[Al-Islam edisi 760, 25 Sya’ban 1436 H – 12 Juni 2015 M]
Dalam beberapa waktu terakhir, satu hal yang menarik perhatian di negeri ini adalah kemunculan sejumlah hal yang serba palsu. Ada kasus beras palsu, yang sering disebut beras plastik. Ada kasus ijazah palsu. Ada kosmetik palsu, lada palsu, pupuk palsu dan uang palsu. Ada juga janji-janji palsu dari para politisi dan pemimpin atau penguasa.
Kemunculan sejumlah hal yang serba palsu itu tentu membuat kita bertanya-tanya: Mengapa semua ini bisa terjadi? Mengapa pula kasus-kasus seperti itu terus saja berlangsung dan seolah tidak ada penyelesaiannya secara tuntas?
Karena Sekularisme dan Machiavelisme
Kemunculan sejumlah hal yang serba palsu itu secara umum didorong oleh motif ekonomi maupun motif politik dan kekuasaan. Motif ekonomi tampak, misalnya, dalam kasus pupuk palsu, lada palsu dan uang palsu. Motif ekonomi yang dimaksud adalah motif untuk mendapat harta atau keuntungan dengan cepat dan besar. Adapun motif politik dan kekuasaan di antaranya tampak dalam kasus ijazah palsu yang diduga dilakukan oleh sebagian politisi dan pejabat. Motifnya adalah untuk meraih jabatan dan kekuasaan.
Motif ekonomi untuk mendapat harta atau keuntungan dengan cepat dan besar itu sebenarnya tidak apa-apa jika dilakukan dengan cara-cara yang benar. Motif politik (meraih jabatan dan kekuasaan) juga tidak masalah asal dilakukan dengan cara yang benar dan digunakan untuk tujuan yang benar. Tentu benar sesuai syariah. Namun, kemunculan hal-hal palsu itu menandakan bahwa motif ekonomi maupun motif politik dan kekuasaan itu diwujudkan dengan menggunakan segala cara. Itu artinya doktrin yang dipakai adalah doktrin machiavelli, yaitu bahwa tujuan menghalalkan segala cara. Demi mendapat keuntungan dan demi meraih jabatan dan kekuasaan, cara-cara yang salah dan bahkan merugikan masyarakat pun digunakan.
Semua itu terjadi karena berpangkal pada akidah sekularisme. Sekularisme adalah pemisahan agama dari kehidupan. Dengan sekularisme maka hal-hal palsu itu dianggap tidak ada hubungannya dengan dosa. Dosa dianggap semata-mata masalah agama, sementara menurut akidah sekularisme agama tidak boleh hadir dalam urusan kehidupan.
Cermin Kegagalan Sistem
Kemunculan hal-hal yang serba palsu secara berulang dan terus-menerus itu adalah cermin dari kegagalan sistem sekular saat ini. Dengan kata lain, sistem sekular gagal menghentikan semua kepalsuan itu secara tuntas.
Kegagalan sistem sekular dalam mengatasi hal-hal yang serba palsu itu di antaranya karena memang sistem ini cacat. Ambil contoh adalah terus berulangnya janji-janji palsu dari politisi, pemimpin atau penguasa. Hal itu karena sistem politik demokrasi yang ada mendorong para politisi bersaing dengan segala cara untuk memikat rakyat agar memilih mereka. Salah satu caranya adalah dengan menebar banyak janji, terlepas apakah nanti bisa diwujudkan atau tidak. Janji-janji palsu itu aman-aman saja dilakukan sebab tidak bisa disentuh secara hukum selama janji-janji politik itu tidak diatur atau dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, dalam berbagai kasus hal-hal palsu, penanganan oleh aparat terkesan lambat dan tidak tuntas.
Haram Mengobral Janji-Janji Politik Palsu
Di antara banyak hal palsu yang terjadi, mungkin yang paling banyak adalah janji-janji politik palsu dari para politisi, pemimpin dan penguasa. Dikatakan palsu karena janji-janji politik itu hanyalah janji gombal, jauh dari kata ditepati. Janji-janji itu hanya dipakai untuk menarik dukungan dan memikat rakyat terutama saat kampanye.
Janji-janji politik palsu yang begitu mudah ditebar merupakan konsekuensi dari sistem demokrasi yang meniscayakan pemilihan politisi dan penguasa secara langsung oleh rakyat secara berkala. Keinginan agar dipilih rakyat membuat para politisi dan calon penguasa mudah sekali menebar janji-janji politik palsu.
Janji-janji palsu itu begitu mudah diobral juga karena dalam sistem demokrasi sang penebar janji hampir tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Dalam sistem yang diterapkan sekarang, penebar janji-janji politik itu tidak bisa dimintai pertanggungjawaban selama tidak dituangkan atau diatur dalam UU. Itu artinya, penebar janji-janji politik palsu tidak akan bisa disentuh oleh hukum.
Satu-satunya mekanisme pertanggungjawabannya adalah saat kampanye berikutnya. Jika rakyat merasa ditipu oleh janji-janji politik itu maka yang bisa dilakukan oleh rakyat dalam sistem demokrasi itu hanya satu, yaitu tidak memilih politisi atau pemimpin itu lagi. Namun kenyataannya, meski masyarakat sudah tahu banyak sekali janji-janji politik yang diobral saat Pemilu tak ditepati, nyatanya para politisi dan penguasa itu tetap terpilih kembali.
Padahal dalam pandangan Islam, ingkar janji dan berkata bohong adalah haram dan termasuk di antara perbuatan munafik. Rasul saw. pernah bersabda:
«آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ»
Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara, bohong; jika berjanji, ingkar; jika diberi amanah, berkhianat (HR al-Bukhari dan Muslim).
Janji-janji yang tidak ditepati itu pada akhirnya lebih dekat pada sebuah kebohongan. Pasalnya, sedari awal, berdasarkan apa yang selama ini terjadi, sudah bisa diduga bahwa janji-janji itu tidak akan ditepati atau sangat sedikit yang ditepati. Kenyataan seperti itu lebih dekat pada gambaran pemimpin yang menipu rakyat yang tidak akan masuk surga. Rasulullah saw. bersabda:
« مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ »
Tidaklah seorang hamba yang diserahi Allah untuk mengurus rakyat mati pada hari kematiannya, sementara dia menipu rakyat, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga (HR Muslim).
Janji-janji politik yang diobral itu biasanya berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan rakyat, pemenuhan berbagai kebutuhan mereka dan realisasi berbagai pelayanan terhadap mereka. Artinya, janji-janji itu adalah janji-janji yang terkait ri’ayah (pengurusan dan pelayanan rakyat). Jika janji-janji ri’ayah itu hanya diobral oleh para politisi dan penguasa tanpa upaya keras untuk direalisaikan, maka bisa dikatakan mereka bukanlah politisi sejati dalam pandangan Islam. Pasalnya, dalam Islam, politik (as-siyasah) adalah pemeliharaan berbagai urusan umat (ri’ayah syu’un al-ummah). Politisi sejati dalam pandangan Islam adalah mereka yang benar-benar menunaikan ri’ayah terhadap berbagai urusan umat sesuai petunjuk dan syariah Islam.
Pemimpin Pembohong Harus Ditolak
Rasulullah saw. memberitahukan bahwa suka berbohong itu merupakan bagian dari ciri para pemimpin yang bodoh. Rasulullah saw. pun melarang untuk membenarkan kebohongan mereka dan membantu mereka dalam kezaliman mereka. Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Kaab bin Ujrah:
«أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ» ، قَالَ: وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ؟ قَالَ: «أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي، لاَ يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي، وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ، وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي، وَلَسْتُ مِنْهُمْ، وَلاَ يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ، وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ، فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ، وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي»
“Aku meminta perlindungan kepada Allah untuk kamu dari kepemimpinan (pemimpin) yang bodoh.” Kaab bertanya, “Apa kepemimpinan yang bodoh itu?” Beliau bersabda, “Para pemimpin yang ada setelah aku. Mereka tidak mengikuti petunjukku dan tidak mencontoh sunnahku. Siapa yang membenarkan kebohongan mereka dan menolong mereka atas kezaliman mereka, maka mereka bukan golonganku dan aku bukan golongan mereka, dan mereka tidak ikut aku di telaga. Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak menolong mereka atas kezaliman mereka maka mereka termasuk golonganku dan aku bagian dari golongan mereka dan mereka akan ikut aku di telaga.” (HR Ahmad, Ibn Hibban dan al-Hakim).
Wahai Kaum Muslim:
Selama sistem demokrasi terus diterapkan dan dipertahankan maka para politisi dan penguasa yang suka obral janji akan terus mendominasi. Pasalnya, obral janji itu menjadi konsekuensi dan ciri dari pelaksanaan sistem demokrasi.
Politisi Islam sejati yang tidak suka obral janji dan berkomitmen untuk menunaikan tanggung jawab politiknya, yakni mengurus urusan umat (ri’ayah syu’un al-ummah), hanya akan terwujud dalam sistem Islam. Dalam sistem Islam, ri’ayah adalah tuntutan syariah. Dengan itu maka kehidupan rakyat akan senantiasa mendapat limpahan berkah. Namun, semua itu tidak akan pernah terwujud kecuali umat Islam melakukan langkah-langkah nyata untuk meninggalkan sistem demokrasi dan menegakkan sistem Islam yang menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam sistem Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Menerapkan syariah secara kaffah itu adalah wujud nyata dari iman dan takwa, sementara iman dan takwa adalah prasyarat bagi kita untuk mendapatkan limpahkan berkah dari Allah SWT. Allah SWT berfirman:
]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ[
Jika saja penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (TQS al-A’raf [7]: 96).
WalLah a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
DPR mengajukan permintaan dana aspirasi daerah pemilihan (dapil) sebesar Rp 20 miliar per anggota dalam rancangan APBN 2016. Dengan total 560 anggota DPR, itu berarti ada total Rp 11,2 triliun dari APBN 2016 yang ditujukan bagi dana aspirasi jika anggaran itu disetujui (DetikNews, 9/6/2015).
- Jangan sampai dana sebesar itu dijadikan ajang korupsi baru secara kolektif.
- Jangan pula dana sebesar itu digunakan oleh para wakil rakyat untuk sekadar memikat rakyat agar mereka terus terpilih, sebab mereka akan bisa mengklaim telah berbuat banyak membangun dapil mereka. Ironisnya, semua itu dibiayai dengan uang rakyat, tetapi untuk “mengelabuhi” rakyat.
ijin copas subhanallah sangat membantu