Pengungsi Rohingya : “Dari sebuah negara, kami tidak berkewarganegaraan, dan sebagai pengungsi, kami juga tidak berkewarganegaraan lagi”
Bagi para pengungsi dari Myanmar yang telah mencapai Malaysia, kehidupan mereka mungkin lebih baik dari marginalisasi dan penganiayaan sebelum mereka melarikan diri.
Namun bahkan di sana, kemiskinan dan pengucilan mengancam mereka dan masa depan yang suram membayangi mereka.
Kapal- kapal bermuatan migran Rohingya yang mendarat di negeri itu dengan rasa putus asa dan kelelahan bulan lalu telah bergabung dengan 75.000 Rohingya yang berhasil mencapai Malaysia setahun dan bahkan puluhan tahun sebelumnya.
Dilihat dari kesulitan yang mereka hadapi sekarang, akan sulit bagi gelombang terbaru migran untuk membangun pijakan yang aman atau untuk mencapai pemukiman kembali di tempat lain.
“Dari sebuah negara, kami telah menjadi tidak berkewarganegaraan, dan sebagai pengungsi, kami juga tidak berkewarganegaraan lagi,” kata Mohammed Noor, direktur layanan berita online yang berbasis di Kuala Lumpur, ibukota Malaysia Rohingya Vision TV.
“Kami adalah orang yang terombang ambing sekarang, mengambang di mana-mana tanpa harapan, tanpa surat-surat”
Di Malaysia, status mereka sebagai pengungsi dan migran tidak terdaftar saat mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah pemerintah, yang berarti sedikit menerima pendidikan sedikit atau bahkan tidak sama sekali.
“Puluhan tahun kebijakan di Myanmar telah membuat banyak orang Rohingya buta huruf dan miskin, dan sulit untuk disingkirkan sebagai pengungsi,” kata Gerhard Hoffstaedter, seorang antropolog dari University of Queensland Australia yang mempelajari Rohingya dan kelompok pengungsi lainnya di Malaysia.
Sumber : New York Times/3/6/2015