Slogan “stabilise, privatize and liberalize –stabilkan, privatisasi dan liberalkan-“ yang menjadi mantra para teknokat dan pemimpin yang dikonsul oleh IMF dan Bank Dunia menunjukkan dan menjadikan liberalisasi sebagai ujung dari kebijakan. Proses yang terjadi pasca reformasi pada dasarnya adalah proses menuju liberalisasi total. Dan hal itu bisa dilihat dari berbagai UU dan peraturan yang dibuat pasca reformasi.
Berbagai UU dan peraturan yang lahir pasca reformasi memiliki kesamaan yakni memiliki corak dan spirit neoliberalisme untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi berlakunya liberalisasi di berbagai bidang. Hal ini sejalan dengan doktrin IMF, Bank Dunia dan Washington Consensus yang dianut oleh Pemerintah sebagai salah satu hasil dari bimbingan IMF dan Bank Dunia bersama USAID, ADB dan berbagai lembaga internasional lainnya.
Berbagai UU itu pada dasarnya menjadi kerangka legal bagi liberalisasi di Indonesia. Sekaligus UU dan peraturan itu membentuk kerangka legal sistem neoliberal yang harus dijalankan oleh siapapun yang memerintah negeri ini dalam kerangka sistem yang ada. Selama ini telah muncul banyak kritik terhadap doktrin neoliberal termasuk berbagai UU dan peraturan yang mengaturnya. Sebab sistem neoliberal itu banyak merugikan negara-negara dunia ketiga dan lebih menguntungkan negara maju. Sistem neo liberal itu pada faktanya menjadi jalan bagi neo imperialisme negara maju terhadap negara lain. Dalam konteks ini, sistem neo liberal itu menjadi jalan bagi berlangsungnya proses proxy war dimana korporasi-korporasi menjadi “serdadu” dalam proxy war ini untuk mengalirkan kekayaan negara sasaran ke negara agresor. Karena sistem neoliberal dengan liberalisasi yang terjadi membuka negeri menjadi lahan investasi bagi korporasi besar multi nasional dengan mendapat berbagai kemudahan dan jaminan dari pemerintah, mengeksploitasi kekayaan alam yang besar dari negeri sasaran, tenaga kerja murah, pasar yang besar. Hasil yang diperoleh dijamin bisa dialirkan dan ditransfer secara leluasa ke negara asal korporasi itu melalui apa yang disebuut repatriasi, yang dalam hal ini dijamin oleh UU Penanaman Modal No. 25 tahun 2007.
IMF, Bank Dunia, ADB, USAID dan lembaga internasional lainya berkerja sama erat untuk “menjamin” proses legislasi menghasilkan UU yang bercorak neoliberal itu. Caranya selain melalui LoI IMF sebagai syarat pengucuran utang juga melalu pengucuran utang program dan bantuan teknis pada proses legislasi mulai dari penyiapannya, kajian pendahuluan, pembentukan opini dan dukungan publik, penyusunan RUU (drafting), pembahasan dan implementasinya di lapangan. Melalui berbagai utang program dan bantuan teknis itu, IMF, Bank Dunia, ADB, USAID dan lainnya terlibat secara dalam hingga teknis dalam proses legislasi yang ada.
Maka hasilnya adalah berbagai UU yang bercorak neo liberal seperti yang kita bisa saksikan dan analisis. Menurut Petisi 28, sejak 1998 – 2009 lebih kurang 474 UU telah disahkan. Yang paling menyedihkan adalah UU bidang Ekonomi dan Sumber Daya Alam. Dimana dalam UU tersebut tampak sekali; 1. Hilangnya campurtangan negara dalam perekonomian dan diserahkan pada mekanisme pasar; 2. Penyerahan kekuasaan pada modal besar/asing dalam rangka ekspansi dan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia; 3. Perlakuan diskriminatif terhadap mayoritas usaha rakyat. Tidak heran karena biaya amandemen UUD 45 dan pembuatan UU dibiayai UNDP, NDI, BANK DUNIA, ADB, USAID kurang lebih sebesar US$ 740 juta (Sumber : PETISI 28).
Besarnya peran IMF dalam proses penyusunan kebijakan pemerintah termasuk UU telah banyak dijelaskan dan diketahui oleh banyak pihak. Adapun peran Bank Dunia, USAID, ADB dalam proses mengarahkan kebijakan dan penyusunan peraturan termasuk UU negeri ini bisa dirujuk kepada berbagai data dan dokumen resmi dari lembaga-lembaga tersebut.
Dalam masalah restrukturisasi sektor perbankan dan finansial peran USAID yang mencerminkan peran Departemen Keuangan dan Departemen Luar Negeri AS bisa dilihat dari data USAID terkait hal itu. Data itu diantaranya (terutama lihat yang digarisbawahi):
ACTIVITY DATA SHEET
PROGRAM: Indonesia
TITLE AND NUMBER: Recovery of Economic and Financial Systems, 497-011
STATUS: Continuing
PLANNED FY 2000 OBLIGATION AND FUNDING SOURCE: $13,550,000 DA; $12,000,000 ESF
PROPOSED FY 2001 OBLIGATION AND FUNDING SOURCE: $12,675,000 DA; $18,000,000 ESF
INITIAL OBLIGATION: FY 1998 ESTIMATED COMPLETION DATE: FY 200
Diantaranya disebutkan:
Key Results: The four key intermediate results are: 1) public sector policy and governance reformed; 2) corporate sector restructured and governance improved; 3) financial sector restructured and governance improved; and (4) strengthened public participation in economic policy making.
(Hasil Kunci: Empat hasil kunci menengah adalah: 1) Kebijakan sektor publik dan tata kelola telah direformasi; 2) sektor korporasi direstrukturisasi dan tata kelola diperbaiki; 3) sektor keuangan direstrukturisasi dan tata kelola diperbaiki; dan (4) Penguatan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan ekonomi)
USAID and the Department of Treasury will provide long-term technical experts that will assist the GOI develop and implement budget, fiscal, monetary, exchange rate, and trade policy and laws. Technical assistance will also be provided to analyze and review pricing/subsidy reforms that are necessary to help the GOI reduce or eliminate budget deficits. Support will be provided in the energy and power sectors as well as food policy reform. (USAID dan Departemen Keuangan (AS) akan memberikan ahli teknis jangka panjang yang akan membantu Pemerintah Indonesia mengembangkan dan melaksanakan kebijakan dan hukum tentang anggaran, fiskal, moneter, nilai tukar, dan kebijakan perdagangan. Bantuan teknis juga akan diberikan untuk menganalisis dan mereview reformasi penetapan harga/subsidi yang diperlukan untuk membantu Pemerintah Indonesia mengurangi atau menghilangkan defisit anggaran. Dukungan akan diberikan di sektor energi dan daya serta reformasi kebijakan pangan.)
Dalam dokumen ini jelas bahwa USAID terlibat sampai pada tataran asistensi teknis dalam hal reformasi kebijakan publik, restrukturisasi dan reformasi sektor finansial, pengembangan kebijakan dan hukum tentang anggaran, fiskal, moneter, kurs dan perdagangan. Juga memberi bantuan teknis dalam penetapan harga/subsidi secara umum.
Contoh lain keterlibatan USAID dalam hal pangan. Data USAID berikut menunjukkannya, (kami berusaha menerjemahkannya seakurat mugkin).
ACTIVITY DATA SHEET
PROGRAM: Indonesia
TITLE AND NUMBER: Improved Food Security for the Most Vulnerable Groups, 497-009
STATUS: Continuing
PLANNED FY 2000 OBLIGATION AND FUNDING SOURCE: $3,000,000 DA
PROPOSED FY 2001 OBLIGATION AND FUNDING SOURCE: $3,000,000 DA
INITIAL OBLIGATION: FY 1998 ESTIMATED COMPLETION DATE: FY 2001
Key Results: Two intermediate results are key to achieving this objective: 1) strengthening GOI food policy and management practices and 2) improving food accessibility. (Hasil Kunci: Dua hasil menengah yang merupakan kunci untuk mencapai tujuan: 1. Menguatkan kebijakan pangan Pemerintah Indonesia dan praktek manajemen, dan 2. Meningkatkan aksesibilitas pangan.)
Performance and Prospects: USAID-funded technical assistance has conducted research into rural markets and rice competitiveness and contributed critical input to improving fairness and efficiency of GOI policies with respect to rice pricing, rice trade and rice production, as well as on the role of the national logistics agency (BULOG). (Kinerja dan Prospek: USAID telah mendanai bantuan teknis yang telah diadakan penelitian ke pasar pedesaan dan daya saing beras dan memberikan kontribusi masukan penting untuk meningkatkan keadilan dan efisiensi dari kebijakan Pemerintah Indonesia sehubungan dengan harga beras, perdagangan beras dan produksi beras, serta pada peran Badan Logistik Nasional (BULOG).)
Kebijakan pangan tidak terlepas dari kebijakan pertanian. Sebab, misalnya semua kebijakan terkait produksi beras akan ikut mempengaruhi harga beras. Yang kemudian kita lihat di lapangan adalah subsidi terkait produksi pertanian (pupuk, pertisida, peralatan, dsb) dicabut atau dikurangi sangat besar. Akibatnya biaya produksi meningkat drastis. Begitu pula produksi bahan pangan lainnya. Sampai pada kondisi produksi beberapa bahan pangan tidak ekonomis jika harus bersaing dengan bahan pangan yang sama dari luar negeri. Akibatnya pertanian makin terpuruk. Ketergantungan pangan kepada asing makin meningkat.
Disisi lain, peran Bulog dikebiri. Bulog tidak lagi bisa memerankan diri sebagai pengendali harga dengan jalan mengendalikan suply dan demand. Sebaliknya Bulog juga dibebani untuk mencari keuntungan sebagaimana BUMN pada umumnya. Adapun proteksi pangan dalam bentuk raskin, ternyata didanai dengan utang luar negeri.
Dalam masalah reformasi sektor energi, IMF dan Bank Dunia berperan mendektekan berbagai peraturan dan UU yang meliberalisasi sektor migas. Hal itu tercantum dalam Letter of Intent (LoI) Pemerintah dengan IMF. Diantaranya:
Di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, Jan. 2000) disebutkan: (pada sektor migas, Pemerintah berkomitmen: mengganti UU yang ada dengan kerangka yang lebih modern, melakukan restrukturisasi dan reformasi di tubuh Pertamina, menjamin bahwa kebijakan fiskal dan berbagai regulasi untuk eksplorasi dan produksi tetap kompetitif secara internasional, membiarkan harga domestik mencerminkan harga internasional).
Lalu di dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (LoI IMF, July 2001) disebutkan: ..Pemerintah [Indonesia] berkomitmen penuh untuk mereformasi sektor energi yang dicantumkan pada MEFP 2000. Secara khusus pada bulan September, UU Listrik dan Migas yang baru akan diajukan ke DPR. Menteri Pertambangan & Energi telah menyiapkan rencana jangka menengah untuk menghapus secara bertahap subsidi BBM dan mengubah tarifl listrik sesuai dengan tarif komersil.”
Pada tahun 2000 Bank Dunia melakukan studi mengenai minyak dan gas di Indonesia (Indonesia Oil and Gas Sector Study–World Bank, June 2000). Studi tersebut merekomendasikan agar draf UU Migas yang diajukan kepada parlemen pada tahun 1999 harus berlandaskan pada semangat kompetisi, berorientasi pasar, menghilangkan intervensi pemerintah, serta konsisten mengikuti auturan-aturan yang berlaku di internasional.
Berikutnya di dalam dokumen Bank Dunia, Indonesia Country Assistance Strategy (World Bank, 2001) disebutkan: (Utang-utang untuk reformasi kebijakan memang merekomendasikan sejumlah langkah seperti privatisasi dan pengurangan subsidi yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi belanja publik…Banyak subsidi khususnya pada BBM cenderung regresif dan merugikan orang miskin ketika subsidi tersebut jatuh ke tangan orang kaya).
Lalu dilanjutkan pada program energy and mining development, Loan No. 4712-IND tahun 2003 melalui kucuran utang luar negeri sebesar US$ 141 juta untuk proyek “Java Bali Power Sector Restructuring and Strengthening Project” untuk mendorong pemerintah menghilangkan subsidi BBM secara bertahap. Tujuan dari proyek yang akan berakhir pada bulan Desember 2008 ini, adalah untuk mendukung pemerintah menghilangkan subsidi BBM serta membangun pondasi untuk sektor energi yang layak secara komersil.
Sementara itu peran IMF dan Bank Dunia itu juga didukung dengan peran yang dimainkan oleh USAID. Diantaranya dinyatakan di dalam dokumen USAID:
Sebagian dokumen ini akan diterjemahkan seakurat mungkin, khususnya kalimat yang digarisbawahi. Sumber dokumen adalah: http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html
ACTIVITY DATA SHEET
PROGRAM: Indonesia
TITLE AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013
STATUS: Continuing
PLANNED FY 2001 OBLIGATIONS AND FUNDING SOURCE: $4,000,000 DA
PROPOSED FY 2002 OBLIGATIONS AND FUNDING SOURCE: $4,000,000 DA
INITIAL OBLIGATION: FY 2000 ESTIMATED COMPLETION DATE: FY 2004
Summary: The energy sector is critical to the Indonesian economy, generating nearly 30% of total Government of Indonesia revenues and serving as a major source of foreign exchange. However, massive national energy subsidies ($4.5 billion annually, or half of all energy revenues) bleed the national budget and reduce funding for critical education, health and other social programs. Poorly conceived energy policies have resulted in inefficient production and distribution by state-owned monopolies and wasteful energy consumption. Reform efforts have accelerated since 1999, however, and the Government of Indonesia energy sector reform agenda has focused on improving efficiency and attracting private sector investment. The few vested interests benefiting from the current structure and the lack of transparency remain as obstacles to reform.
This strategic objective will strengthen energy sector governance to help create a more efficient and transparent energy sector. By minimizing the role of government as a regulator, reducing subsidies, and promoting private sector involvement, a reformed energy sector can contribute billions of dollars in tax revenue. A more efficient energy sector will also have positive environmental impact, rationalize pricing, increase access to energy services, and help sustain Indonesia’s natural resource base. USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform, which helps leverage larger multilateral loans.
Key Results: At the strategic objective level, impact is demonstrated by increases in energy sector contributions to Government of Indonesia revenues and increases in emission units avoided (greenhouse gases, lead and other local pollutants). Achievement of this objective also relie45 on three key intermediate results: 1) energy sector reform implemented; 2) broader and more knowledgeable participation in energy sector reform; 3) environmentally friendly investments in the energy sector increased.
Performance and Prospects: USAID intends to obligate a total of $4 million in DA in FY 2001 to strengthen energy sector governance and help create a more efficient and transparent energy sector. USAID advisors play a catalytic role in helping the Government of Indonesia develop and implement key policy, legal and regulatory reforms. …(Pada tahun 2001 USAID bermaksud memberikan bantuan senilai US$ 4 juta [Rp 40 miliar] untuk memperkuat pengelolaan sektor energi dan membantu menciptakan sektor energi yang lebih efisien dan transparan. Para penasehat USAID memainkan peran penting dalam membantu pemerintah Indonesia mengembangkan dan menerapkan kebijakan kunci, perubahan (reformasi) UU dan peraturan) In 2000, the Government of Indonesia reduced energy subsidies by increasing electricity prices by 20% and fuel prices by 12%. Wary of public reaction to the price hikes because similar increases in 1998 led to street demonstrations, the Government of Indonesia, with USAID assistance, ensured that national and local parliaments, civil society organizations, media, and universities were involved in the decision. As a result, there was minimal public outcry. USAID also supported this process by providing policy analysis for energy pricing and subsidy removal. (USAID juga mensuport proses ini dengan menyediakan analisis kebijakan untuk penetapan harga energi dan penghilangan subsidi). Additional increases are necessary and will require greater public understanding of the impact on the economy and on vulnerable groups. USAID will continue to provide technical analysis on the macroeconomic and microeconomic impact on industries and households, including a study on the impact of pricing policy on women and vulnerable populations.
USAID is helping restructure the electricity sector to open it to private competition, increase efficiency, and reduce the demand for scarce public funds in the sector. USAID advisors work directly with Government of Indonesia officials responsible for implementing power sector reform, revising draft electricity legislation and redesigning regulatory structures. (USAID membatu restrukturisasi sektor kelistrikan untuk membukanya bagi kompetisi swasta, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi permintaan dana publik yang langka di sektor ini. Para penasehat USAID bekerja langsung dengan para pejabat Pemerintah Indonesia yang bertanggungjawab untuk mengimplementasikan reformasi sektor daya, merevisi draft legislasi kelistrikan dan meredesain struktur regulasi). USAID has provided much-needed assistance to the state electricity monopoly in improving power plant efficiency. The program has been replicated quickly within the monopoly as it prepares for sector restructuring.
In FY 2001, USAID plans to provide $2.85 million in DA to incrementally fund contractors under the Global Bureau Energy indefinite quantity contracts for energy analysis and policy assistance, and for assistance in restructuring the electricity, and oil and gas sectors.
USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil company in exploration and production. (USAID telah membantu pembuatan draft UU Migas yang diajukan ke DPR pada Oktober 2000. UU tersebut akan meningkatkan kompetisi dan efisiensi dengan mengurangi peran BUMN dalam melakukan eksplorasi dan produksi). A more efficient oil and gas sector will lower prices, increase product quality for consumers, increase government revenues, and improve air quality. USAID will continue to work on developing implementing regulations for the oil and gas legislation.
USAID, in partnership with an Indonesian NGO, has been instrumental in gaining the commitment of the state-owned oil company to phase out leaded gasoline in Jakarta by July 2001. USAID is assisting the Ministry of Energy’s Oil and Gas Directorate to develop and implement a long-range fuel standards plan that will provide the foundation for refinery upgrade decisions and the production of cleaner fuels.
In FY 2001, USAID plans to provide $850,000 DA to support NGOs and universities in developing programs for raising awareness and supporting involvement of local government and the public of energy sector issues, including removal of energy subsidies and phase out of leaded gasoline. (Pada tahun 2001 USAID merencanakan untuk menyediakan US$ 850 ribu [Rp 8.5 miliar] untuk mendukung sejumlah LSM dan Universitas dalam mengembangkan program yang dapat meningkatkan kesadaran dan mendukung keterlibatan pemerintah lokal dan publik pada isu-isu sektor energi termasuk menghilangkan subsidi energi dan menghapus secara bertahap bensin bertimbal).
New decentralization laws have devolved the licensing of electricity businesses and management of non-oil and gas resources to local governments. USAID has helped establish a university network that can serve as a resource for local governments to address revenue sharing and regional pricing issues. The program will provide education on national policy issues and a forum for local governments to analyze and understand their own energy issues, provide input into national policy and develop their own local policy.
In FY 2001, USAID plans to provide $300,000 in DA to support U.S. Department of Energy/Albany Research Center to partly fund the expansion of the performance and efficiency improvement program and possibly to support Indonesian and international NGOs in developing renewable energy and energy efficiency investment activities.
Possible Adjustments to Plans: An increase or decrease in political will for energy sector reform may warrant adjustments to this objective. The appointment in 2000 of a private sector-oriented reformist as the new head of the State oil and gas company bodes well for reform agenda progress. (Pasang surutnya kemauan politik terhadap reformasi sektor energi akan menjamin penyesuaian terhadap tujuan ini. Oleh karena itu pengangkatan Direktur Utama Pertamina yang baru pada tahun 2000 yang berjiwa reformis dan berorientasi swasta [pasar] sangat mendukung kemajuan agenda reformasi tersebut).
Other Donor Programs: USAID works closely with the Asian Development Bank (ADB) and the World Bank on energy-sector reform. USAID assistance is leveraging a $20 million ADB power sector-restructuring loan, with USAID advisors playing project management and planning roles. (USAID bekerja sama dengan ADB dan Bank Dunia untuk mereformasi sektor energi. Bantuan USAID mampu meningkatkan manfaat utang ADB untuk restrukturisasi sektor listrik senilai US$ 20 juta [Rp 200 miliar] dimana para penasehat USAID berperan dalam manajemen proyek dan perencanaan.) The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000. Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy, and provided assistance to the State electric company on financial and corporate restructuring. Along with USAID, Canada and the ADB are helping Indonesia develop an action plan for leaded gas phase-out and reducing overall transportation emissions. (ADB dan USAID bekerja bersama dalam menyusun draft UU Migas yang baru pada tahun 2000. Melengkapi usaha USAID, Bank DUnia telah melakukan studi komprehensif tentang sektor migas, kebijakan penetapan harga dan memberikan asistensi kepada PLN dalam masala fiannsial dan retstrukturisasi kororat. )
Principal Contractors, Grantees, or Agencies: The Energy Policy Analysis Office and Oil and Gas Policy programs are implemented by Advanced Engineering Associates International. The Institutional Strengthening for Electricity Sector Reform program is implemented by the Institute of International Education. The Power Plant Improvement program is implemented by Albany Research Labs, U.S. Department of Energy.
Dalam dokumen tersebut terlihat begitu besarnya peran USAID dalam hal lahirnya UU Migas, penghilangan subsidi BBM, reformasi sektor kelistrikan dan restrukturisasi PLN. Bahkan USAID juga mengungkapkan kegembiraan dengan ditunjuknya Dirut Pertamina yang baru pada tahun 2000 yang dinilai oleh USAID “berjiwa reformis dan berorientasi swasta [pasar]”. Ini mengindikasikan USAID sedikit atau banyak juga punya peran dalam hal itu.
Selanjutnya peran USAID dalam hal kebijakan dan UU yang lahir di negeri ini juga terlihat dalam dokumen USAID berikut:
Program Data Sheet 497-013
USAID MISSION: Indonesia
PROGRAM TITLE: Energy Sector Reform (Pillar: Economic Growth, Agriculture, and Trade)
STRATEGIC OBJECTIVE AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013
STATUS: Continuing
LANNED FY 2002 OBLIGATION AND FUNDING SOURCE: $3,630,000 DA
PROPOSED FY 2003 OBLIGATION AND FUNDING SOURCE: $4,130,000 DA
INITIAL OBLIGATION: FY 2000 ESTIMATED COMPLETION DATE: FY 2004
Summary: The energy sector is a major component of the Indonesian economy, generating nearly 30% of total Government revenues and significant foreign exchange. However, the sector is plagued by weak policies, corruption, inefficient production and distribution, wasteful consumption, and massive energy subsidies that siphon off half of the sector’s $10 billion in annual revenues. USAID’s program to strengthen efficiency, governance, and transparency in the energy sector will help Indonesia overcome these challenges and derive the greatest benefits from its energy resources. USAID technical assistance and training activities include-
- energy policy, analysis, and restructuring;
- development of oil and gas and electricity laws to increase efficiency and private sector investment;
- increasing public awareness and involvement in energy issues; and
- energy efficiency and renewable energy development.
Inputs, Outputs, and Activities: FY 2002 Program: A reformed energy sector can contribute billions of dollars in tax revenue, have a positive environmental impact, rationalize pricing, increase access to energy services, and sustain Indonesia’s energy resource base. USAID is the primary bilateral donor working on energy sector reform. USAID will assist the Government of Indonesia (GOI) to implement the new oil and gas law (drafted with USAID assistance), draft a new electricity sector law, and continue electricity sector restructuring to increase efficiency and private sector investment. Technical assistance and training activities will facilitate the Government’s efforts to reduce energy subsidies, both in the longer-term and for the planned 30% reduction in 2002. USAID will focus on mitigating the negative social impact of price increases through outreach activities that increase the public’s understanding of the reasons behind the price increases. (USAID akan mengasistensi Pemerintah Indonesia mengimplementasikan UU Migas yang baru (didraft dengan asistensi dari USAID), mendraft UU kelistrikan yang baru, dan melanjutkan restrukturisasi sektor kelistrikan untuk meningkatkan efisiensi dan investasi sektor swasta. Asistensi teknis dan training akan memfasilitasi usaha Pemerintah untuk mengurangi subsidi energi, baik dalam jangka lanjang yang telahd irencanakan penurunan 30% pada 2002. USAID akan fokus pada mitigasi dampak negatif kenaikan harga melalui aktivitas dengan jangkauan luas yang meningkatkan pengertian publik terhadap alasan di balik kenaikan harga). Other technical assistance will provide analysis on the nexus between energy, environment, and economy (pricing/subsidy, supply/demand, and regional energy policy) for key Government policymakers at the local and national level. USAID will expand activities that foster grassroots support for energy reform and promote renewable energy development.
Planned FY 2003 Program: USAID plans to use FY 2003 resources to continue technical assistance and training activities that encourage energy sector reform. USAID intends to continue to focus on implementation of electricity reform, including passage of a new law, and expects to begin activities on implementation of a new oil and gas sector law. USAID plans to continue to provide technical assistance on subsidy reductions, on raising public awareness about energy sector reform and promoting cleaner energy production and use.
Performance and Results: USAID technical assistance on drafting led to the enactment of a new oil and gas law in October 2001 that increases competition and efficiency by ending the monopoly of the State Oil and Gas Company (Pertamina). Implementation of the law will upgrade product quality for consumers, increase government revenues, and improve air quality. USAID is encouraging the Government of Indonesia (GOI) to enact a second new law governing electricity to increase efficiency, introduce independent regulation, and open the power market to competition.
In 2001, the Government took major steps toward the reduction of energy subsidies, increasing electricity prices by 17.5% and petroleum products by 29%. USAID provided technical assistance for activities by local NGOs to begin building public support for subsidy elimination. These local NGOs conducted public hearings on energy subsidies, helped the Government by developing a strategy to address the adverse impact of price increases, and expressed their views in testimony before the Parliament. The Center for Energy Information, established through a USAID activity in the Ministry of Energy and Mineral Resources, produced policy analysis on pricing and subsidy removal that led to a new law eliminating all petroleum subsidies by 2004, except kerosene. Kerosene and electricity subsidies will be eliminated by 2005.
Indonesia’s decentralization program has placed responsibility for energy resources in the hands of local governments. USAID is working with local universities to strengthen local capacity in energy policy-making and provide a forum for local governments to better analyze and understand local and national energy issues. In 2001, USAID trained more than 100 local government officials and regional university lecturers on calculating oil and gas and mineral resource revenue sharing, a contentious issue between central and local governments.
Pada kalimat-kalimat yang kami garis bawahi pada bagian input, output and activities tampak jelas bahwa 1. USAID akan mengasistensi pemerintah dalam menerapkan UU Migas yang baru. UU Migas itu disusun draftnya dengan aisistensi dari USAID. 2. Mendraft UU kelistrikan. 3. Melanjutkan restrukturisasi sektor kelistrikan untuk meningkatkan efisiensi dan investasi sektor swasta. 4. Memfasilitasi dan memberikan training kepada pemeritah untuk upaya mengurangi subsidi energi. 5. Mengurangi dampak negatif kenaikan harga energi termasuk dengan meningkatkan pengertian publik terhadap hal itu.
Sementara pada bagian Performance and Results dinyatakan: asistensi teknis USAID pada penyusunan draft mengantarkan pada berlakunya UU Migas yang baru pada bulan Oktober 2001 yang meningkatkan persaingan dan efisiensi dengan mengakhiri monopoli Pertamina. Pengimplementasian UU tersebut akan meng-upgrade kualitas produk bagi konsumen, meningkatkan pendapatan pemerintah, dan meningkatkan kualitas udara. USAID mendorong Pemerintah Indonesia (GOI) untuk memberlakukan UU baru yang kedua yang mengatur kelistrikan untuk meningkatkan efisiensi, memperkenalkan regulasi yang independen, dan membuka pasar tenaga listrik bagi kompetisi.
Dari dokumen ini jelas bahwa USAID berperan besar pada lolosnya UU Migas No. 22/2001, lahirnya UU Kelistrikan, restrukturisasi PLN dan liberalisasi migas dengan mengakhiri monopoli Pertamina dan membuka pasar migas bagi swasta. Restrukturisasi PLN pada faktanya kita melihat PLN di-unbundling dengan memisahkan pembangkitan dan dibentuk anak perusahaan sendiri. Juga akan di-unbundling dengan memisahkan penanganan jaringan dan distribusi listrik. Sementara untuk masalah migas, monopoli Pertamina diakhiri. Seiring dengan itu dibuka pintu bagi masuknya peran swasta pada hulu migas (eksplorasi dan produksi) dan hilir migas (distribusi dan eceran) sehingga bermunculan SPBU non pertamina seperti Shell, Total dan lainnya. Begitu juga USAID berperan dalam masalah pengurangan/penghilangan subsidi energi yang pada tataran riil terlihat pada kenaikan tarif listrik, kenaikan harga elpiji dan kenaikan harga BBM.
Sementara peran Bank Pembangunan Asia (ADB-Asian Development Bank) juga tidak kalah besar dari peran USAID, IMF dan Bank Dunia dalam mengarahkan (mendekte) kebijakan, peraturan dan perundang-undangan yang ada di negeri ini. Hal itu setidaknya bisa ditunjukkan oleh dokumen tentang utang terkait program Tata Kelola Keuangan dan Reformasi Jaminan Sosial (FGSSR-Financial Governance and Social Security Reform) berikut:
ADB
Completion Report
Project Number: 33399
Loan Number : 1965
November 2006
Indonesia: Financial Governance And Social Security Reforms Program
Diantaranya disebutkan:
Dokument ini adalah laporan penyelesaian (Completion Report) dari Program Tata Kelola Keuangan dan Reformasi Sistem Jaminan Sosial (FGSSR-Financial Governance and Social Security Reform Program). Pada topik deskripsi program, pada point 1, jelas bahwa program FGSSR itu adalah dalam bentuk utang dari ADB kepada Pemerintah Indonesia sebesa US$ 250 juta. Pemberian utang ini mengikuti syarat-syarat yang disepakati Pemerintah Indonesia dengan ADB. FGSSR sendiri adalah bagian dari utang Loan 1618-INO: Financial Governance Reform: Sector Development Program (FGRSDP) atau Reformasi Tata Kelola Keuangan: Program Pengembangan Sektor.
Pada point 2 dijelaskan cakupan FGSSR yang pertama adalah reformasi tata kelola keuangan dan pada point 3 cakupan kedua FGSSR adalah pengembangan sistem jaminan sosial nasional.
Pada point 6 berikut dijelaskan, ADB memberi suport untuk pengembangan konsep dan blue print institusi supervisori jasa keuangan yang terintegrasi.
Poitn 7: FGSSR bertujuan mensuport implementasi efektif dari reformasi sektor keuangan non bank, termasuk pendirian OJK, restrukturisasi rencana pensiun, mengamandemen UU dan aturan yang relevan dan konsolidasi sektor asuransi.
Pada bagian B. Output Program, dibagi dalam lima area. Area 1. Strengthening Framework for Consolidated Regulatory and Supervisory Authority. Pada area ini pada point 10, dinyatakan Pemerintah dengan asistensi teknis dari ADB membuat draft UU OJK. Pada tahap II FGSSR-I pemerintah mengajukan UU OJK ke DPR pada Mei 2003. AMandemen UU terkait (UU Pasar Modal, UU Asuransi, UU Dana Pensiun) juga diajukanke DPR satu paket dengan UUOJK….
Pada tahun 2004, Kemenkeu menyiapkan rencana aksi untuk memperbaiki regulasi dan supervisi lembaga keuangan non bank, menggunakan asistensi teknis ADB untuk mensuport implementasi rencana tersebut. Langkah pertama adalah merger Bapepam dan Ditjen Lembaga Keuangan menajdi Bapepam-LK…
Pada area 2. Strengthening Financial and Corporate Governance, point 15 dinyatakan bahwa aksi yang diperlukan untuk memperbaiki tata kelola sektor keuangan mencakup penerapan aturan dan regulasi yang ada, mengajukan legislasi yang baru ….. FGSSR-I menyerukan amandemen UU Pasar Modal, UU Asuransi, UU Pensiun dan UU Perseoran untuk memperkuat supervisi dan regulasi dan untuk memenuhi internastional best practices and standars.
Pada point 17, disebutkan bahwa di bawah program FGSSE-I disiapkan draft UU Akuntan Publik.
Pada area 3. Developing an Anti-Money Laundering Regime, point 18 disebutkan, Indoneisa pada Juni 2001 oleh OECD dimasukkan daftar negara dan wilayah nonkooperatif. Lalu tahun 202 Indonesia memperkenalkan UU Anti Pencucian Uang. Technical assistance ADB mensuport Pemerintah dalam mengimlementasikan UU Anti-Pencucian Uang dan membangun rezim Anti-Pencucian uang.
Point 20, disebutkan bahwa berdasarkan UU Anti-Pencucian Uang dibentuklah PPATK pada Oktober 2003.
Pada area 4. Undertaking Insurance Reform and Restructuring, point 24 disebutkan bahwa Pemerintah telah memperkenalkan beberapa langkah untuk memperkuat regulasi dan supervisi sektor asuransi dan praktek industri.
Pada area 5, point 27 disebutkan, tahun 2002 Pemerintah membentuk tim penyusun draft UU SJSN. … Lalu disebutkan, untuk memperkuat SJSN, FGSSR-I mensuport pengembangan UU untuk memperbaiki supervisi dan tata kelola…. Asistensi teknis ADB disediakan untuk mengembangkan SJSN sejalan dengan kebijakan kunci dan prioritas yang dibuat oleh tim perumus dan institusi lainya.
Pada point 30 disebutkan, pada tahun 2005, ADB menyediakan asistensi teknis ke Kemendagri untuk membangun sistem registrasi yang disatukan yang bisa digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk bagi administratur jaminan sosial untuk meningkatkan administrasi dan portabilitas benefit…
Dari dokumen ADB tentang utang program FGSSR yang diberikan kepada Pemerintah Indonesia ini terlihat jelas bahwa ADB terlibat langsung dalam banyak kebijakan negeri ini. ADB terlibat langsung dalam penyusunan draft UU OJK, UU Penanaman Modal, UU Perseroan, UU Asuransi, UU Dana Pensiun, UU SJSN. ADB juga terlibat dalam pembentukan OJK dan PPATK. ADB juga terlibat dalam program E-KTP untuk menyediakan singgle identity (identitas tunggal) yang akan berguna untuk program-program lainnya seperti SJSN dan sebagainya. ADB terlibat dalam program E-KTP melalui utang dalam bentuk asistensi teknis (technical assistance yaitu TA 4250-INO: UNIFIED REGISTRATION SYSTEM dengan utang senilai US$ 300 ribu. Dalam dokumen ADB tentang laporan penyelesaian program FGSSR ini dikatakan bahwa program ini secara overall sukses. Artinya hasilnya sesuai dengan proposasal program tersebut yang diajukan oleh Presiden ADB Tadao Chino kepada Dewan Direktur ADB tertanggal 18 November 2002. Proposal program itu tertuang dalam dokumen ADB Asian Development Bank RRP: INO 33399 REPORT AND RECOMMENDATION OF THE PRESIDENT TO THE BOARD OF DIRECTORS ON A PROPOSED CLUSTER FISRT LOAN AND TECHNICAL ASSISTANCE GRANT TO THE REPUBLIC OF INDONESIA FOR THE FINANSCIAL GOVERNANCE AND SOCIAL SECURITY REFORM PROGRAM pada November 2002. Di dalam dokumen terebut juga dilampirkan surat pengajuan utang program FGSSR dari pemerintah Indonesia kepada ADB yang ditandatangani oleh Menkeu Boediono tertanggal 14 November 2002 yang berisi komitmen Pemerintah Indonesia untuk memenuhi dan menjalankan rencana yang program FGSSR. Utang program FGSSR ini juga disertai utang pelengkap diantaranya:
- Asistensi teknis (technical assistance) TA 4024-INO: Financial Governance and Social Security Reform
- Utang US$ 300 juta untuk Loan Number: 2379, Project Number: 32507-01 Loan name: Capital Market Development Program Cluster (Subprogram I) (Formerly Financial Governance anad Social Security Reform Program II)
- Utang sebesar US$ 300 juta Loan Number: 2577 Project Number: 32507-02 Loan Name: Capital Market Development Program Cluster (Subprogram 2)
- Utang US$ 1,5 juta untuk technical assistance yaitu utang TA Number: 7466, Project Number: 32507-03, TA Name: Strengthening Indonesia’s Capital Market
- Utang US$ 1,3 juta untuk technical assistance TA Number: 7000, Project Number: 32507-02, TA Name: Strengthening Regulation and Governance (formerly Financial Sector Reforms)
- Utang US$ 800 ribu untuk technical assistance TA Number: 7204, Project Number: 42461-01, TA Name: Social Security and Economic Modelling Capacity Building;
- dan utang lainnya.
Sebelum dan setelah utang progam FGSSR ini juga sudah ada utang dari ADB untuk pogram lanjutan atau program yang lain.
Dari data-data dan dokumen-dokumen tersebut terlihat jelas bagaimana asing melalui lembaga-lembaga internasional IMF, Bank Dunia, ADB, USAID dan lainnya terlibat secara dalam pada proses lahirnya berbagai kebijakan di negeri ini. Dari data dan dokumen itu juga terungkap jelas bahwa banyak UU yang dilahirkan di negeri ini khususnya pasca reformasi di dalamnya ada keterlibatan dari lembaga-lembaga internasional itu. Bahkan draft berbagai UU itu ada yang disiapkan oleh lembaga-lembaga itu atau penyusunannya mendapat asistensi teknis (technical assistance) dari lembaga-lembaga itu. Asistensi teknis dalam penyusunan draft UU itu artinya lembaga-lembaga itu turut terlibat dalam penentuan isi dan redaksi dari UU itu. Apalagi dalam banyak utang program itu ada syarat-syarat pencairan utang tahap demi tahap yaitu syarat hasil dari program yang didanai dengan utang itu harus memenuhi apa yang mereka inginkan. Dengan begitu maka UU yang lahir pasca reformasi bisa dikatakan tidak keluar dari apa yang diinginkan oleh asing melalui lembaga-lembaga internasional itu. Itulah barangkali penjelasan paling logis kenapa berbagai UU dan peraturan terutama yang lahir pasca reformasi pada masa presiden BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY-JK dan SBY-Boediono banyak bercorak neo liberal, dan banyak menguntungkan asing dan swasta asing.
Diantara UU itu adalah UU No. 19 th. 2003 tentang BUMN, UU No. 25 th. 2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 22 th. 2001 tentang Migas, UU No. 7 th. 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 31 th. 2003 tentang Perikanan, UU No. 17 th. 2008 tentang Pelayaran, UU No. 13 th. 2003 tentang Ketenaga-Kerjaan, UU No. 20 th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 12 th. 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, UU No. 29 th. 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, UU No. 19 th. 2004 tentang Hutan Lindung Menjadi Pertambangan, UU No. 20 th. 2002 tentang Kelistrikan, UU No. 18 th. 2003 tentang Perkebunan, UU No. 32 th. 2004 tentang Otonomi Daerah, UU No. 17 th. 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang, UU No. 4 th. 2009 tentang Mineral dan Batubara, UU No. 18 th. 2012 tentang Pangan, UU No. 2 th. 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, UU No. 36 th. 2009 tentang Kesehatan, UU No. 12 th. 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan UU bercorak liberal lainnya.
Berbagai UU bercorak liberal itu memberikan kerangka legal bagi sistem liberal yang diterapkan di negeri ini. Hal itu membuat sistem yang berlaku di negeri ini adalah sistem kapitalisme neoliberal.
Liberalisasi terutama di bidang ekonomi itu juga dibarengi dengan proses liberalisasi di bidang lainnya. Secara bersamaan juga berlangsung proses sekularisasi dan liberalisasi di bidang-bidang lainnya. Dalam hampir semua bidang itu ada keterlibatan dari lembaga-lembaga internasional, tentu untuk mengarahkan dan menjamin proses itu berjalan di negeri ini. Karena itu kita akan dapati adanya banyak utang program misalnya dari USAID dalam berbagai bidang. Dalam bidang politik misalnya, dalam dokumen USAID utang TITLE AND NUMBER: Democratic Transition Strenhthened, 497-007, diusulkan pada tahun keuangan 2001 dengan total utang US$ 40 juta.
Dalam dokumen ini dinyatakan: Key Results: Five key intermediate results are necessary to achieve this objective: 1) formation of a representative government; 2) establishment of democratic and effective governance; 3) participation by effective national civil society organizations in the political process; 4) national reconciliation and conflict reduction; and 5) formation of a free and professional media. (Hasil Kunci: Lima hasil kunci jangka menengah diperlukan untuk mencapai tujuan ini: 1. Formasi pemerintahan representatif; 2. Terwujudnya tata kelola yang demokratis dan efektif; 3. Pastisipasi yang efektif oleh organisasi masyarakat sipil nasional dalam proses politik; 4. Rekonsiliasi nasional dan pengurangan konflik; 5. Formasi media yang bebas dan profesional.)
Program ini juga melibatkan banyak donor. Dokumen tersebut menyebutkan: Other Donor Programs: USAID is coordinating democratic strengthening and civil society building activities with multi-lateral and bilateral donor organizations. These include the United Nations Development Program (UNDP), World Bank, and 15 other bilateral donor assistance programs, such as Australia, the European Union, Great Britain and Canada. Total contributions from the multilateral and bilateral donors (excluding the U.S.) for the democracy and governance sector are estimated at $35 million for FY 2000, with an additional estimated $9 million from the GOI (Donor lainnya: USAID mengkoordinasikan penguatan demokrasi dan aktivitas pembangunan masyarakat sipil dengan organisasi donor multi-lateral dan bilateral. Donor lainnya itu termsauk UNDP, Bank Dunia dan 15 program asistensi donor bilateral lainnya, seperti Asutralia, Uni Eropa, Inggris dan Kanada. Total kontribusi dari donor multilateral dan bilateral (tidak termasuk AS) untuk sektor demokrasi dan tata kelola diestimasi sebesar US$ 35 juta pada tahun keuangan 2000, dengan tambahan yang diestimasi sebesar US$ 9 juta dari Pemerintah Indonesia).
Di bidang kesehatan misalnya ada utang dengan TITLE AND NUMBER: Protecting the Health of the Most Vulnerable Women and Children, 497-008. Utang yang diusulkan tahun 2001 itu sebesar US 15 juta pada tahun berjalan dan US$ 18,925 juta pada tahun berikutnya. Di dalamnya juga disebutkan: Other Donor Programs: The Asian Development Bank (ADB) will support the GOI’s Social Safety Net program through the year 2000. Australia is providing $2.6 million in essential drugs, medical supplies and equipment for the eastern islands. Japan is supporting district health services in several provinces with a total of $16 million for medicine and disposable medical supplies. The United Nations Family Planning Agency (UNFPA) is developing a new $14.2 million country plan for 2001 with a focus on reproductive health and adolescents. The United Nations Children’s Fund (UNICEF) is also developing a new country plan for 2001 and has initiated supplementary child feeding and revitalization of community health posts in five provinces. The World Bank is supporting reproductive health activities in East and Central Java and is preparing a decentralization project for four provinces. (Donor Progam lainnya: ADB akan mensuport program jaring pengaman sosial Pemerintah Indonesia selama tahun 2000. Australia menyediakan US 2,6 juta dalam obat asensial, suplay medis dan peralatan untuk pulau-pulau wilayah Timur. Jepang mensuport puskesmas di beberapa propinsi dengan total US$ 16 juta untuk obat-obatan dan suplay medis yang disposabel. Badan Keluarga Berencana PBB (UNFPA) mengembangkan US$ 14,2 juta rencana baru untuk negeri untuk tahun 2001 dengan fokus pada kesehatan reproduksi dan anak-anak. UNICEF juga akan merevitalisasi komunitas kesehatan lanjutan di lima propinsi. Bank Dunia mensuport aktivitas kesehatan reproduksi di Jatim dan Jateng dan menyiapkan proyek desentralisasi di empat propinsi.)
Dalam hal pengelolaan sumber daya alam ada utang program TITLE AND NUMBER: Strengthened and Decentralized Natural Resources Management, 497-012. Utang yang dikucurkan sebesar US$ 7,5 juta. Disamping semua utang ini masih ada puluhan utang program bersamaan dari pihak-pihak asing baik lembaga internasional ataupun negara donor.
Didasari Sekulerisme-Liberalisme dan Memperkuat Imperialisme
Semua utang program itu, peraturan perundang-undangan yang lahir dan sebagian besarnya ada keterlibatan asing melalui utang-utang termasuk dalam bentuk asistensi teknis, semuanya pada dasarnya mencerminkan terjadinya liberalisasi di semua bidang. Semua liberalisasi ini terjadi didasari oleh ideologi sekulerisme-liberalisme. Sekaligus semua itu juga memperkuat ideologi sekulerisme-liberalisme di negeri ini. Liberalisme dan liberalisasi itu juga menjadi alat atau menjadi jalan terus berlangsungnya neo-imperialisme atas negeri ini melalui skenario perang modern dan proxy war.
Semua itu terjadi karena sekulerisme yang mendasari kehidupan di negeri ini sejak merdeka. Sekulerisme yang melahirkan tatanan kehidupan sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan bahkan meninggalkan dan mengabaikan agama dalam pengaturan kehidupan. Hal itu bisa kita lihat, sejak negeri ini merdeka, telah 70 tahun lebih negeri ini diatur oleh sistem sekuler, baik bercorak sosialistik di masa orde lama maupun kapitalistik di masa orde baru dan neo-liberal sejak masa reformasi hingga sekarang.
Dalam sistem sekuler, aturan-aturan Islam atau syariah tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Maka, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik dan machiavellistik, budaya hedonistik yang amoralistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta sistem pendidikan yang materialistik. Tatanan kehidupan seperti itu yang bisa kita lihat dan rasakan telah melahirkan banyak sekali problem yang susul menyusul dan tidak pernah berhenti dan tidak terselesaikan secara final.
Maka, bukan kebaikan yang diperoleh oleh rakyat negeri ini yang mayoritas muslim itu, melainkan berbagai problem berkepanjangan yang datang secara bertubi-tubi. Lihatlah, meski Indonesia adalah negeri yang amat kaya dan sudah 69 tahun lebih merdeka, tapi sekarang ada lebih dari 100 juta orang terpaksa hidup di bawah garis kemiskinan menurut standar Bank Dunia, atau 28 juta orang lebih menurut standar BPS yaitu orang yang memiliki pengeluaran sekitar Rp 220 ribu per bulan per orang, suatu standar yang jauh dari manusiawi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga yang terus menerus terjadi. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Maka, tindak kriminal seperti pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan tindak asusila, budaya permisif, kejahatan seksual terhadpa perempuan dan anak-anak, pornografi dengan berbagai kejahatan dengan dalih kebutuhan ekonomi lainnya begitu marak dan terasa semakin meningkat tajam. Sampai-sampai penjara-penjara di negeri ini sudah kelebihan kapasitas. Celakanya lagi, sistem hukum dan sanksi yang berlandasarkan ideologi sekuler tidak bisa menghentikan laju kriminalitas apalagi mencegahnya. Wajar bila lantas orang bertanya, sudah lebih 60 tahun merdeka, hidup koq makin susah.
Liberalisme dan liberalisasi di segala lini itu telah menjadi jalan berlangsungnya neoimperialisme atas negeri ini. Indonesia memang telah merdeka. Tapi penjajahan ternyata tidaklah berakhir begitu saja. Penjajahan kembali dan terus berlangsung dengan wajah baru berupa neoimperialisme. Melalui instrumen hutang dan kebijakan global, lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO dibuat oleh negara-negara Barat sebagai cara untuk melegitimasi langkah-langkah imperialistik mereka. Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia tidak lagi merdeka secara politik. Melalui para kompradornya di negeri ini, mereka merancang aturan-aturan seperti yang sebagian faktanyua diungkapkan di atas. Maka lahirlah berbagai UU dan kebijakan yang menguntungkan asing seperti penyerahan blok kaya minyak Cepu kepada Exxon Mobil, juga perpanjangan selalu kontrak untuk Freeport dan Newmont. Akibat dari neo-imperialisme ini, kekayaan negeri ini dieksplorasi dan dieksploitasi namun banyak mengalir demi kesejahteraan asing. Tanah negeri ini dalam luasa jutaan hektar juga dikuasai swasta termasuk asing, melalui berbagai konsesi pertambangan, perkebunan, kehutanan dan pertanian. Air yang tersimpan di dalam tanah negeri ini juga disedot dan diekspolitasi oleh perusahaan-perusahaan swasta yang banyak diantaranya asing. Negeri ini dengan kekayaan alamnya yang besar menjadi sasaran untuk dijadikan sumber bahan baku yang murah. Negeri ini dengan penduduknya yang banyak dijadikan sumber pekerja buruh murah, sebaliknya juga menjadi pasar dari produk-produk kapitalis internasional.
Maka apa yang berlangsung di negeri ini adalah lingkaran neoimperialisme-neoliberalisme-neoimperialisme. Neoimperialisme memaksakan neoliberalisme. Neoliberalisme melempangkan jalan bagi neoimperialisme. Dan begitu seterusnya. Jika lingkaran ini terus berjalan maka kehidupan masyarakat negeri ini akan dilanda problem multi dimensi terus menerus. Karena itu lingkaran neoimperialisme-neoliberalisme-neoimperialisme itu harus dihentikan. Satu-satunya jalan adalah dengan menerapkan syariah Islamiyah secara menyeluruh di bawah naungan Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Merealisasi hal ini sudah sangat mendesak untuk menyelamatkan negeri ini, kekayaan dan penduduknya dari neoimperialisme dan neoliberalisme. Inilah tanggungjawab sejarah dan keimanan generasi muslim negeri ini untuk kebaikan mereka di dunia dan akhirat dan untuk kebaikan negeri ini dan demi masa depan generasi mendatang. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []Yahya Abdurrahman– LS DPP HTI dari berbagai sumber]