Suatu ketika, karena amat lapar, Abu Bakar ash-Shiddiq segera menyambar sekaligus melahap makanan yang dihidangkan oleh pembantunya. Ini, tentu saja, di luar kebiasaan beliau yang selalu berhati-hati terhadap kehalalan makanan. Setelah beberapa suap makanan masuk ke mulut beliau, lalu ke tenggorokan dan terus berjalan menuju perut beliau, beliau tiba-tiba sadar. Beliau lalu bertanya kepada pembantunya, “Dari mana makanan ini?” Pembantunya menjawab, “Dulu sebelum masuk Islam, saya biasa mendatangi seorang dukun. Kemarin saya berjumpa dengan dia, lalu dia menghadiahi aku makanan ini.” Mendengar itu, Abu Bakar ash-Shiddiq terperanjat. Spontan, beliau lalu memasukkan jari-jemarinya ke tenggorokannya. Beliau berusaha memuntahkan kembali makanan yang baru saja beliau lahap. Seketika, seluruh isi perutnya keluar, tak tersisa lagi sedikit pun (HR al-Bukhari).
Dalam kisah yang berbeda, Umar bin al-Khaththab ra melakukan hal yang sama. Beliau berusaha memuntahkan kembali air susu yang telanjur diminum dan masuk ke perutnya. Itu dilakukan setelah tahu bahwa air susu itu dikhawatirkan berasal dari unta sedekah milik Baitul Mal (Negara Khilafah, pen.) (Al-Kandahlawi, Fadha-il A’mal, hlm. 590).
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari dua kisah di atas? Pertama: Abu Bakar ra dan Umar bin al-Khaththab ra adalah dua orang sahabat Rasulullah SAW yang dijamin masuk surga. Kekhawatiran mereka yang amat besar terhadap hal-hal yang syubhat tentu saja merupakan cermin ketakwaan dari kedua ahli surga itu. Kedua: Bagi sebagian kita, memakan makanan yang syubhat—meski zatnya halal—mungkin bukan perkara besar. Namun, bagi kedua orang sahabat Nabi SAW yang mulia ini, perkara-perkara syubhat sekali pun—yang belum tentu mutlak haram—sudah dianggap masalah besar. Ini karena mereka amat paham, hal-hal yang syubhat amat dekat dengan keharaman, sebelum benar-benar terbukti kehalalannya. Mereka pun amat paham, makanan haram, meski hanya sesuap, akan menjadi bahan bakar api neraka yang bisa membakar perut dan tubuhnya di akhirat nanti.
Alhamdulillah, sebagian Muslim sudah memiliki kepekaan yang tinggi terhadap makanan yang haram atau syubhat. Sebagian mereka cukup peka terhadap makanan/minuman yang mengandung unsur babi, khamar/alkohol atau zat yang mengandung dharar (bahaya). Namun sayang, kepekaan mereka terhadap perkara-perkara syubhat, bahkan haram, yang menyangkut bagaimana memperoleh makanan (baca: muamalah) justru amat lemah. Kalaupun sebagian muamalah haram itu sudah dipahami dan mungkin ditinggalkan, seperti riba, sebagian besar muamalah yang lain masih banyak tidak dipahami sehingga masih banyak dilakukan. Seolah-olah dosa muamalah hanyalah riba. Padahal selain riba—yang notabene merupakan dosa besar—banyak muamalah keseharian umat ini yang syubhat bahkan haram. Masalahnya, banyak muamalah saat ini—baik terkait jual-beli, usaha jasa, sewa-menyewa ataupun kemitraan bisnis—justru dianggap biasa oleh kaum Muslim. Padahal kebanyakan muamalah tersebut didasarkan pada akad-akad atau transaksi yang fasad, bahkan batil. Ini karena kebanyakan muamalah tersebut sering didasarkan pada prinsip atau aturan yang tidak berasal dari ajaran Islam, tetapi semata-mata berasal dari prinsip dan aturan manusia yang berasal dari ideologi kapitalisme atau akidah sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan). Muamalah seperti perbankan ribawi, asuransi, koperasi, perseoran dan bursa saham, kredit konvensional yang melibatkan lembaga leasing, kemitraan bisnis kapitalis, dll adalah di antara muamalah yang batil, yang sayangnya justru banyak dilakukan oleh umat Islam. Tentu, bentuk-bentuk muamalah yang batil ini haram/dosa. Tentu pula, dosa hanya akan memasukkan pelakunya ke dalam azab api neraka.
Selain itu, meski berbagai bentuk muamalah tersebut mendatangkan banyak keuntungan kepada sebagian orang, bahkan bisa menghasilkan kekayaan yang berlimpah, yakinlah kekayaan itu tak akan mendatangkan keberkahan dan kebahagiaan. Sebagaimana kata Imam an-Nawawi al-Bantani dalam kitabnya, Nashaih al-‘Ibad, keberkahan dan kebahagiaan (al-‘afiyat) di dunia salah satunya hanya akan bisa diraih melalui harta yang diperoleh dengan cara-cara yang halal. Sebaliknya, kesempitan dan kebahagiaan hidup—meski di tengah keberlimpahan harta—tak akan bisa direguk jika harta berlimpah tersebut diperoleh dengan cara-cara yang haram.
Pertanyaannya: Sudahkah harta kita diperoleh melalui cara-cara (muamalah) yang sesuai syariah? Tidakkah kita takut jika muamalah kita mencelakakan kita dan keluarga kita? Wama tawfiqi illa billah. [] abi