Luthfi Afandi, SH, MH
(Humas HTI Jabar)
Dunia itu tempat persinggahan sementara. Yang namanya sementara tentu tidak lama, jauh dari keabadian, rata-rata hanya 60-70 tahun. Tetapi, yang namanya umur, tentu tidak matematis, yang lebih tua umurnya belum tentu meninggal lebih dulu. Saya banyak diingatkan oleh rekan-rekan saya, yang meninggal di usia belum genap 40 tahun.
Kematian bukanlah disebabkan karena faktor usia, karena tidak semua orang yang meninggal pada usia tua. Berapa banyak yang justru meninggal ketika remaja bahkan balita. Kematian juga bukan disebabkan karena penyakit, karena yang terlihat sehat pun jika waktunya tiba, ya selesai lah sudah. Kematian pun tidak disebabkan karena kecelakaan, semisal tabrakan, karena tidak sedikit orang yang meninggal justru di atas dipan. Jika demikian, apa yang menjadi sebab kematian? Ya, sebab kematian hanya satu hal, yakni karena ajalnya sudah tiba alias ‘kontraknya’ sudah selesai. Itu saja.
Orang yang meyakini kematian itu datang karena penyakit, sudah berumur lanjut atau karena kecelakaan, maka hanya akan membuat dia waspada pada saat sakit saja, ketika naik kendaraan saja atau ketika sudah berumur lanjut saja. Berbeda halnya dengan orang yang meyakini bahwa kematian datangnya karena ajal, tentu akan membuat dia senantiasa waspada dimanapun dan kapanpun. Waspada bahwa kematian bisa datang kapan saja dan dimana saja.
Orang yang waspada tentu akan berbuah kehati-hatian. Hati-hati kalau apa yang dia lakukan dilarang Allah. Hati-hati kalau ucapannya menyakiti hati orang lain. Hati-hati dari rezeki yang haram. Hati-hati jika hartanya tidak berkah. Hati-hati dalam mendidik anak. Hati-hati jika ada harta orang lain yang termakan. Dan ribuan “hati-hati” yang lain. Jika seseorang selalu waspada dan berhati-hati dalam bertindak, maka akan mendorong dia hidup dalam ketaatan. Jika seseorang hidup senantiasa dalam ketaatan, maka peluang dia meninggal dalam keadaan taat, menjadi terbuka lebar. Itulah wafat dalam keadaan husnul khatimah. Wafat dalam keadaan sujud menyembah Allah, wafat ketika menolong orang lain, wafat ketika sedang berdakwah, wafat dalam keadaan lisan basah dengan dzikir, wafat meninggalkan sedekah jariyah yang manfaat. Bukankah kematian seperti itu yang kita idamkan?
Kematian tak pernah pandang bulu. Siapapun pasti akan dihampiri dan dijemput. Tak peduli pejabat atau rakyat. Orang dhuafa atau konglomerat. Orang biasa atau yang berpengawalan ketat. Dia pun tak mengenal kompromi. Jika dia sudah datang, tak ada yang bisa menghalangi. Jika sudah tiba waktunya, tak bisa diundurkan. Pendek kata, semuanya pasti akan mengalami. Saat-saat ketika nafas mendadak sesak dan ruh keluar dari raga dengan rasa sakit yang tak tertahankan. Hingga Nabi mengatakan “Sakaratul maut itu sakitnya sama dengan tusukan tiga ratus pedang” (HR Tirmidzi).
Kematian adalah akhir kisah kehidupan manusia di dunia dan pemutus segala kenikmatan di dalamnya. Tak ada lagi kasur empuk. Tak ditemukan lagi ruangan pendingin. Tak manfaat lagi tumpukan uang dan perhiasan. Tak bisa dipakai lagi kendaraan mewah. Tak tersedia lagi makanan lezat. Tak terdengar lagi keriangan dan celoteh anak. Tak kan sudi lagi istri atau suami menemani.
Kematian itu misterius dan selalu mengintai kita. Tak bisa diduga dan diprediksi. Tapi pasti terjadi. Bisa 10 tahun lagi, 1 bulan lagi, 1 hari lagi atau bahkan bisa hari ini. Nah, karena datangnya ajal itu sangat misterius, tak bisa diduga kehadirannya, maka kita sebaiknya menambah “kewaspadaan”. Waspada kalau-kalau kematian datangnya lebih cepat dari yang kita duga, waspada jika bekal kita ternyata terlalu sedikit, sementara perjalanan akhirat pastilah panjang dan melelahkan. Kita hanya berharap wafat dalam keadaan husnul khatimah dan memiliki bekal yang berlimpah. Amiin.