Bahaya di Balik Ide “Langgam Jawa dan Islam Indonesia”

Oleh: Abu Muhtadi, Lc dan KH Hafidz Abdurrahman

Langgam Jawa

Geger “langgam jawa” yang digunakan dalam tilawah di Istana, saat Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. 17 Mei 2015 yang lalu telah menimbulkan reaksi keras dari umat Islam. Tilawah yang dilantunkan dosen UIN Sunan Kalijaga, DIY, di acara kenegaraan atas permintaan resmi Menteri Agama RI itu benar-benar telah membuat heboh.

Semakin ramai, karena saling serang antara yang pro-kontra terjadi di media sosial. Bahkan, para pendukung “langgam jawa” yang nota bene kaum Liberal menganggap mereka yang kontra berpikiran cetek. Seperti yang diungkapkan oleh Guntur Romli di akun sosial medianya. Orang yang dianggap cetek ilmunya padahal bukan ulama’ sembarangan. Tidak sedikit di antara mereka adalah orang-oran yang nota bene mendalami ilmu qiara’at.

Lalu bagaimana sebenarnya mendudukkan “langgam jawa” atau langgam-langgam lain dalam tilawah al-Qur’an, kalam Allah yang suci itu?

Dalam hal ini ada dua hadits. Hadits pertama, memerintahkan agar melanggamkan tilawah al-Qur’an [Hr. Muslim], sedangkan hadits kedua melarang melanggamkan tilawah al-Qur’an. Mengenai hadits pertama, al-‘Alim ‘Atha’ Abu Rusytah menguatkan hadits Muslim tersebut dengan konotasi membaguskan suaranya. Konotasi ini dikuatkan oleh hadits al-Bara’ bin ‘Azib dari Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibn Majah.

زَيِّنُوْا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ

 “Hiasilah al-Qur’an dengan suara-suara kalian.” [Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ibn Majah]

Karena itu, pendapat yang paling kuat menyatakan, bahwa membaguskan tilawah al-Qur’an dengan suara yang indah, sesuai dengan kaidah-kaidah tartil yang sahih dari Nabi saw. adalah sunah.

Namun, harus dipilah antara membaguskan tilawah dengan suara yang indah, dengan langgam. Karena, dalam konteks langgam ini ada perselisihan di kalangan fuqaha’. Dari aspek, apakah bacaan dengan langgam tersebut benar-benar bisa menepati kaidah-kaidah qira’at atau tidak?

Pertama pertama, menyatakan bahwa hukum tilawah dengan langgam, seperti langgam jawa itu haram, karena keluar dari kaidah-kaidah tilawah, seperti bayati, husaini bayati, hijaz, shoba, nahqand, rast, sikkah, jaharkah atau ajami. Karena terjadi pemanjangan huruf dan keluar dari batasannya yang sudah dikenal. Pendapat kedua, menyatakan boleh, dengan syarat. Jika qira’at menggunakan langgam tertentu itu tidak keluar dari manhaj yang lurus. Jika tidak, maka haram, dan tidak boleh.

Dari kedua pendapat ini, pendapat pertama yang lebih kuat. Karena itu, hukum membaca al-Qur’an dengan suara yang indah jelas sunah, karena tindakan ini dipuji oleh Nabi saw. Sedangkan melanggamkan bacaan dengan langgam tertentu, seperti “dandang gula” itu jelas haram. Karena telah keluar dari kaidah-kaidah qira’ah yang benar.

Inilah tentang hukum melanggamkan tilawah al-Qur’an dengan langgam jawa, atau langgam-langgam yang lain.

Bahaya Ide di Balik Langgam Jawa

Namun, yang paling berbahaya sebenarnya adalah ide yang mendasari lahirnya permintaan sang Menteri Agama itu. Ide membangun “Islam Indonesia”. Gagasan ini pernah dilontarkan oleh KH Said Aqil Siraj, Ketua PBNU. Ide ini jauh sebelumnya telah dikemukakan oleh Nurchalis Madjid, melalui karyanya di era 1980-an, “Islam Keindonesiaan dan Kemodernan”. Ide ini muncul sebagai reaksi terhadap wajah Islam yang buruk di Timur Tengah. Tetapi, juga tidak bisa dipungkiri, bahwa ide ini juga tidak lepas dari kebanggaan kelompok, mazhab dan suku.

Ditambah dengan gejolak berkepanjangan di wilayah itu akibat perang saudara, menurut sebagian kalangan, Timur Tengah tidak pantas menjadi kiblat kaum Muslim. Maka, “Islam Indonesia” dinilai lebih baik dari pada Islam Timur tengah. Salah satu faktornya, kata Said, karena Indonesia sudah memiliki komitmen kebangsaan dalam menghadapi konflik, baik internal maupun eksternal. Sementara di Timur Tengah, menurutnya, persoalan agama dan nasionalisme sangat sulit diwujudkan. Karena, rata-rata di negara Timur Tengah, masih menurutnya, tidak mempunyai organisasi massa sebagai penengah sebagaimana yang dimiliki Indonesia. Negara di Timur Tengah disebutnya hanya memilki pemerintah, militer dan partai politik. (http://www.republika.co.id/).

Lebih lanjut, Koordinator Presidium Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Indonesia (KAHMI), Mahfud MD, mengatakan Indonesia seharusnya bisa menjadi pusat pemikiran Islam. Sebab, Islam di Indonesia lebih moderat dan bisa diterima banyak pihak. Senada dengan itu, Wakil Presiden, Jusuf Kalla menyerukan agar Islam di Indonesia mampu menjadi teladan dan referensi bagi peradaban dunia. “Indonesia harus menjadi pelopor pemikiran-pemikiran kebersamaan yang lebih baik. Harus menjadi referensi di dunia ini, Islam yang moderat, Islam menjadi referensi dunia,” kata Wapres, saat memberikan sambutan dalam Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Senin [09/02].

Islam Hanya Satu

Dikotomi Islam, dengan berbagai ajektif, seperti “Islam Indonesia”, “Islam Timur Tengah” sebenarnya sama dengan “Islam Radikal”, “Islam Militan”, “Islam Moderat” atau yang lain. Dikotomi seperti ini sebenarnya merupakan bagian dari strategi Barat untuk menghancurkan Islam, sebagaimana yang dituangkan dalam dokumen Rand Corporation. Strategi penghancuran yang dibangun dengan basis filosi “devide et impera”, atau politik belah bambu, yaitu pecah dan perintah.

Begitulah bahaya ide ini. Tampak dari luar memang indah. Terlebih dibumbui dengan semangat menampilkan wajah Islam yang indah. Meski, faktanya tidak demikian. Pertanyaannya sederhana, jika benar ada “Islam Indonesia” dari mana sumbernya? Kalau yang menjadi patokan adalah NU dan Muhammadiyah, bukankah pendiri kedua ormas ini adalah produk Timur Tengah? Kalau pun ada “Islam Indonesia”, apakah ada pemikir atau mujtahidnya? Bukankah selama ini mereka menolak berijtihad? Kalau begitu, pasti sumbernya adalah khazanah Islam klasik yang dihasilkan oleh ulama’ di masa lalu.

Disamping itu, semangat “Islam Indonesia” yang lahir dari sentimen Nasionalisme jelas berbahaya, bahkan dilarang oleh Nabi. Nabi saw. sendiri menyebut sentimen Nasionalisme itu sebagai “muntinah” [barang yang busuk]. Lebih berbahaya lagi, karena “Islam Indonesia” atau “Islam Turki” telah didesain dan dimanfaatkan oleh Amerika dan negara Kafir penjajah untuk melepaskan umat Islam dari Islam yang sesungguhnya. Ini bagian dari penyesatan politik dan pemikiran yang jelas berbahaya.

Islam adalah agama yang satu. Allah berfirman:

إنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ [سورة المؤمنون: 52]

“Sesungguhnya umat [agama]-mu ini adalah umat [agama] yang satu. Aku adalah Tuhanmu, maka takutlah kamu kepada-Ku.” [Q.s. al-Mu’minun: 52]

Ayat yang sama diulang dalam Q.s. al-Anbiya’: 92, dengan akhiran yang berbeda, “fa’buduni” [sembahlah aku]. Lafadz “ummat” di dalam kedua nash ini diartikan oleh para ahli tafsir dengan agama. Meski bisa juga diartikan, sebagaimana harfiahnya, yaitu umat. Karena itu, Islam adalah satu. Umat Islam juga satu. Tidak ada “Islam Indonesia”, “Islam Turki”, atau “Islam Arab”. Begitu juga umat Islam hanya satu, tidak ada “Umat Islam Indonesia”, “Umat Islam Arab” atau yang lain. Semuanya adalah Islam dan Umat Islam.

Islam yang Mana?

Meski Islam adalah agama yang satu, tetapi kita tidak menutup mata adanya perbedaan di dalamnya, karena perbedaan pendapat, pandangan dan mazhab. Perbedaan seperti ini pun dibenarkan dalam Islam. Karena dua alasan. Pertama, karena nash syariah memungkinkan umat Islam untuk berbeda, akibat adanya nash-nash yang dzanni tsubut [sumber] dan dzanni dalalah [makna]-nya bersifat debatabel. Kedua, karena kemampuan intelektual umatnya juga berbeda-beda, sehingga memungkinkan perbedaan dalam memahami nash-nash syariah.

Meski demikian, ukurannya jelas. Kata Sayyidina ‘Ali —radhiya-Llahu ‘anhu:

لاَ تَعْرِفِ الْحَقَّ بِالرِّجَالِ، أَعْرِفِ الْحَقَّ وَتَعْرِفْ أَهْلَهُ

“Kamu jangan mengenali kebenaran dengan melihat orangnya. Kenalilah kebenarannya itu sendiri, maka kamu akan mengenali orangnya.” [al-Ghazali, al-Munqidz min ad-Dhalal]

Mengenali Islam sebagai agama yang benar harus kembali kepada sumbernya, bukan orangnya. Sumbernya adalah al-Qur’an, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Siapapun yang membawa dan menyampaikan Islam harus dilihat dan diukur dengan sumber-sumber tersebut. Jika menyimpang, siapapun dia, apapun kelompok dan organisasinya, apa yang dibawa dan disampaikan itu bukanlah kebenaran. Bukan Islam. Begitulah, cara kita menilai kebenaran Islam.

Kembali kepada sumber Islam yang outentik tersebut membutuhkan ilmu alat, mulai dari bahasa, ushul fiqih, ilmu hadits, tafsir, fikih dan sebagainya. Karena, khazanah Islam yang disampaikan di tengah-tengah umat itu, ibaratnya adalah buah dari pohon subur. Menggunakan ungkapan Imam al-Ghazali, buah itu tidak bisa dipetik dari pohonnya, yang tak lain adalah dalil, kecuali dengan alat. Alat itu adalah ushul fikih. Tetapi, alat itu bisa digunakan, kalau ada yang bisa menggunakannya. Itulah para mujtahid [al-Ghazali, al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul].

Karena itu, tradisi ini tidak pernah hilang dari kaum Muslim selama berabad-abad, sejak umat ini lahir di tangan Baginda Nabi Muhammad saw. Kembali kepada sumber outentik Islam, dengan meninggalkan alatnya, dengan alasan dulu Nabi dan para sahabat tidak pernah menggunakan alat itu, sesungguhnya juga sama bahayanya dengan orang yang tidak mau merujuk kepada sumber outentik Islam itu sendiri.

Oleh karena itu, menemukan kebenaran Islam harus dengan kembali kepada Islam secara kaffah. Merujuk kepada sumber outentiknya, sekaligus ilmu alat dan para pemikir dan mujtahidnya. Begitulah seharusnya. Hanya dengan cara seperti itu, kebenaran Islam itu bisa direngkuh dengan sebenar-benarnya.

Sumber Konflik Bukan Sumber Islam

Mengenai Timur Tengah sebagai wilayah konflik yang terus bergolak, sebenarnya tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk meninggalkan Islam yang ditranmisikan dari sana. Karena fakta konflik di Timur Tengah, sesungguhnya bukan karena faktor Islam. Wilayah ini terus-menerus membara justru karena strategi penjajah untuk terus-menerus menjajah wilayah ini. Wilayah ini telah menjadi ajang pertarungan antara Inggris, Amerika dan Perancis.

Karena itu, menisbatkan konflik Timur Tengah kepada watak keislaman kaum Muslim di sana merupakan tindakan gegabah, sambil menutup mata terhadap kepentingan negara-negara penjajah di wilayah tersebut. Setidaknya ada empat faktor yang menyebab instabilitas Timur Tengah hingga saat ini: (1) Potensi Ideologi Islam yang selalu mengancam kepentingan Barat; (2) persoalan minyak; (3) letak strategis Timteng, dan (4) Institusi yahudi yang sengaja ditanam oleh Barat.

Sebagai contoh, gejolak di Suriah yang masih terjadi hingga saat ini, tak lain karena Revolusi Islam di sana membahayakan kepentingan Barat. Sampai sekarang, Barat belum berhasil memalingkan tujuan Revolusi Islam di sana agar tunduk pada kepentingannya. Disisi lain, Tsaroh as-Syâm (Revolusi di bumi Syam), sampai saat ini masih menjadi harapan besar umat agar benar-benar menjadi jembatan yang mengantarakan mereka dari fase pemerintahan diktator menuju fase Khilafah Rasyidah ‘Ala Minhajin Nubuwwah. Dianggap lebih berbahaya bagi kepentingan barat, karena Revolusi Syam masih memiliki pilar-pilar yang kokoh hingga sekarang, yakni: 1) Meruntuhkan sistem yang saat ini berkuasa di Suriah, beserta seluruh pilar dan simbol-simbolnya, 2) Menolak intervensi asing (negara-negara kafir) beserta seluruh agen-agennya, 3) Menegakkan Daulah Khilâfah ‘Alâ Minhaj an-Nubuwwah.

Begitu juga apa yang terjadi di Yaman sekarang. Konflik Yaman bukanlah Konflik Syiah-Sunni, tetapi pertarungan antara Amerika dengan Inggris. Karena itu, mengkambinghitamkan Islam sebagai biang konflik, selain berbahaya juga memalingkan umat Islam dari musuh yang sesungguhnya, yaitu imperialisme Barat dengan Sekularisme dan Kapitalisme-nya. Akibatnya, umat Islam akan saling menyalahkan satu dengan yang lain, sementara musuh mereka yang sejatih tidak pernah mereka salahkan, apalagi mereka lawan.

Walhasil, sangat naif bila kita mengkaitkan konflik Timur Tengah dengan ciri keislaman kaum Muslim, apalagi bermuara pada Islam. Tetapi, konflik-konflik itu semuanya bermuara bukan dari Islam. Justru Islam telah menjadi solusi. Tetapi, masalahnya umat Islam tidak mau mengambil Islam sebagai solusinya. Mereka lebih percaya kepada ideologi penjajah yang justru hendak menghisap darah dan kekayaan alam mereka. Akibatnya, konflik antara sesama kaum Muslim itu tidak pernah reda. Bahkan, terus membara.

Inilah saatnya umat Islam kembali kepada Islam, dengan sistemnya yang adil dan sempurna. Sistem yang diturunkan oleh Allah SWT. Hanya semuanya itu tidak akan pernah ada, kecuali dengan Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah. Itulah satu-satunya institusi yang bisa menjamin kehadiran Islam dengan wajahnya yang asli dan khas, sebagaimana yang diridhai oleh Allah SWT.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*