) sebesar 9,36 persen, sementara PT Freeport McMoran menguasai 91,64 persen saham. Setiap tahun PTFI semestinya membagikan deviden.

Tahun 2012 deviden yang harus disetor oleh PTFI kepada Pemerintah sebesar Rp 1,5 triliun. Nilai itu turun 14,77 persen dari tahun 2011 yang sebesar Rp 1,76 triliun. Sementara di tahun 2010 deviden yang disetor PTFI kepada Pemerintah sebesar Rp 1,51 triliun, turun 27,75 persen dari deviden tahun 2009 sebesar Rp 2,09 triliun (Merdeka.com, 9/10/2012).

Karena saham yang dimiliki PT Freeport McMoran di PTFI sepuluh kali saham yang dimiliki oleh Pemerintah, itu artinya bagian deviden PT Freeport juga sepuluh kali lipat deviden yang disetor PTFI kepada Pemerintah. Itu artinya PT Freeport mendapatkan deviden dari PTFI sebesar Rp 20,9 triliun tahun 2009 (bandingkan Pemerintah hanya dapat Rp 2,09 triliun), Rp 15,1 triliun tahun 2010 (bandingkan Pemerintah hanya dapat Rp 1,51 triliun), Rp 17,6 triliun tahun 2011 (bandingkan Pemerintah hanya dapat Rp 1,76 triliun), dan Rp 15 triliun tahun 2012 (bandingkan Pemerintah hanya dapat Rp 1,5 triliun). Perbandingan bagian deviden dari PTFI antara PT Freeport McMoran dan Pemerintah dapat dilihat pada tabel berikut:

Pembagian Deviden PT Freeport Indonesia (Rp triliun)

Tahun Pemerintah Freeport McMoran
2009 2,09 20,9
2010 1,51 15,1
2011 1,76 17,6
2012 1,5 15

Menurut Marwan Batubara dari IRESS, secara global Freeport McMoran punya cadangan tembaga 111,2 miliar pon, emas, 31,3 juta ons dan perak 308,5 juta ons. Dari total cadangan global itu, kontribusi cadangan tambang RI untuk tembaga 27 persen, emas 95 persen, dan perak 37 persen. Artinya, cadangan yang dikuasai PT Freeport Indonesia tembaga sebesar 30,024 miliar pon, emas 29,735 juta ons dan perak 114,145 juta ons. Dalam hal produksi Freeport McMoran pada tahun 2013, tambang Papua menyumpang produksi tembaga 22 peren, emas 91 peren, dan perak 36 persen. Berarti, kontribusi tambang RI sangat besar terhadap pendapatan terkonsolidasi Freeport McMoran.

Pendapatan terkonsolidasi Freeport McMoran pada 2013 sebesar 20,921 miliar dollar AS, meningkat dari 18,010 miliar dollar AS pada 2012. Freeport McMoran juga melaporkan volume penjualan Tambang Grasberg 2013 untuk emas dan tembaga meningkat 6,2 persen dibanding tahun 2012, dari 4,09 miliar dollar AS naik menjadi 4,34 miliar dollar AS. Ternyata pada 2012 dan 2013 pendapatan Freeport McMoran dari tambang di Indonesia meningkat, bukan menurun seperti disebutkan PTFI. Padahal penurunan produksi itu dijadikan alasan untuk tidak membayar/melunasi deviden selama tiga tahun berturut-turut 2012, 2013 dan 2014 kepada Pemerintah.

Dengan peningkatan pendapatan 2013, Freeport McMoran membayar dividen 2,3 miliar dollar AS atau 2,25 dollar AS per saham bagi common stock (memperoleh pembayaran dividen setelah preferred stock). Dividen per saham Freeport McMoran tahun 2010 sebesar US$ 1,125; tahun 2011 sebesar US$ 1,50; dan tahun 2012 sebesar US$ 1,25 per lembar saham common stock.

Pendapatan PT Freeport Indonesia pada tahun 2012 sebesar US$ 4,1 miliar dan naik menjadi US$ 4,4 miliar tahun 2013. Dari pendapatan itu, laba kotor PTFI tahun 2012 sebesar US$ 1,3 miliar atau Rp 14,95 triliun (kurs Rp 11.500/US$) dan naik menjadi US$ 1,5 miliar tahun 2013 atau Rp 17,25 triliun (kurs Rp 11.500/US$). Laba sebesar itu 90 persennya menjadi bagian Freeport McMoran yang menguasai 90,64 persen saham PTFI. Namun anehnya, PTFI tidak menyetor deviden kepada Pemerintah tahu 2012 dan 2013 itu. Penerimaan negara dari hasil PTFI berupa royalti, PPh dan deviden hanya Rp 11,8 triliun. Dari data-data yang ada itu, tampak jelas bahwa hasil tambang Freeport Indonesia lebih banyak dinikmati oleh Freeport McMoran, perusahaan tambang dari AS. Karena pendapatan yang sangat besar itulah, Freeport ngotot meminta Kontrak Karyanya yang seharusnya berakhir 2021 agar diperpanjang dua kali 10 tahun hingga 2041.

Ini baru dari satu tambang yaitu Freeport di Papua. Padahal masih sangat banyak tambang berbagai mineral di seluruh Indonesia. Potensi pendapatan dari kekayaan tambang ini sangat besar. Sebagai gambaran saja, produksi batubara, misalnya, mencapai 421 juta ton tahun 2013. Jika harga produksi rata-rata perton sebesar US$ 20 dan harga pasar tahun 2014 US$ 74 per ton maka potensi pendapatannya mencapai Rp 250 triliun. Contoh lainnya tembaga. Pada tahun 2012, produksinya mencapai 2.4 juta ton. Biaya produksinya sebesar US$ 1,24 per pound dan harga jualnya sebesar US$3.6 per pound (Laporan Keuangan PT Freeport McMoran, 2013). Dengan demikian, potensi pendapatannya sebesar Rp 124 triliun. Dari dua komoditas ini saja potensi pendapatannya sudah mencapai Rp 374 triliun. Namun sayang pendapatan sangat besar dari tambang itu kebanyakan justru dinikmati asing dan swasta, bukan oleh rakyat yang sejatinya menjadi pemilik kekayaan alam itu.

Semua itu hanya sebagian dampak buruk dan menyengsarakan dari neimperialisme atas negeri ini. Masih banyak dampak buruk lain dari neoimperilaisme yang telah dan terus berlangsung atas negeri ini. Wallah a’lam bi ash-shawâb. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*