Bahaya di Balik Ide “Islam Indonesia”

[Al-Islam edisi 759, 18 Sya’ban 1436 H – 5 Juni 2015 M]

Penggunaan “langgam Jawa” dalam tilawah al-Quran saat Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. 17 Mei 2015 lalu di Istana Negara telah menimbulkan berbagai reaksi dari umat Islam. Sebenarnya ada yang sangat berbahaya di balik itu. Itulah ide yang mendasari permintaan sang Menteri Agama untuk menggunakan “langgam Jawa” itu. Sebelumnya, ide membangun “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara” pernah dilontarkan pula oleh beberapa tokoh dan intelektual di negeri ini.

Ide ini muncul sebagai reaksi terhadap wajah buruk Timur Tengah yang selalu diwarnai dengan konflik berkepanjangan akibat perang saudara. Padahal Timur Tengah berpenduduk mayoritas Muslim dan menjadi pusat agama Islam. Dari sanalah Islam disebarluaskan ke seluruh dunia, termasuk ke Nusantara ini. Karena itu menurut sebagian kalangan, Timur Tengah tidak pantas menjadi kiblat keberislaman kaum Muslim.

Maka dari itu, “Islam Indonesia” dinilai lebih baik daripada “Islam Timur Tengah”. Salah satu faktornya, menurut mereka, karena Indonesia sudah memiliki komitmen kebangsaan (nasionalisme) dalam menghadapi konflik, baik internal maupun eksternal. Adapun di Timur Tengah, penggabungan agama dengan nasionalisme sangat sulit diwujudkan.

Lebih lanjut menurut mereka, Indonesia seharusnya bisa menjadi pusat pemikiran Islam. Pasalnya, Islam di Indonesia lebih moderat dan bisa diterima oleh banyak pihak. Wapres Jusuf Kalla dalam sambutannya di Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Pagelaran Keraton Yogyakarta, Senin (09/02) menyerukan agar Islam di Indonesia mampu menjadi teladan dan rujukan bagi peradaban dunia.

Islam Hanya Satu

Islam dengan berbagai labelnya seperti “Islam Indonesia” atau “Islam Timur Tengah” sebenarnya sama dengan istilah “Islam Radikal”, “Islam Militan”, “Islam Moderat” atau yang lain. Pengkotak-kotakan seperti ini sebenarnya murni merupakan bagian dari strategi Barat untuk menghancurkan Islam. Ini sebagaimana yang dituangkan dalam dokumen Rand Corporation. Strategi penghancuran ini dibangun dengan dasar falsafah “devide et impera” atau politik pecah-belah. Begitulah bahaya di balik ide ini.

Selain itu, semangat “Islam Indonesia” yang lahir dari sentimen nasionalisme jelas berbahaya. Nabi saw. sendiri menyebut sentimen nasionalisme itu sebagai “muntinah” [barang yang busuk]. Apalagi ide “Islam Indonesia” atau “Islam Turki” telah didesain dan dimanfaatkan oleh Amerika dan negara kafir penjajah untuk melepaskan umat Islam dari Islam yang sesungguhnya. Ini bagian dari penyesatan politik dan pemikiran yang jelas berbahaya.

Padahal Islam itu satu. Allah SWT berfirman:

]إنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ[

Sesungguhnya umat [agama] kalian ini adalah umat [agama] yang satu. Aku adalah Tuhan kalian. Karena itu takutlah kalian kepada-Ku (TQS al-Mu’minun [23]: 52).

]إنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ[

Sesungguhnya umat [agama] kalian ini adalah umat [agama] yang satu. Aku adalah Tuhan kalian. Karena itu sembahlah Aku (TQS al-Anbiya’ [21]: 92).

Kata “ummat” di dalam kedua nash ini diartikan oleh para mufassir dengan agama (millah). Maknanya jelas, yakni agama kita, Islam, itu satu; tidak berbilang, tidak boleh dibuat berbilang, dan tidak boleh dilabeli dengan label tertentu. Kata “ummat” itu juga bisa diartikan secara harfiahnya, yaitu umat. Karena itu Islam adalah satu. Umat Islam juga satu. Tidak ada “Islam Indonesia”, “Islam Turki”, atau “Islam Arab”. Umat Islam pun hanya satu. Tidak ada “Umat Islam Indonesia”, “Umat Islam Arab” atau yang lain. Semuanya adalah Islam dan umat Islam.

Islam yang Mana?

Meski Islam hanya ada satu, tetapi kita tidak menutup mata adanya perbedaan di dalamnya karena faktor perbedaan pendapat, pandangan dan mazhab. Perbedaan seperti ini dibenarkan dalam Islam karena dua alasan. Pertama: karena adanya nash-nash syariah yang zhanni tsubut [sumber] dan zhanni dalalah [makna]-nya. Kedua: karena kemampuan intelektual umatnya juga berbeda-beda sehingga memungkinkan perbedaan dalam memahami nash-nash syariah.

Meski demikian, ukurannya jelas. Kata Sayidina ‘Ali bin Abiy Thalib ra.:

لاَ تَعْرِفِ الْحَقَّ بِالرِّجَالِ، أَعْرِفِ الْحَقَّ وَتَعْرِفْ أَهْلَهُ

Janganlah kamu mengenali kebenaran dengan melihat orangnya. Kenalilah kebenaran itu, maka kamu akan mengenali orang yang mengusungnya (Imam al-Ghazali, Al-Munqidz min adh-Dhalâl).

Mengenali Islam sebagai agama yang benar harus kembali pada sumbernya, bukan kepada orangnya. Sumbernya adalah al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Siapapun yang membawa dan menyampaikan Islam harus dilihat dan diukur dengan sumber-sumber tersebut. Jika menyimpang maka siapapun dia, dari kelompok atau organisasi manapun, serta apa pun yang dibawa dan disampaikan itu bukanlah kebenaran; bukan Islam. Begitulah cara seharusnya menilai kebenaran Islam.

Kembali pada sumber Islam yang asli tersebut membutuhkan ilmu alat mulai dari bahasa Arab, ushul fikih, ilmu hadis, tafsir, fikih dan sebagainya. Pasalnya, khazanah Islam yang disampaikan di tengah-tengah umat itu ibarat buah dari pohon yang subur. Menggunakan ungkapan Imam al-Ghazali, buah itu tidak bisa dipetik dari pohonnya, yang tak lain adalah dalil, kecuali dengan alat. Alat itu adalah ushul fikih. Namun, alat itu tidak bisa digunakan kecuali oleh para mujtahid (Imam al-Ghazali, Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl).

Karena itu, tradisi ini tidak pernah hilang dari kaum Muslim selama berabad-abad sejak umat ini lahir di tangan Baginda Nabi Muhammad saw. Kembali pada sumber asli Islam dengan meninggalkan alatnya—dengan alasan dulu Nabi saw. dan para Sahabat tidak pernah menggunakan alat itu—sesungguhnya sama bahayanya dengan orang yang tak mau merujuk pada sumber asli Islam itu sendiri.

Oleh karena itu, menemukan kebenaran Islam harus dengan kembali pada Islam secara kaffah, yakni merujuk pada sumber aslinya, sekaligus merujuk pada ilmu alat serta kepada para pemikir dan mujtahidnya. Begitulah seharusnya. Hanya dengan cara seperti itu kebenaran Islam itu bisa direngkuh dengan sebenar-benarnya.

Islam: Solusi, Bukan Sumber Konflik

Mengenai Timur Tengah yang terus bergolak sesungguhnya itu bukan karena faktor Islam. Wilayah ini terus-menerus membara karena strategi penjajah Barat untuk terus-menerus menjajah wilayah ini. Wilayah ini telah menjadi ajang pertarungan antara Inggris, Amerika dan Prancis. Karena itu mengaitkan konflik Timur Tengah dengan watak keislaman kaum Muslim di sana merupakan tindakan gegabah sekaligus menutup mata terhadap kepentingan negara-negara penjajah di wilayah tersebut.

Setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan ketidakstabilan Timur Tengah hingga saat ini: (1) potensi ideologi Islam yang selalu mengancam kepentingan Barat; (2) persoalan minyak; (3) letak strategis Timur Tengah; (4) institusi Yahudi yang sengaja ditanam oleh Barat.

Sebagai contoh, gejolak di Suriah yang masih terjadi hingga saat ini tak lain karena Revolusi Islam di sana membahayakan kepentingan Barat. Sampai sekarang, Barat belum berhasil memalingkan tujuan Revolusi Islam di sana agar tunduk pada kepentingannya. Di sisi lain, Tsaurah as-Syâm (Revolusi di Bumi Syam) hingga saat ini masih menjadi harapan besar umat agar menjadi jembatan yang mengantarkan mereka dari fase pemerintahan diktator menuju fase Khilafah ar-Rasyidah ‘ala Minhajin-Nubuwwah.

Begitu juga apa yang terjadi di Yaman sekarang. Konflik Yaman bukanlah konflik Syiah-Sunni, tetapi pertarungan Amerika dengan Inggris, termasuk dengan menggunakan alat-alat mereka dan sentimen lokal.

Karena itu mengkambinghitamkan Islam sebagai biang konflik, selain berbahaya, juga memalingkan umat Islam dari musuh yang sesungguhnya, yaitu penjajahan Barat dengan sekularisme dan kapitalismenya. Akibatnya, umat Islam akan saling menyalahkan satu sama lain, sementara musuh mereka yang sejati tidak pernah mereka salahkan, apalagi mereka lawan.

Alhasil, sangat naif jika konflik Timur Tengah dikaitkan dengan ciri keislaman kaum Muslim, apalagi dikaitkan langsung dengan Islam. Pasalnya, muara dari konflik-konflik itu bukanlah Islam. Justru Islam itu solusi. Namun masalahnya, umat Islam belum mau mengambil kembali Islam sebagai solusinya. Mereka lebih percaya pada ideologi penjajah yang justru hendak menghisap darah dan kekayaan alam mereka. Akibatnya, konflik antar sesama kaum Muslim itu tidak pernah reda, bahkan terus membara.

Wahai Kaum Muslim:

Inilah saatnya umat Islam kembali pada Islam dengan sistemnya yang adil dan sempurna yang berasal dari Allah SWT. Hanya saja, semuanya itu tidak akan pernah ada, kecuali dengan Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah. Itulah satu-satunya institusi pemerintahan Islam yang bisa menjamin kehadiran Islam dengan wajahnya yang asli dan khas, sebagaimana yang diridhai oleh Allah SWT.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

 

Komentar al-Islam:

Dalam tiga bulan terakhir daya beli petani tak menujukkan perbaikan bahkan malah kian melorot. Hal tersebut terlihat dari nilai tukar petani (NTP) Mei 2015 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) yang sebesar 100,02. (Kompas.com, 1/6/2015).

  1. Itu cermin minimnya keberpihakan kebijakan Pemerintah kepada petani. Petani dibiarkan bertahan di tengah berbagai himpitan akibat kebijakan-kebijakan neoliberal dari Pemerintah.
  2. Sangat berbeda dengan Islam. Dalam Islam tanah harus produktif, artinya petani harus produktif. Pemerintah sebagai pelayan umat wajib menjamin agar para petani bisa produktif.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*