Harga Deradikalisasi Sejak Dini Lebih Ringan dari Harga Penanaman Agama pada Anak ?
Oleh: Arini Retnaningsih (Lajnah Tsaqofiyah MHTI)
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, pendidikan anak usia dini merupakan salah satu media pendidikan yang dapat mencegah secara dini paham radikalisme untuk berkembang.
Hal ini dinyatakannya menanggapi hasil survei tentang satu dari 14 siswa tingkat SMP dan SMA yang menyetujui Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS/ISIS). “Kalau sudah seperti ini preventif untuk radikalisme menjadi lebih berat. Beda kalau kita bisa melakukan preventif dari usia dini dengan membangun pemahaman keragaman budaya (multikulturalisme) dan pluralisme. Lewat langkah itu, toleransi dan moderasi bisa tertanam lebih awal,” kata Mensos.
Dengan begitu, lanjut Khofifah, proses preventif radikalisme tidak menjadi berbiaya tinggi.(Republika.co.id, 12/04/2015).
Keprihatinan Khofifah berangkat dari sebuah survey Setara Institute yang dilansir akhir Maret lalu. Survey tersebut mengatakan sebanyak 7,2 persen siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) di Jakarta dan Bandung menyetujui gerakan ISIS yang berjuang mendirikan negara Islam di Irak dan Suriah. Artinya, setiap 14 siswa SMU, ada 1 yang mendukung gerakan ISIS.
Dari 171 SMU di Jakarta dan Bandung yang disurvey, Setara mengambil 114 sampel. Tiap sekolah diambil enam siswa atau siswi sebagai responden sehingga total responden mencapai 684 orang.(Suara Pembaruan, 30/03/2015).
Survey LSM Islamophobia
Setara Institute, adalah satu lembaga survey yang hasil-hasil surveinya seringkali bernada memojokkan Islam atau menebar ketakutan akan Islam. Tahun 2010 misalnya, mereka meluncurkan hasil survey yang menunjukkan bahwa kecendrungan intoleransi warga di wilayah Jabodetabek masih sangat tinggi.
Namun Setara Institute tidak fair dalam surveinya. Hal ini karena mereka memiliki tolok ukur sendiri untuk mendefinisikan apa itu toleransi dan intoleransi. Dalam kerangka ini sikap responden dalam masalah personal dan menyangkut keyakinan seperti menolak anggota keluarga yang menikah dengan pemeluk agama lain, tidak setuju terhadap pindah agama, tidak setuju aliran sesat, menolak pendirian rumah ibadah agama lain , atau yang tidak setuju terhadap mereka yang tidak beragama disebut sebagai kurang toleran.
Sama halnya ketika hasil survey menyatakan sikap menolak Ahmadiyah dan aliran sesat sebagai tidak toleran. Seakan-akan sikap seperti itu adalah buruk. Sebaliknya kalau menyetujui pernikahan dengan agama lain , pindah agama , tidak setuju terhadap pembubaran Ahmadiyah, adalah sikap yang baik , karena merupakan tindakan yang toleran.
Padahal wajar saja kalau responden terutama yang muslim bersikap seperti itu. Seorang muslim tidak boleh menerima hal-hal yang bertentangan dengan aqidah Islam dan merupakan hal yang maksiat (kemungkaran). Syariat Islam yang merupakan keyakinan mereka telah menjelaskan haramnya seorang wanita muslimah menikah dengan pria non muslim atau keluar dari Islam (murtad). Sama persis dengan penolakan terhadap perilaku korupsi, suap menyuap, rekasaya kasus, karena semua itu perkara munkar yang bertentangan dengan syariat Islam.
Dari beberapa penggunaan istilah tidak toleran, terdapat kecendrungan yang jelas, bahwa yang dasar penilaian toleransi atau tidak adalah pemikiran liberal (HAM). Sikap umat Islam yang berpegang teguh pada agamanya disebut tidak toleran karena bertentangan dengan HAM.
Bgitupun tahun 2011 lalu Setara membuat survey yang menyatakan keberpihakan umat islam terhadap Ahmadiyah, padahal data tidak menunjukkan seperti itu. Sampling yang dilakukan juga tidak fair karena menyasar responden muslim dari kalangan bawah yang tidak memahami fakta Ahmadiyah.
Dengan melihat track record Setara Institute, bukan mustahil survey terhadap remaja pelajar ini memiliki tendensi tersendiri. Kekhawatiran akan tumbuhnya benih radikalisme di kalangan generasi muda efektif untuk mendorong program deradikalisasi di kalangan mereka. Ini artinya upaya membentuk masyarakat Islam moderat yang dicita-citakan para pendiri dan aktivis Setara Institute akan mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan akan dilakukan sedini mungkin. Semakin dini pembentukan opini moderasi Islam, semakin nyata hasilnya karena mendidik anak semenjak kecil adalah ibarat mengukir di atas batu.
Upaya Setara Institute ini segera berbuah dengan munculnya pernyataan dari Mensos untuk melakukan program deradikalisasi sejak di PAUD.
Memahami Makna Deradikalisasi
Istilah radikal sekarang telah menjelma menjadi kata-kata politik (political words) yang cenderung multitafsir, bias, dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Seperti penggunaan istilah Islam radikal yang sering dikaitkan dengan terorisme, penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan , skriptualis dalam menafsirkan agama , menolak pluralitas (keberagaman) dan julukan-julukan yang dimaksudkan untuk memberikan kesan buruk.
Istilah radikal kemudian menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan dengan ideologi dan kepentingan Barat. Julukan Islam radikal kemudian digunakan secara sistematis bagi pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekulerisme, dan demokrasi), ingin memperjuangkan syariah Islam, Khilafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi, dan melakukan jihad melawan Barat.
Program deradikalisasi dimaksudkan untuk meredam semua itu. Karenanya program ini dijalankan dengan tujuan membentuk umat Islam yang moderat, pluralis dan toleran. Yang dimaksud dengan moderat, pluralis dan toleran dalam kacamata program ini adalah pengertian yang diinginkan Barat terhadap umat Islam, yaitu umat yang menerima demokrasi, mengakui kebenaran semua agama bukan hanya mengklaim kebenaran agamanya sendiri, dan menolak penerapan syariah dalam sebuah institusi Khilafah.
Melakukan upaya deradikalisasi semacam ini artinya mereduksi aqidah Islam dan menjadikan aqidah Islam hanya aqidah ruhiyah semata. Hukum-hukum syara’ dipilah dan dipilih sesuai paham sekuler, yang terkait dengan ibadah diambil, tetapi yang terkait dengan pengaturan kehidupan dicampakkan.
Akibat Deradikalisasi Pada Generasi Muda
Program deradikalisasi yang hendak dimulai dari pendidikan usia dini perlu diwaspadai umat Islam. Usia dini adalah usia kritis, usia pembentukan dasar-dasar pemikiran dan perilaku yang merupakan komponen kepribadian. Bila anak usia dini dikenalkan kepada Penciptanya, ditanamkan ketaatan dan ketundukan kepada Sang Pencipta, diajarkan untuk teguh berpegang kepada agama, maka berarti kita telah meletakkan fondasi yang kuat bagi agamanya.
Sebaliknya bila kita tanamkan pemahaman bahwa semua agama sama, atau tidak kita tanamkan untuk terikat dengan hukum syara’, maka anak tidak memiliki fondasi yang cukup kuat untuk berpegang teguh pada ajaran agamanya. Mereka akan mudah diperdaya berbagai produk perang pemikiran dan budaya. Liberalisme, hedonisme dan materialisme. Generasi liberal yang pasca UN menggelar pesta seks, pesta bikini, dan pesta miras. Generasi hedonis yang doyan ke kafe, karaoke, dan hura-hura lainnya. Generasi materialis yang harus punya gadget terbaru, gaya hidup mewah dan aksesori wah. Untuk memenuhinya, remaja-remaja perempuan tak segan menjual diri, dan remaja laki-laki nekat menjadi begal.
Fakta miris seperti inikah yang kita inginkan dengan mengeliminasi pendidikan agama yang bersifat mendasar (radikal) pada anak usia dini? Kita tanamkan pada anak kita semua agama sama benarnya, apakah ikhlas kalau anak-anak kita lantas mudah berpindah agama?
Kalau pertimbangannya hanya sekedar biaya seperti yang dikatakan Khofifah, mana yang lebih mahal bagi kita, generasi Islam yang berakhlak mulia, ataukah generasi liberal dan moderat yang longgar dari nilai-nilai agama?
Kalau kita mau jujur menilai, kerusakan yang ditimbulkan paham Islam moderat dan liberal lebih mahal biaya untuk memperbaikinya ketimbang kita berikan pendidikan agama yang lurus semenjak dini, sesuatu yang ditentang oleh program deradikalisasi.
Umat Jangan Tertipu!
Program deradikalisasi hakekatnya adalah program de-Islamisasi. Inilah yang harus diwaspadai umat. Makna radikal telah dipelintir dan dimanfaatkan kelompok Islamophobia untuk menlonggarkan keterikatan umat terhadap hukum Islam.
Padahal radikal tidak selalu buruk. Radikal dalam makna perubahan yang mendasar (Kamus Besar Bahasa Indonesia) bukanlah hal yang selalu buruk. Dalam sejarah masyarakat Barat juga terjadi beberapa perubahan mendasar yang dianggap justru memberikan pencerahan dan awal kebangkitan masyarakat Barat. Seperti perubahan dari sistem teokrasi yang represif pada abad kegelapan menjadi demokrasi. Masa itu bahkan dianggap awal kebangkitan Barat Indonesia sendiri dalam fragmen sejarahnya mengalami perubahan mendasar. Kemerdekaan Indonesia sering dianggap merupakan tonggak perubahan mendasar (radikal) dari negara yang dijajah oleh kolonial menjadi negara yang merdeka.
Baik buruknya perubahan yang mendasar (radikal) itu tergantung atas dasar apa dan bagaimana perubahan mendasar itu dilakukan. Dalam hal ini Islam menawarkan perubahan dengan asas yang jelas kebaikannya yakni Islam karena berasal dari Allah SWT Dzat yang Maha Sempurna yang Maha Pengasih dan Penyayang. Islam hadir di dunia untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin yang memberikan kebaikan bagi seluruh seluruh umat manusia tanpa pandang ras, suku, bangsa, ataupun agamanya.
Maka tak perlu takut menjadi radikal dalam makna menjalankan Islam secara kaaffah. Justru inilah yang akan menghantarkan anak-anak kita menjadi generasi umat terbaik yang pernah dilahirkan bagi manusia. Insya Allah. Sebagaimana firman Allah SWT
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Artinya: Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh berbuat yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (TQS. Ali Imran[3]: 110). []