Bagaimana proses terjadinya imperialisme penting diketahui untuk bisa menghadapinya. Intinya jika kita telusur, proses neoimperialisme ini dilakukan dengan jalan menjebak negara/wilayah sasaran dengan jeratan utang. Utang itu digunakan alat untuk memaksakan kebijakan-kebijakan imperialistik. Berikutnya utang juga digunakan untuk memaksakan dibentuknya kerangka legal dan sistem yang liberal. Selanjutnya kerangka legal dan sistem yang liberal itu membuka pintu lebih lebar dan melapangkan jalan untuk neoimperialisme. Itulah yang terjadi di negeri ini.
Proses neoimperialisme di dunia dan khususnya di negeri ini bisa ditelusur sejak dekade 50-an abad lalu. Proses penanaman modal asing dan penggelontoran utang yang menjebak berjalan secara beriringan. Proses neoimperialisme ini melibatkan lembaga-lembaga internasional dan berkolaborasi dengan anak-anak negeri sendiri.
Dalam Konferensi Moneter dan Keuangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Bretoon Woods-Amerika Serikat yang diadakan antara tanggal 1 Juli 1944 sampai 22 Juli 1944 telah dicapai apa yang dinamakan “Persetujuan Bretoon Woods“. Persetujuan in ditandatangani oleh 44 negara, menetapkan dibentuknya dua badan keuangan internasional, yakni Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund atau IMF) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank For Reconstruction and Development atau IBRD). IBRD ini menjadi cikal bakal Bank Dunia (World Bank atau WB).
Tujuan pokok dari IMF ini sebagaimana tercantum dalam statutennya adalah stabilisasi kurs penukaran mata uang negara anggota, perluasan perdagangan internasional, penurunan tarif bea-bea, penghapusan pembatasan-pembatasan secara berangsur (cikal bakal free trade/pasar bebas). Tujuan dari Bank Dunia adalah untuk memberi bantuan-bantuan berjangka panjang kepada para anggota guna mengadakan rekonstruksi produksinya akibat kerusakan peperangan ataupun mengadakan pembangunan ekonomi untuk menaikkan kemakmuran rakyatnya.
Indonesia didorong oleh keinginan yang besar untuk menyatakan kesediaannya mengadakan kerjasama internasional. Pada tanggal 24 Juli 1950, Indonesia mengajukan permintaan untuk menjadi anggota dari IMF dan Bank Dunia. Tiga tahun setelahnya yakni pada pertengahan 1953, Indonesia diterima menjadi anggota dari IMF dan Bank Dunia dan di dalam negeri keanggotaan itu disahkan dengan UU No. 5 Th. 1954 tanggal 13 Januari 1954.
Soekarno melihat pengalaman bahwa justru hubungan Indonesia dengan Bank Dunia lebih merugikan kita. Pemerintahan Soekarno melihat bahwa IMF dan Bank Dunia melalui praktik-praktik yang dijalankan selama ini, terutama terhadap negara-negara yang sedang berkembang hanya menjadi alat dari kaum kapitalis untuk menjalankan politik neokolonialisme dan imprialisme. Karena itu akhirnya pada Soekarno memutuskan Indonesia menarik diri dari keanggotaan di IMF dan Bank Dunia dengan UU No. 1 Th. 1966 tanggal 14 Februari 1966.
Setelah kekuasaan beralih kepada Soeharto melalui Supersemar maka muncullah Tap MPRS RI Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia yang membuka hubungan yang luas dengan Amerika dan Barat. Dan ditambah pada Juli 1966, keluar Tap MPRS RI Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebidjaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan yang memungkinkan lembaga dan korporasi asing mendapat akses yang tertentu dengan kuantitas yang besar. Berlandaskan Tap MPRS tersebut, pada November 1966 terbit UU No. 8 Th. 1966 yang menganulir UU No. 1 Th. 1966. UU itu menyatakan Indonesia kembali bergabung dengan IMF dan Bank Dunia.
Pada tahun 1966 itu bisa dikatakan Indonesia mengalami krisis. Perekonomian terpuruk. Keterpurukan perekonomian itu dianggap akibat sistem ekonomi yang dibangun masa Soekarno. Setelah kekuasaan beralih ke tangan Soeharto, di bidang ekonomi Soeharto menunjuk Widjojo Nitisastro yang lulusan Universitas California di Berkeley untuk menata sistem ekonomi Indonesia yang baru, yang berbeda dengan Soekarno. Maka mulai saat itu, perekonomian Indonesia ditata mengikuti model ekonomi kapitalisme.
Untuk mendatangkan modal asing, pemerintah mengirim delegasi yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono IX untuk menghadiri Konferensi Tokyo yang juga dihadiri oleh beberapa Negara Barat seperti Jerman, Inggris, Belanda, Australia dan Jepang serta IMF. Pada konferensi itu mulai ada kesepahaman dengan negara donor untuk membantu Indonesia. Pada Februari 1967, Bank Dunia dan IMF dengan senang hati menerima kembali Indonsia sebagai anggotanya. Sebagai konsekuensinya, pemerintah harus menyetujui komitmen untuk menerapkan sistem ekonomi liberal.
Sebagai pelaksana dan kordinator negara donor maka pada tanggal 23-24 Februari 1967 berdirilah Inter Governmental Group for Indonesia (IGGI) yang diketuai oleh Belanda dengan anggota diantaranya Australia, Amerika Serikat, Belgia, Italia, Jerman, Jepang, Inggris, Perancis, dan Kanada. Pada tahun 1967 dan 1968, IGGI telah menyalurkan dana sebesar US$ 167,3 juta dan US$ 361,2 juta yang sebagian besar digunakan untuk menutup defisit anggaran pemerintah (Posthumus, 1968).
Sejak saat itu, utang pun terus dikucurkan melalui IGGI. Pada tahun Maret 1992, IGGI dibubarkan dan kepemimpinan Belanda tidak diakui lagi oleh Indonesia dan diganti dengan Consultative Group for Indonesia (CGI), yang dipimpin Bank Dunia (WB). IMF dan WB tidak hanya menggaet IGGI, namun beriringnya waktu mereka membangun lembaga-lembaga keuangan lain dengan tujuan masing-masing seperti ADB, UNDP, IDA, IFAD dan IFC.
Utang itu dijadikan alat untuk mengontrol perekonomian negeri ini dengan mengontrol berbagai kebijakan perekonomian. Hal itu terjadi karena utang yang diberikan disertai dengan berbagai syarat. Utang akan dikucurkan jika syarat-syarat yang diminta termasuk syarat berupa berbagai kebijakan yang diminta dipenuhi. Jika belum dipenuhi maka utang tidak akan dicairkan.
Lalu bagaimana dengan proses penguasaan SDA oleh asing? Proses ini juga bisa ditelusur sejak awal Orde Baru.
Pada saat kekuasaan beralih kepada Soeharto, kondisi perekonomian sedang terpuruk dan tertimpa krisis parah. Inflasi mencapai 95 persen dan nilai rupiah digunting dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Untuk mengatasi hal itu selain memasukkan modal asing dan mendapatkan utang dari luar negeri, juga dilengkapi dengan kebijakan menarik penanaman modal asing untuk secara langsung menanamkan modal atau berinvestasi langsung di dalam negeri. Ketiga kebijakan itu itulah bagian dari sistem ekonomi baru yang dibawa oleh Widjojo Nitisastro yang dipercaya oleh Soeharto untuk merancang sistem ekonomi baru menggantikan sistem ekonomi ala Soekarno.
Kebijakan pertama terkait penanaman modal asing itu adalah terbitnya UU No. 1 Th. 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Dengan UU ini secara resmi pemodal asing dapat menginvestasikan modalnya di Indonesia dengan mendapat fasilitas keringanan pajak.
John Pilger mengungkap seputar kejadian saat itu dalam bukunya The New Rulers of the World pada halaman 37 menulis: “In November 1967, following the capture of the ‘greatest prize’, the booty was handed out. The Time-Life Corporation sponsored an extraordinary conference in Geneva which, in the course of three days, designed the corporate takeover of Indonesia. The participants included the most powerful capitalists in the world, the likes of David Rockefeller. All the corporate giants of the West were represented: the major oil companies and banks, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British-American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, the International Paper Corporation, US Steel. Across the table were Suharto’s men, whom Rockefeller called ‘Indonesia’s top economic team’. (Pada bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank utama, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British-American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “tim ekonomi top Indonesia”).
“… and in April 1967, he asked the Sultan to draw up a plan for ‘market economic’. In fact, the plan was the inspiration of the Ford Foundation which had a long history in Indonesia, often working through CIA front organisations like the Center for International Studies and the Stanford Research Institute, which sent e team to Jakarta immediately after the coup. It was written by Harvard economist Dave Cole hired by the US Agency of International Development, a branch of the State Departement.” (… dan pada April 1967, Soeharto meminta Sultan untuk merancang rencana untuk ‘ekonomi pasar’. Pada faktanya, rencana tersebut diinspirasi oleh Ford Foundation yang punya sejarah panjang di Indonesia sering bekerja melalui organisasi garis depan CIA seperti the Center for International Studies dan the Stanford Research Institute yang mengirimkan tim ke Jakarta segera setelah kudeta. Itulah yang ditulis oleh seorang ekonom Harvard, Dave Cole yang di-hire oleh Badan Pembangunan Internasional AS (the US Agency of International Development) cabang dari kementerian AS).
“In Geneva, the Sultan’s team were known as the ‘Berkeley Mafia’, as several had enjoyed US Government scholarships at the University of California in Berkeley. They came as spplicants and duly sang for their supper. Listing the principal selling point of his country and it’s people, the Sultan offered ‘… abundance of cheap labour… a treasure house of resources… vast potential market.” (Di Jenewa, Tim Sultan yang dikenal dengan sebutan ‘the Berkeley Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah AS untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir penjualan negaranya dan rakyatnya, Sultan menawarkan ‘ …… buruh murah yang melimpah…. cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar besar yang potensial.)
Di halaman 39 ditulis: “in the second day, the Indonesian economy was carved up, sector by sector. ‘This was done at most spectaculer way’ said Jeffrey Winters, professor at Northwertern University, Chicago, who, with doctoral student Brad Simpson, has studied the conference papers. ‘They divided up into five different sections: mining in one room, servics in another, light industry in another, banking and finance in another; and what Chase Manhattan did was sit with delegation and hammer out policies that were going to be acceptable to them and other investors. You had these big corporation people going into around the table, saying this is what we need: this, this and this, and the basicalley designed the legal infratsructure for investment in Indonesia. I’ve never heard of a situation like this where global capital sits down with representatives of supposedly sovereign state and hammers out the condition of their own entry into that country.” (“Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini dilakukan dengan cara yang sangat spektakuler’ kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk meraih gelar doktornya, Brad Simpson, telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi tersebut. ‘Mereka membaginya dalam lima seksi berbeda: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan adalah duduk dengan sebuah delegasi mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Anda llihat, para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan: “ini yang kami inginkan: ini, ini dan ini”, dan pada dasarnya itu merancang infrastruktur hukum untuk investasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan mendektekan kondisi buat masuknya investasi mereka ke dalam negara itu.)
“The Freeport Company got a mountain of copper in West Papua (Henry Kissinger is currently on the board). An American and European consortium got West Papua’s nickel. The giant Alcoa company got the biggest slice of Indonesia’s bauxite. A group of American, Japanese and French got the tropical forests of Sumatra, West Papua and Kalimantan. A Foreign Investment Law, hurried on to the statutes by Suharto, made this plunder tax-free for at least five years. Real, and secret, control of the Indonesian economy passed to the Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), whose principal members were the US, Canada, Europe and Australia, and most importantly the International Monetary Fund and the World Bank.” (Perusahaan Freeport mendapatkan bukit (mountain) tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam dewan –board–). Sebuah konsorsium Amerika dan Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang penanaman modal asing dengan buru-buru disahkan oleh Soeharto, membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali ekonomi Indonesia pergi Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.)
UU penanaman modal yang disahkan buru-buru tindak lanjut dari Konferensi Jenewa itu adalah UU No. 1 Th. 1967. Meski UU ini masih membatasi PMA itu. Pasal 6 ayat 1 berbunyi: “Bidang-bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal asing secara pengusahaan penuh ialah bidang-bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak sebagai berikut: a. pelabuhan-pelabuhan; b. produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum; c. telekomunikasi; d. pelayaran; e. penerbangan; f. air minum; g. kereta api umum; h. pembangkitan tenaga atom; i. mass media. Ayat 2: Bidang-bidang yang menduduki peranan penting dalam pertahanan Negara, antara lain produksi senjata, mesiu, alat- alat peledak dan peralatan perang dilarang sama sekali bagi modal asing.
Lalu tanggal 3 Juli 1968 disahkan UU No. 8/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri pasal 3 ayat 1 sudah mengizinkan investor asing memasuki cabang-cabang produksi yang jelas disebut “menguasai hajat hidup orang banyak” itu asalkan porsi modal asing tidak melampaui 49%. Namun ada ketentuan bahwa porsi investor Indonesia yang 51% itu harus ditingkatkan menjadi 75% tidak lebih lambat dari tahun 1974.
Tahun 1982 keluar UU No. 4/1982 melarang asing sama sekali masuk di dalam bidang usaha pers.
Pada tahun 1994 terbit PP No. 20/1994. Pasal 5 ayat 1 isinya membolehkan perusahaan asing melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak, yaitu pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media. Lalu Pasal 6 ayat 1 mengatakan: “Saham peserta Indonesia sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus) dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian.” Itu artinya kalau dalam sebuah perusahaan modal dalam negerinya 5% sudah dibolehkan melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak beserta perinciannya, termasuk media massa.
PP 20/1994 juga mengatur, waktu berusaha bagi perusahaan asing, baik perusahaan baru maupun lama, dibatasi sebagai berikut: a. Dalam bidang perdagangan berakhir pada tanggal 31 Desember 1997; b. Dalam bidang industri berakhir pada tanggal 31 Desember 1997; c. Dalam bidang-bidang usaha lainnya akan ditentukan lebih lanjut oleh Pemerintah dengan batas waktu antara 10 dan 30 tahun.
Dari uraian proses imperialisme sejak awal Orde Baru hingga akhir Orde Baru itu menunjukkan bahwa Indonesia telah dijajah melalui utang. Akibat terjerat utang, kebijakan negeri ini, khususnya kebijakan perekonomian akhirnya dikontrol oleh barat melalui IGGI, lalu CGI dan terutama melalui IMF dan Bank Dunia. Selain itu atas kolaborasi orang-orang negeri ini sendiri dengan kapitalis global, dibuat kerangka legal bagi penguasaan asing terhadap berbagai kekayaan alam negeri ini. Apa yang diuraikan di bagian sebelumnya tentang protret imperialisme dan dampaknya, sebagian besarnya adalah akibat dari utang dan liberalisasi dalam masalah penanaman modal yang dimulai sejak awal Orde Baru itu. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []Y.A – LS DPP HTI dari berbagai sumber