Proses Neoimperialisme Pasca Reformasi

Lingkaran Neoimperialisme – NeoliberalismeFakta-fakta yang ada dengan jelas menunjukkan bahwa utang telah dijadikan alat ekploitasi oleh negara besar terhadap negara berkembang. Fakta itu juga dinyatakan oleh Steven Hiatt dalam buku As Games As Old As Empire –di dalamnya juga berisi pengakuan dari 12 orang economic hitman (perusak ekonomi) termasuk John Perkins- . Steven Hiatt menyatakan “Pembayaran dari negara-negara Dunia Ketiga (negara miskin dan berkembang) berjumlah sekitar US$ 375 milyar per tahun atau 20 kali lebih besar dari jumlah uang yang diterimanya (dari negara-negara kaya). Sistem ini juga disebut Marshall Plan yang terbalik, dengan negara-negara dunia Selatan memberikan subsidi kepada negara-negara kaya di belahan Utara dunia, walaupun separuh dari manusia di dunia hidup dengan US$ 2 per hari.”

Sementara utang dijadikan alat kontrol untuk mendektekan kebijakan diungkapkan oleh John Pilger dalam bukunya The New Rulers of the World (hal. 1): In this world, unseen by most of us in the global north, a sophisticated system of plunder has forced more than ninety countries into ‘structural adjustment’ programmes since the eighties, widening the divide between rich and poor as never before. This is known as ‘nation building’ and ‘good governance’ by the ‘quad’ dominating the World Trade Organisation (the United States, Europe, Canada and Japan) and the Washington triumvirate (the World Bank, the IMF and the US Treasury) that controls even minute aspects of government policy in developing countries. Their power derives largely from an unrepayable debt that forces the poorest countries to pay $100 million to western creditors every day. The result is a world where an elite of fewer than a billion people controls 80 per cent of humanity’s wealth. (Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami yang hidup di belahan utara dunia, suatu cara perampokan canggih yang telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam Program ‘Penyesuaian Struktural’ (‘structural adjustment’ programmes) sejak tahun delapan puluhan, yang memperlebar kesenjangan antara kaya dan miskin yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini dikenal dengan istilah “nation building” dan “good governance” oleh “empat serangkai” yang mendominasi World Trade Organization (AS, Eropa, Canada dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF dan Departemen Keuangan AS) yang mengendalikan setiap detail dari kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka secara besar diperoleh dari utang yang tidak bisa terbayar kembali, yang memaksa negara-negara termiskin membayar $ 100 juta per hari kepada para kreditur barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, di mana elit yang kurang dari satu milyar orang menguasai 80% dari kekayaan seluruh umat manusia.)

Semua lembaga internasional yakni IMF, Bank Dunia dan kelompoknya melakukan pendiktean kepada Indonesia dalam bidang perumusan kebijakannya. Program IMF yang “dipaksakan” kepada Indonesia melalui apa yang dinamakan Extended Fund Facility atau Letter of Intent. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) menerbitkan apa yang dinamakan “country strategy report” untuk Indonesia yang isinya penuh dengan kebijakan yang harus dilakukan oleh Indonesia. Kalau semua itu digabung menjadi satu dan diteliti, akan menjadi sangat jelas bahwa sudah lama pemerintah Indonesia tidak pernah merumuskan kebijakannya sendiri yang mendasar. Semua aspek penting ditentukan oleh CGI, IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), USAID. Yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia hanyalah kebijakan-kebijakan detil yang sifatnya penjabaran untuk pelaksanaan dari kebijakan-kebijakan dasar yang ditentukan oleh “Kartel” IMF.

Pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis terimbas oleh krisis yang bermula dari krisis di Thailand. Sistem ekonomi, terutama sistem moneternya yang sudah dibuat sangat terbuka dan liberal akhirnya mengakibatkan krisis moneter dan ekonomi di tahun 1997 yang disusul dengan depresi yang cukup hebat. Rupiah merosot nilainya dari Rp 2.400 per dollar menjadi Rp 16.000 per dollar. Dalam kondisi seperti itu Indonesia sebagai anggota IMF menggunakan haknya minta bantuan IMF, yang diberikan dalam bentuk Extended Fund Facility atau yang lebih terkenal dengan sebutan program Letter of Intent (LoI).

Pada bulan Juli 1997, Pemerintah Indonesia di bawah Presiden  Soeharto secara resmi meminta bantuan dan campur tangan IMF dalam mengatasi krisis moneter dan ekonomi. Pada tanggal 31 Oktober 1997, IMF mengumumkan bantuan US$ 40 milyar untuk perbaikan ekonomi Indonesia, yang selanjutnya ditambah menjadi US$ 45 milyar sebagai kompensasi atas reformasi ekonomi yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_3/artikel_4.htm). Untuk itu Pemerintah Soeharto harus menandatangani kesepakatan rencana program penyehatan perekonomian yang akan dijalankan yang disebut Letter of Intent (LoI) atau Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP).

Baik LoI maupun MEFP disebutkan sebagai dokumen yang menggambarkan langkah-langkah kebijakan yang akan dilakukan oleh negara anggota dalam kaitannya dengan permintaannya untuk memperoleh dukungan pembiayaan dari IMF. LOI disusun oleh negara anggota yang mengajukan permintaan untuk menggunakan fasilitas pembiayaan atau memperoleh pinjaman dari IMF.

Dalam kenyataannya, ada dua macam dokumen atau lebih yang digabung menjadi satu. Dokumen pokok diberi judul Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP), yang memuat pokok-pokok dan rincian langkah-langkah yang akan dilaksanakan selama masa berlakunya fasilitas pembiayaan tersebut. Dalam dokumen ini digambarkan latar belakang, kerangka ekonomi makro, program kebijakan moneter dan fiskal, serta cara pelaporannya. Untuk Indonesia dan berbagai negara Asia tiga tahun terakhir (2000), dalam program juga dimasukkan restrukturisiasi sektor keuangan, reformasi struktural sektor riil, dan berbagai program yang mendukungnya, seperti peningkatan transparansi dan governance.

LoI atau MEFP itu menjadi alat mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Salah satunya dengan mekanisme pengucuran utang, dimana utang akan dikucurkan jika syarat-syarat yang diminta dan diantaranya banyak dalam bentuk kebijakan dan aturan hukum yang harus dibuat terlebih dahulu. Jika sudah dipenuhi baru utang dikucurkan.

LoI pertama ditandatangani tanggal 31 Oktober 1997. Menurut Soedrajat Djiwandono sejak LoI pertama tangal 31/10/1997 hingga LoI yang ditandatangani tanggal 31 Juli 2000, Pemerintah telah menyusun 14 LoI. LoI yang paling terkenal adalah LoI yang ditandatangani oleh presiden Soeharto tanggal 15/1/1997 yang berisi 50 butir. Pemerintahan Presiden Abdulrahman Wahid menyusun LoI pada bulan Januari tahun 2000, untuk penggunaaan fasilitas baru (EFF) sebesar US$ 5 milyar yang berisi 98 butir kesepakatan. Pada waktu penyusunan dan pelaksanaan berjalan agak lancar, misalnya dalam pemerintahan Presiden Habibie, ada LoI hanya terdiri dari 10 butir kesepakatan tanggal 11/9/98. Sedangkan LoI terakhir, tanggal 31/7/2000, terdiri dari 63 butir.

Pada faktanya LoI atau MEFP menjadi sarana untuk mengontrol lahirnya berbagai kebijakan yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh IMF. Dalam kaitan ini Soedradjat Djiwandono (http://www.pacific.net.id/pakar/sj/000814.html) mengungkapkan, “Dalam kaitan ini, ada suatu kenyataan yang tidak bisa dielakkan. Secara formilnya memang benar program itu adalah program Indonesia, disusun oleh Pemerintah Indonesia. Akan tetapi, di lain pihak benar juga bahwa penyusunannya dilakukan melalui perundingan dengan pejabat-pejabat IMF. Bahkan untuk persyaratan-persyaratan yang dicantumkan, jelas semuanya ini ditentukan oleh IMF. Semua ini menunjukkan peran yang dimainkan oleh IMF dalam penyusunan program, yang mempengaruhi realistis tidaknya program, diukur dengan kenyataan yang ada.” Dari situ artinya tidak akan ada butir-butir LoI atau MEFP yang berupa berbagai kebijakan yang harus dibuat oleh Pemerintah yang keluar dari apa yang diinginkan oleh IMF dan AS yang mengendalikan IMF. Dan kebijakan-kebijakan itu bukan hanya pada masalah perekonomian. Contohnya, pada butir 50 LoI tanggal 15 Januari 1998, butir itu mengharuskan dibuatnya Undang-Undang Lingkungan Hidup yang baru.

Program dan kebijakan yang disyaratkan (didektekan) oleh IMF meliputi sejumlah resep kebijakan yang disebut Washington Consensus. Washington Consensus adalah satu set dari 10 kebijakan ekonomi yang relatif tertentu yang dianggap sebagai standar paket reformasi yang dipromosikan untuk negara berkembang yang didera krisis oleh lembaga-lembaga keuangan yang berbasis di Washington seperti IMF, Ban Dunia dan Departemen Keuangan AS. Resep itu meliputi kebijakan dalam berbagai bidang seperti stabilisasi makro ekonomi, membuka ekonomi untuk perdagangan dan investasi dan perluasan kekuatan pasar dalam perekonomian dalam negeri.

Resep yang diberikan IMF meliputi dua kelompok kebijakan: program penyesuaian struktural atau Structural Ajusment Program (SAP) dan kebijakan deregulasi. Kebijakan SAP mengharuskan negara untuk meliberalisasi impor dan pelaksanaan aliran sumber-sumber keuangan  secara bebas, devaluasi, pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal di dalam negeri yang terdiri dari pembatasan kredit, pengenaan tingkat bunga yang relatif tinggi, penghapusan subsidi, peningkatan tarif pajak, peningkatan barang pokok masyarakat dan menekan tuntutan kenaikan upah buruh sedangkan yang terakhir pemasukan investasi asing yang lebih lancar.

Sedangkan kebijakan deregulasi mencakup empat komponen: pertama, intervensi pemerintah harus dihilangkan atau diminimalisir untuk menghindari distorsi pasar. Kedua, privatisasi seluas-luasnya dalam bidang ekonomi hingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai oleh negara. Ketiga, liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dan semua proteksi harus dihilangkan. Keempat, memperbesar dan melancarkan arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan lebih longgar atau dengan kata lain penguasaan asing terhadap terhadap unit ekonomi baik swasta maupun negara harus diperkenankan.

Pada agustus 2003, Pemerintah memutuskan untuk tidak melanjutkan program bantuan IMF dan memilih untuk masuk dalam Post Program Monitoring (PPM). Pilihan Pemerintah ini tidak banyak mengubah keadaan, sebab IMF masih dapat terus mendikte kebijakan ekonomi Indonesia. Masa intervensi IMF ini menghasilkan Inpres No. 5 tahun 2003 yang sering disebut inpres “white paper”. Inpres tersebut adalah produk kebijakan negara yang dilahirkan dari intervensi IMF, maka tidak heran jika arah kebijakan ekonomi yang tertuang dalam inpres tersebut persis dengan kebijakan IMF meskipun dibuat oleh pemerintah Indonesia. Kebijakan ekonomi dalam inpres tersebut terbagi dalam tiga bagian: pertama, stabilitas makro ekonomi. Kedua, restrukturisasi dan reformasi sektor keuangan. Ketiga, peningkatan Investasi. Inpres tersebut merupakan alat legitimasi hukum untuk melakukan liberalisasi ekonomi pasca hubungan dengan IMF.

Kebijakan-kebijakan yang disyaratkan (didektekan) oleh IMF dan Bank Dunia banyak merugikan negeri ini. Dalam hal ini dicontohkan lima kebijakan yaitu: 1. pengambilan utang luar negeri dan pengambilan utang dalam negeri melalui penerbitan Surat Utang Negara, 2. Pencabutan subsidi, 3. Restrukturisasi dan liberalisasi perbankan, 4. Kebijakan privatisasi BUMN; dan 5. Penamanan modal asing.

 

  1. Menumpuk Utang – Masuk Dalam Jerat Utang

Kebijakan penarikan utang dari luar negeri dan dalam negeri tidak menyelesaikan masalah anggaran dan keuangan. Anggaran hingga sekarang tidak bisa dikatakan sehat. Sebaliknya, dengan terus menarik utang, negeri ini justru tenggelam dalam jebakan lumpur utang. Jumlah utang yang sangat besar akhirnya juga membebani APBN setiap tahunnya.

Dalam kasus negeri Indonesia kenyataan yang diungkapkan oleh John Pilger dan Steven Hiatt itu tentang utang yang tidak bisa terbayar kembali dan besarnya aliran pembayaran utang termasuk ke luar negeri bisa ditunjukkan oleh data-data yang ada. Ambil contoh data utang dan cicilan sejak tahun 2000 sampai September 2014 sebagai berikut:

 

Tabel 1. Perbandingan Jumlah Utang dan Cicilan Pokok + Bunga
Tahun Utang Cicilan Pokok dan Bunga
Utang LN SUN Total Total Pokok Bunga
2000 583,00 652,00 1.235,00 57,69 7,62 50,07
2001 612,52 660,65 1.273,18 103,02 15,88 87,14
2002 569,84 655,31 1.225,15 103,83 16,16 87,67
2003 583,30 648,75 1.232,50 99,56 34,21 65,35
2004 637,18 662,32 1.299,50 134,48 71,99 62,49
2005 620,22 693,08 1.313,50 126,78 61,58 65,20
2006 559,43 742,73 1.302,16 156,82 77,74 79,08
2007 586,36 803,06 1.389,41 180,51 100,70 79,81
2008 730,25 906,50 1.636,74 192,20 103,77 88,43
2009 611,20 979,46 1.590,66 210,88 117,10 93,78
2010 617,00 1.064,00 1.676,85 230,33 124,68 105,65
2011 621,00 1.188,00 1.803,49 247,00 141,00 106,00
2012 617,00 1361,00 1.978,00 261,10 13900 122,13
2013 714,00 1661,00 2.375,00 273,06 160,42 112,64
Sep-14 684,00 1.918,00 2.602,00 273,41 170,06 103,35
Total hingga Sep-14 2.602,00 2.650,673 1.341,91 1.308,792
Diolah dari :

–  Buku Saku Perkembangan Utang Negara Januari 2011 (Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu)

–  Buku Saku Perkembangan Utang Negara Februari 2012 (Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu)

–  Buku Saku Perkembangan Utang Negara Oktober 2014 (Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu)

 

Dari data tersebut terlihat jelas, utang menjadi an unrepayable debt (utang tak bisa terbayar kembali). Dari tahun 2000 hingga September 2014, total cicilan pokok dan bunga utang (utang luar negeri dan Surat Utang Negara) mencapai Rp 2.650,673 triliun. Meski total cicilan sudah sedemikian besar, lebih besar dari APBN 2015, nyatanya total utang pemerintah pusat per 30 September 2014 Rp 2.602 triliun. Jadi meski pokok dan bunga utang itu terus dicicil sejak tahun 2000 hingga September 2014, total utang bukannya berkurang, sebaliknya justru makin besar.

Utang yang terus bertambah jumlahnya, juga berakibat beban yang ditanggung APBN tiap tahunnya juga makin besar. Cicilan utang pokok dan bunga tiap tahun sejak tahun 2000 bisa dilihat pada tabel diatas. Dari tabel itu terliat sejak tahun 2009, total cicilan pokok dan bunga utang sudah melampaui angka Rp 200 triliun tiap tahunnya. Bahkan untuk tahun 2014, realisasi pembayaran cicilan pokok dan bunga utang pada posisi 30 September sudah mencapai Rp 273,41 triliun yakni 74 persen dari pagu APBN 2014, padahal masih ada tiga bulan lagi. Pagu APBN 2014 untuk cicilan pokok dna bunga utang besarnya Rp 368,981 triliun terdiri dari cicilan pokok Rp 247,696 triliun dan cicilan bungan Rp 121,286 triliun. APBN 2014 besarnya Rp 1.438,9 triliun. Itu artinya cicilan pokok dan bungan utang yang besarnya Rp 368,981 menghabiskan 25,6 peren APBN. Sementara di dalam APBN-P 2014 yang besarnyaRp 1.635,4 triliun, cicilan bunga direncanakan Rp 135,5 triliun atau 8 persen APBN-P 2014. Jumlah cicilan pokok dan bunga utang ini akan terus naik dari tahun ke tahun sebab besaran total utang juga terus naik. Jumlah itu belum termasuk pembayaran bunga obligasi rekap yang jumlahnya mencapai puluhan triliun.

Meski sudah lebih dari Rp 1300 triliun membayar cicilan utang pokok dan bunga, negeri ini bukannya terbebas dari utang, justru sebaliknya makin tenggelam dalam jeratan utang. Pada Maret 2015, total utang Pemerintah Pusat telah mencapai Rp 2.702,29 triliun. Sebesar Rp 681,27 triliun berupa utang terdiri dari Rp 677,98 triliun berupa utang luar negeri dan Rp 3,2 triliun berupa utang dalam negeri, dan sisanya Rp 2.021,02 triliun berupa Surat Utang Negara yang terdiri dari Rp 513,04 triliun dalam bentuk mata uang asing dan Rp 1.507,98 triliun dalam bentuk Rupiah.

 

  1. Pencabutan Subsidi

Pada Mei 1998, karena memenuhi LoI, pemerintah mencabut subsidi bahan pokok, dan menaikkan harga BBM dan tarif listrik. Subsidi pupuk dan subsidi untuk pertanian lainnya juga dikurangi sampai sekarang angkanya sangat kecil dibanding dengan jumlah petani dan skala pertanian. Akibatnya harga pupuk, pestisida dan biaya produksi pertanian menjadi sangat tinggi. Hal itu sangat memberatkan para petani. Subsidi pendidikan khususnya pada tingkat pendidikan tinggi dihilangkan dan akibatnya biaya kuliah menjadi sangat mahal. Pendidikan yang baik dan bermutu akhirnya seakan hanya bisa dinikmati oleh golongan masyarakat yang kaya. Subsidi obat-obatan dan kesehatan juga mengalami penurunan drastis. Akibatnya biaya pelayanan kesehatan menjadi mahal. Orang-orang ekonomi lemah yang tidak terdaftar sebagai orang miskin yang mendapat jaminan kesehatan akhirnya kesulitan untuk berobat.

 

  1. Retsrukturisasi Perbankan

Saat terjadi krisis parah tahun 1997, terungkaplah kenyataan ada beberapa bank yang sangat keropos. Padahal bank-bank itu sebelumnya mengumumkan bahwa kondisi bank sehat. Pemerintah meminta bantuan kepada IMF untuk mengatasi krisis. IMF diantaranya “memerintahkan” agar 16 bank paling keropos ditutup atau dilikuidasi. Para deposan yang menyimpan uangnya di bank-bank itu pun marah. Berita tentang penutupan 16 bank itu segera menyebar. Masyarakat tahunya bank-bank itu sebelumnya mengumumkna dalam kondisi sehat, namun nyatanya bobrok dan tiba-tiba dilikuidasi. Akibatnya, masyarakat tidak lagi percaya kepada bank dan mulai ramai-ramai menarik uangnya dari bank dan terjadilah rush selama dua hari setelah ke-16 bank itu ditutup. Menghadapi situasi itu, pemerintah disuruh oleh IMF untuk menghentikan rush itu berapapun biayanya (at all cost). Maka BI pun memberikan bantuan likuiditas (BLBI) kepada bank-bank yang ada. Menurut Kwik Kian Gie, jumlah BLBI itu mencapai Rp 144 triliun.

BLBI yang dilakukan atas perintah IMF itu ternyata merugikan negara. Atas permintaan DPR, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menerbitkan laporan audit investigasi bernomor 06/01/Auditama II/AI/VII/2000 tertanggal 31 Juli 2000. Judulnya “LAPORAN AUDIT INVESTIGASI Penyaluran dan Penggunaan BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA (BLBI)”. Dalam Ringkasan Eksekutifnya dikatakan “Audit dilakukan pada Bank Indonesia dan 48 bank penerima BLBI, yaitu 10 Bank Beku Operasi (BBO), 5 Bank Take Over (BTO), 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) dan 15 Bank Dalam Likuidasi (BDL).”

Di halaman viii (Laporan Audit Investigasi) di bawah huruf C dengan judul “Potensi Kerugian Negara Dalam Penyaluran BLBI” ditulis “Dari hasil audit investigasi terhadap penyaluran BLBI posisi tanggal 29 Januari 1999 yang telah dialihkan menjadi kewajiban pemerintah sebesar Rp. 144.536.086 juta, kami menemukan berbagai penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku, kelemahan sistem dan kelalaian dalam penyaluran BLBI, yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp. 138.442.026 juta atau 95,78 % dari jumlah BLBI yang disalurkan pada tanggal tersebut.”

Di halaman X diberikan perincian dari “jumlah penyimpangan dalam penggunaan BLBI untuk transaksi periode sampai dengan 29 januari 1999 sebesar Rp. 84.842.162 juta atau 58,70 % dari jumlah BLBI yang disalurkan per 29 Januari 1999 sebesar Rp. 144.536.086 juta.”

Setelah rush berhenti, dari hasil penelitian terbukti bahwa para pemilik bank tidak mungkin mengembalikan BLBI secara tunai. Maka BLBI akhirnya dikonversi menjadi saham-saham di bank-bank penerima BLBI itu. Maka tiba-tiba saja, pemerintah memiliki saham besar di bank-bank itu. Sebanyak 200 bank dengan proses itu akhirnya menjadi bank milik pemerintah. Sebagai contoh, pemerintah akhirnya memiliki 97 persen saham BCA.

Bank-bank itu mengucurkan kredit sangat besar kepada perusahaan-perusahaan pemilik bank. Akhirnya, setelah diambil alih pemerintah sebagai penyelesaian BLBI, pemerintah punya tagihan kepada para pemilik bank itu. Tidak semua dari mereka nyatanya yang mampu membayar tunai utang mereka itu. Maka penyelesaiannya dilakukan melalui beberapa skema. Pertama, 5 obligor membayar tunai. Kedua, 5 obligor menyelesaikan dengan perjanjian Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan menyerahkan perusahaannya untuk membayar utang-utangnya. Ketiga, 4 obligor melalui perjanjian Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA) dengan menyerahkan perusahaannya tapi tidak cukup, sehingg kekurangannya harus dijamin pembayarannya dengan jaminan pribadi. Keempat, 30 orang olbligor melalui Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham – Akta Pengakuan Utang (PKPS-APU). Perjanjian ini dibuat untuk mencapai kesepakatan penyelesaian kewajiban yang harus ditanggung oleh pemilik saham pengendali atas kerugian bank mereka akibat praktek perbankan yang tidak wajar serta pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Penyelesaian ini tidak melalui penyerahan asset. Sementara 30 obligor lainnya yang tidak menandatangani empat skema itu maka kasusnya dilimpahkan ke penegak hukum.

Perusahaan-perusahaan yang diserahkan oleh obligor itu, yang dikatakan nilainya lebih besar dari utang yang harus mereka bayar, perusahaan itu lantas dijual oleh pemerintah melalui BPPN hanya hasil penjualannya hanya 15 %. Itu artinya pemerintah (negara) rugi yang besarnya adalah selisih hsail penjualan dengan nilai yang diterim saat penyerahan perusahaan kepada pemerintah. Ambil contoh, utang Salim Grup pemilik BCA kepada BCA sebesar Rp. 52,7 trilyun. Lalu utang itu dengan skema MSAA dibayar dengan Rp 100 miliar tunai dan 108 perusahaan milik Salim Grup. Itu artinya, negar amenerima bahwa nilai dari 108 perusahaan Salim Grup itu Rp 52,6 triliun. Selanjutnya 108 perusahaan itu dijual sesuai arahan (perintah) dari IMF dan terjual seharga sekitar Rp. 20 trilyun. Itu artinya, negara dirugikan sebesar sekitar Rp. 32,6 trilyun. Ini baru dari BCA, sementara maish ada beberapa bank yang diselesaikan dengan model yang sama.

Bank-bank yang sudah menjadi milik pemerintah tetapi rusak berat itu atas perintah IMF harus patuh pada ketentuan Capital Adequacy Ratio (CAR) yang formulanya ditentukan oleh Bank for International Settlement (BIS) yang berkedudukan di Bazel, Swiss. Caranya dengan direkapitalisasi dengan injeksi Surat Utang Negara (SUN) yang dikenal dengan istilah Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau Obligasi Rekap atau “OR” saja. Jumlahnya lebih besar lagi dibandingkan dengan semua kerugian yang sudah dijelaskan.

Contohnya BCA disuntik dengan OR sebesar Rp 60 triliun. Dengan itu BCA memiliki hak tagih kepada pemerintah sebesar Rp 60 triliun pada waktu jatuh tempo OR. Setiap tahunnya BCA berhak mendapat bunga OR. Sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan uang sebesar Rp. 23,99 trilyun untuk membeli 92,8 % saham-saham BCA dengan sekma BLBI. Pada saat dijual dalam BCA sudah ada laba bersih yang ditahan sebesar sekitar Rp. 4 trilyun. Jadi uang pemerintah yang ada di dalam BCA sebesar jumlah dari tiga angka ini atau Rp. 87,99 trilyun (dibulatkan Rp. 88 trilyun).

Namun BCA dijual sesuai arahan IMF yang memerintahkan BCA dijula sebelum tanggal tertentu berapapun lakunya. Pembelinya adalah Farallon yang mempekerjakan Hubert Neiss yang pensiunan pejabat sangat penting IMF dalam hubungan dengan Indonesia untuk menjadi pelobi dalam rangka pembelian 51 % saham BCA. Akhirnya Farallon membeli 51 % saham BCA dengan harga Rp 5 triliun. Artinya, nilai jual BCA total sekitar hanya Rp. 10 trilyun. Jadi ada kerugian yang dibuat oleh pemerintah sendiri sebesar Rp. 78 trilyun. Angka ini jauh lebih besar dari kerugian sebesar Rp. 33 trilyun sebagai selisih nilai 108 perusahaan yang diserahkan oleh keluarga Salim sebagai pembayaran utangnya dengan nilai realisasinya.

IMF memerintahkan agar bank-bank yang ada di Indonsia harus memenuhi angka kecukupan modalnya atau Capital Adequacy Ratio (CAR)-nya 8% sesuai dengan ketentuan Bank for International Settlement (BIS) di Bazel, Swiss. Untuk itu, pemerintah mengeluarkan surat utang yang disebut Obligasi Rekapitulasi Perbankan atau Obligasi Rekap (OR) dan diberikan kepada sejumlah bank. Jumlah total Obligasi Rekap yang dikeluarkan mencapai Rp 430 triliun. Sebagai surat utang, OR juga pemerintah harus membayar bunga tiap tahun kepada pemegang surat utang itu dalam hal ini bank-bank penerima OR.

Menurut Kwik Kian Gie mengutip hasil analisa tiga orang staff sekretariat BPPN pada tahun 2002, yang mengembangkan skenario pembayaran OR dan karenanya mereka dipecat, skenario terbaik jika pemerintah mampu membayar tepat pada waktunya seluruh pokok dan bunga OR maka totalnya mencapai Rp 1.030 trilin yaitu Rp 430 triliun pokok dan Rp 600 triliun total bunganya. Namun mengingat jumlah itu sangat besar, maka sangat mungkin Pemerintah tidak mampu membayarnya tepat waktu. Maka skanerio terburuk yatu ditunda pembayarannya dengan satu tenor yang sama, yaitu ditunda dengan jangka waktu yang sama dengan yang pertama kalinya diterbitkan. Dalam hal ini, bunganya akan membengkak luar biasa besarnya, sehingga jumlah kewajiban pembayarannya akan mencapai Rp. 14.000 trilyun.

Ironisnya, sebagian besar dari Bank-bank itu sudah dijual kembali oleh Pemerintah ke swasta, diantaranya enam dari sepuluh bank penerima terbesar OR yaitu BCA, BII, Bank Danamon, Bank Permata, Ban Niaga, Bank Lippo. Sementara itu bank yang masih menjadi bank milik pemerintah dari sepuluh bank terbesar penerima OR (Bank Mandiri, BNI, BRI, BTN) sebagain sahamnya sudah dimiliki oleh swasta. Maka untuk keenam bank yang sudah dijula ke swasta itu, hak tagih OR dan bunganya emuanya dinikmati swasta. Sementara yang sebagian sahamnya sudah dimiliki swasta, artinya sebagian dari hasil hak tagih dan buna OR itu akan dinikmati swasta. Padahal penerbitan rekapitulasi perbankan termasuk dengan OR itu telah merugikan negara puluhan bahkan ratusan triliun rupiah.

 

  1. Kebijakan Privatisasi BUMN

Kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia sebetulnya banyak didektekan oleh asing seperti dalam LoI dengan IMF. Juga telah diatur sedemikian rupa oleh pihak asing seperti yang tertuang dalam dokumen milik Bank Dunia yang berjudul, Legal Guidelines for Privatization Programs. Dalam dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008 disebutkan juga bahwa lembaga bantuan Amerika Serikat ini bersama Bank Dunia aktif dalam permasalahan privatisasi di Indonesia. Bank Pembangunan Asia (ADB)—dalam News Release yang berjudul, Project Information: State-Owned Enterprise Governance and Privatization Program, tanggal 4 Desember 2001—memberikan utang US$ 400 juta, juga untuk program privatisasi BUMN di Indonesia.

Privatisasi BUMN dijalankan mengikuti doktrin ekonomi neoliberal yang mendiktrinkan baha perekonomian yang sehat adalah bila peran dan campur tangan pemerintah dalam perekonomian sekecil mungkin. Privatisasi itu dijadikan bagian dari resep Washington Consensus yang menjadi standar kebijakan reformasi yang dipromosikan oleh IMF, Ban Dunia dan Dep. Keuangan AS. Maka sebagai konsekuensi dari LoI dengan IMF, Pemerintah harus memprivatisasi BUMN. Implementasi privatisasi itu dikawal dengan asistensi dari Bank Dunia, ADB dan lembaga internasional lainnya diiringi dengan pemberian utang seperti disebutkan di atas.

Dani Rodrik, profesor ekonomi di Harvard University menyebutkan bahwa slogan “stabilise, privatize and liberalize –menstabilkan, memprivatisasi dan meliberalkan-“ menjadi mantra generasi teknokrat dan pemimpin politik yang dikonsul oleh IMF, Bank Dunia dan Dept. Keuangan AS. Hal itu juga terlihat dalam fakta. BUMN yang diprivatisasi justru BUMN-BUMN yang sehat dan profitable. Sementara BUMN yang tidak sehat yang ingin dijual maka disehatkan lebih dahulu termasuk jika memang harus disuntik modal, dan setelah sehat dan menguntungkan (profitable) baru dijual, namun ironisnya kadang dijual dengan harga yang murah. Kasus BCA dan Indosat dalah salah satu contohnya.

Pada awalnya privatisasi dilakukan dengan menjual langsung BUMN ke mitra stratagis melalui strategic sales. Namun setelah mendapat kritik keras dari berbagai pihak, maka privatisasi BUMN dilakukan secara tidak langsung dengan jalan menjual saham ke publik. Akibat privatisasi BUMN yang biasanya memegang sektor strategis dan pelayanan publik, maka negara kehilangan kontrol terhadap sektor strategis dan pelayanan publik itu. Contohnya penjualan Indosat yang mengendalikan satelit dan telekomunikasi, Telkom dan Telkomsel yang mengendalikan telekomunikasi, Krakatau Steel produknya sangat dibutuhkan oleh semua instrustri strategis lainnya, dan sebagainya. Harga pelayanan publik pun melonjak.

Dalam hal ini, juga tertanam doktrin bahwa BUMN harus memberikan pemasukan keuntungan kepada pemerintah. Maka BUMN pun akhirnya diubah bentuk badan hukumnya menjadi perseroan, yang kental dengan nuansa bisnis. Akhirnya BUMN-BUMN yang ada tidak beda dengan perusahaan swasta, menjalan kegiatannya dengan logika bisnis. Maka berbagai pelayanan yang dahulu berorientasi pelayanan publik, akhirnya lebih mengejar keuntungan dan akibatnya harga pelayanan publik menjadi makin mahal. Contohnya kasus pelayanan transportasi kereta api, pelayanan kesehatan, pendidikan, dsb. Semua kerugian akibat privatisasi itu adalah akibat membebek dan tunduk sepenuhnya kepada IMF, Bank Dunia dan dibelakangnya Dep. Keuangan AS.

  1. Penanaman Modal Asing

Sudah dijelaskan di bagian awal, proses masuknya investasi asing dan menguasai negeri ini sudah dimulai dengan lahirnya UU No. 1/1967. Lalu tanggal 3 Juli 1968 disahkan UU No. 8/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri pasal 3 ayat 1 sudah mengizinkan investor asing memasuki cabang-cabang produksi yang jelas disebut “menguasai hajat hidup orang banyak” itu asalkan porsi modal asing tidak melampaui 49% . Porsi investor Indonesia yang 51% itu harus ditingkatkan menjadi 75% tidak lebih lambat dari tahun 1974.

Tahun 1982 keluar UU No. 4/1982 melarang asing sama sekali masuk di dalam bidang usaha pers.

Pada tahun 1994 terbit PP No. 20/1994 memberi ketentuan jika dalam sebuah perusahaan modal dalam negerinya minimal 5% sudah dibolehkan melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak beserta perinciannya, termasuk media massa. PP 20/1994 juga mengatur, waktu berusaha bagi perusahaan asing dalam bidang perdagangan dan industri berakhir pada 31 Desember 1997, sedangkan bidang selainnya akan ditentukan lebih lanjut oleh Pemerintah dengan batas waktu antara 10 dan 30 tahun.

Selanjutnya, pasca reformasi atas pengaruh IMF, iklim untuk mengundang masuknya investasi asing makin dipermudah. Bagi investir asing diberikan berbagai fasilitas agar mau menanamkan modal lansung. Upaya untuk mengundang investasi asing pun gencar dilakukan. Diantaranya diselenggarakan Infrastructure Summit I pada Januari 2005. Menko Perekonomian ketika itu Aburizal Bakrie mengumumkan kepada masyarakat bisnis dan korporasi di dunia bahwa Indonesia membuka pintunya lebar-lebar buat investor asing untuk berinvestasi dengan motif memperoleh laba dalam bidang infra struktur dan barang-barang publik lainnya. Kepada masyarakat bisnis dan korporasi diberitahukan bahwa tidak ada cabang produksi yang biasanya disebut public goods yang tertutup bagi investor swasta, termasuk investor asing.

Pada Infrastructure Summit (IS) I, Januari 2005, ditawarkan 91 proposal proyek infrastruktur senilai total 22,5 miliar dollar AS. Sebagian besar adalah proyek jalan tol, yakni 38 proyek senilai 9,428 miliar dollar AS. Yang lainnya adalah 12 proyek ketenagalistrikan senilai 5,897 miliar dollar AS, enam proyek gas senilai 2,888 miliar dollar AS, satu proyek telekomunikasi senilai 1,6 miliar dollar AS, satu proyek bandara senilai 77,3 miliar dollar AS, empat proyek pelabuhan senilai 1,485 miliar dollar AS, lima proyek perkeretaapian senilai 709 juta dollar AS, dan sisanya 24 proyek air minum.

Berikutnya pada Infrastructure Summit II Juni 2006 Menko Perekonomian Boediono mengulangi apa yang diumumkan sebelumnya itu. Namun sekarang ditambah dengan penegasan bahwa tidak akan ada perbedaan perlakuan sedikitpun antara investor asing dan investor Indonesia. Pada Infrastructure Summit II Juni 2006, Pemerintah menawarkan 111 proyek termasuk di dalamnya 10 proyek unggulan.

Selanjutnya, untuk mengatur masalah penanaman modal, maka disahkan Undang-Undang yang menggantikan semua perundangan dan peraturan dalam bidang penanaman modal yaiut UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. UU ini pada dasarnya adalah liberalisasi penanaman modal sesuai keinginan IMF, Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional. Hal itu misalnya terlihat dalam butir-butir pokok berikut: Tidak ada perbedaan antara modal asing dan modal dalam negeri (Pasal 1). Penanam modal DN dari negara manapun diperlakukan sama (Pasal 6). “Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal, kecuali dengan undang-undang” (Pasal 7). “Penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing”, yang dilanjutkan dengan perincian tentang apa yang boleh ditransfer, yaitu sebanyak 12 jenis, dari a sampai dengan l, yang praktis tidak ada yang tidak boleh ditransfer kembali ke negara asalnya (Pasal 8 ayat 3). Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali produksi senjata dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang (Pasal 12). Hak atas tanah menjadi 95 tahun untuk Hak Guna Usaha, 80 tahun untuk Hak Guna Bangunan dan 70 tahun untuk Hak Pakai. Sengketa antara Pemerintah dengan penanam modal asing berkaitan dengan penanaman modal diselesaikan melalui Arbitrase Internasional yang harus disepakati oleh para pihak (Pasal 132 ayat 4).

Maka praktis dengan disahkannya Undang-Undang Penanaman Modal (UUPM) ini penanaman modal semakin penuh mengikuti resep IMF dan Washington Consensus. Artinya adalam hal penanaman modal dengan UU ini negeri ini makin menuju liberalisasi total.

Ini baru sekelumit proses neoimperialisme yang berjalan terhadap negeri ini pasca reformasi. Fakta yang sesungguhnya jauh lebih besar dan akan membuat semua orang kaget dan negeri. Semua proses itu masih terus berjalan hingga hari ini. Padahal neoimperialisme itu sangat berbahaya bagi negeri ini dan penduduknya. Berbagai persoalan dan musibah yang melanda negeri ini, akibat penerapan sistem kapitalisme neo-liberal adalah akibat dari neoimperialisme itu. Maka semau komponen masyarakat di negeri ini seharusnya segera bahu membahu menghentikan neoimperialisme itu dan mengikis habis hingga ke akar-akarnya. Maka perjuangan mewujudkan kemerdekaan hakiki buat negeri ini belum berhenti. Itulah tanggungjawab sejarah bagi generasi sekarang untuk masa depan negeri dan generasi. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Y.A – LS DPP HTI dari berbagai sumber]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*