Masalah yang dihadapi oleh dunia Islam, termasuk Indonesia, dalam membangun proyek infrastuktur adalah kesalahan dasar, akibat pilihan sistem ekonomi yang salah, bahkan merusak. Akibatnya, dengan seluruh kekayaan yang dimilikinya, tidak mampu membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk kemaslahatan publik. Jangankan untuk membangun infrastuktur, untuk membiayai biaya penyelenggaraan negara saja harus ngutang.
Itupun sudah ditambah dengan pendapatan melalui pajak yang prosentasenya mencapi 80 persen. Ini karena kekayaan tersebut tidak masuk ke kas negara, tetapi masuk ke kantong swasta, baik domestik maupun asing. Negara hanya mendapatkan jatah 10 persen, itu pun kalau tidak dikemplang, seperti kasus PT Freeport. Karena itu, pembangunan infrastuktur pun diserahkan kepada para investor, baik asing maupun domestik. Inilah kondisi riil yang terjadi saat ini.
Kebijakan Pembangunan
Kebijakan mendasar dalam negara khilafah terkait dengan pembangunan tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang diterapkan. Negara khilafah yang pasti akan membuang jauh-jauh sistem yang digunakan sekarang. Sebagai gantinya, khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam secara utuh dan murni. Ini menyangkut kepemilikan [milkiyyah], pengeloaan kepemilikan [tasharruf], termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat [tauzi’]. Tidak hanya itu, negara khilafah juga memastikan berjalannya politik ekonomi [siyasah iqtishadiyyah] dengan benar.
Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, khilafah akan mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelanggaraan negara. Termasuk memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyatnya, baik kebutuhan pribadi maupun kelompok, seperti sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Pada saat yang sama, ekonomi negara tumbuh dengan sehat, karena produktivitas individu yang terjaga.
Dengan begitu, ketika negara mengalami situasi di mana harus membangun infrastuktur, baik karena ledakan penduduk, maupun keterbatasan sarana dan prasarana, maka negara mempunyai banyak pilihan. Karena, masalah penyelenggaraan negara sudah selesai. Masalah pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya juga sudah selesai. Dengan kata lain, negara lebih leluasa membuat kebijakan. Pada saat yang sama, kebijakan itu tidak akan membebani rakyatnya, sebagaimana yang dialami oleh rakyat di negeri ini.
Bagaimana Caranya?
Pertama, tentu khilafah bisa membangun infrastruktur dengan dana Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Apakah itu mungkin? Tentu, sangat mungkin. Dengan kekayaan milik umum yang dikuasai dan dikelola oleh negara, ditambah kekayaan milik negara, maka tidak ada yang tidak mungkin. Ini sudah dibuktikan dalam sejarah khilafah di masa lalu, baik di zaman Khulafa’ Rasyidin, Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga ‘Utsmaniyyah. Contoh mutakhir adalah proyek pembangun rel kereta api yang menghubungkan Hijaz, Syam hingga Istambul.
Proyek ini dibangun oleh Sultan Abdul Hamid II hanya dalam waktu 2 tahun. Bukti peninggalan ini masih bisa dilihat di Madinah. Bahkan, hebatnya Sultan Abdul Hamid II membangunnya dengan dana pribadinya. Hal yang sama juga bisa kita temukan pada proyek saluran air bersih di Jalur Armina [Arafah-Mina-Muzdalifah]. Di sini bisa kita temukan Qanat Zubaidah [Jalur Air Zubaidah]. Zubaidah adalah istri Khalifah Harun ar-Rasyid dari Khilafah ‘Abbasiyyah. Bahkan, proyek ini terhubung hingga ke Baghdad dengan Birkah [Situ] dan ‘Ain Zubaidah [Mata Air Zubaidah]-nya. Proyek ini pun dibiayai oleh istri sang Khalifah.
Kedua, jika Baitul Mal tidak ada dana, baik karena terkuras untuk peperangan, bencana maupun yang lain, lalu bagaimana? Dalam hal ini, harus dilihat. Jika proyek infrastuktur tersebut memang vital, karena merupakan satu-satunya fasilitas umum yang dibutuhkan, atau karena satu dan lain hal, sehingga harus ada guna mengatasi ledakan penduduk maupun ketidakcukupan daya tampung. Dalam kondisi seperti ini, negara bisa mendorong pastisipasi publik untuk berinfak. Jika tidak cukup, maka kaum Muslim, laki-laki dan mampu dikenakan pajak khusus untuk membiayai proyek ini hingga terpenuhi.
Pada saat yang sama, negara bisa mengajukan fasilitas kredit, baik kepada negara maupun perusahaan asing, tanpa bunga dan syarat yang bisa menjerat negara. Negara akan membayarnya dengan cash keras, setelah dana infak dan pajak tersebut terkumpul. Namun, kebijakan ini ditempuh dalam kondisi yang sangat terdesak. Meski, kemungkinan ini sangat kecil, mengingat sumber kekayaan negara khilafah yang membentang di 2/3 dunia saat sangat fantastis dan luar biasa.
Adapun, jika proyek infrastuktur tersebut tidak vital, maka negara tidak perlu menarik pajak dari masyarakat. Negara juga tidak boleh mengambil fasilitas kredit, termasuk berutang kepada negara atau perusahaan asing untuk membiayai proyek ini.
Kredit Fasilitas dan Utang Luar Negeri
Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pembangunan infrastuktur biasanya diimpor dari luar. Bentuknya berupa barang. Meski dalam transaksinya bisa dilakukan dengan cash, bisa juga dengan tangguh, atau kredit. Jika transaksi jual-belinya dilakukan dengan tangguh, atau kredit, inilah yang tampak menyerupai utang. Apakah ini dihukumi sama dengan utang luar negeri, atau perdagangan luar negeri?
Dalam hal ini, as-Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, dalam kitabnya as-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla, memasukkannya sebagai bagian dari perdagangan luar negeri, bukan utang luar negeri. Karena itu, hukumnya berbeda. Karena faktanya adalah fakta perdagangan, atau jual-beli barang, meski dilakukan dengan pembayaran tangguh [kredit]. Tentu dengan catatan, tidak ada unsur riba dan pelanggaran syara’ lainnya. Model transaksi seperti ini juga boleh. Karena itu, negara khilafah boleh mengambil kebijakan kredit fasilitas seperti ini.
Berbeda dengan utang luar negeri. Utang luar negeri ini bisa dikucurkan langsung oleh negara, atau melalui badan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia. Faktanya, baik langsung maupun melalui badan internasional, utang luar negeri ini sama-sama berbahaya. Karena utang luar negeri ini telah digunakan sebagai alat untuk menguasai dan menjajah sebuah negara. Selain menggunakan riba, di dalamnya juga ditetapkan berbagai syarat yang mengikat negara penerima utang.
Oleh karena itu, negara khilafah tidak akan mengambil utang luar negeri yang seperti ini untuk membiayai pembangunan proyek infrastukturnya. Sebagai contoh, kasus Cina dan Iran. Meski tampak negara tidak berutang kepada negara penjajah, seperti AS, tetapi dengan mengambil utang dari Cina sama saja. Karena, investasi terbesar di Cina, sesungguhnya milik AS. Begitu juga Iran. Karena kebijakan pemerintah Iran, sebagai boneka AS, mengikuti kebijakan AS. Mengambil pembiayaan dari keduanya sama-sama telah membuka pintu penjajahan bagi negara. Dalam kasus-kasus seperti ini, negara khilafah akan cermat, dan tidak mudah tertipu, sehingga masuk dalam perangkap penjajahan. []