Oleh: Hafidz Abdurrahman
Nabi SAW pernah bersabda, “Idza ja’a Ramadhan futihat abwab al-jannah.” [Jika Ramadhan tiba, maka berbagai pintu surga telah dibuka] [HR Muttafaq ‘Alaih]. Pintu surga itu sangat banyak. Siapa saja yang ingin dibukakan pintu surga-Nya, maka dia harus mengetuk pintu dengan amalan yang bisa membuka pintu tersebut. Ada pintu ar-Rayyan bagi orang yang berpuasa. Semakin banyak berpuasa, maka semakin kuat ketukan seseorang untuk dibukakan pintu ar-Rayyan.
Ada Bab al-Jihad bagi orang yang berjihad, maka semakin banyak berjihad, semakin kuat ketukan seseorang untuk dibukakan Bab al-Jihad [pintu jihad]. Ada Bab as-Shalat bagi orang yang ahli shalat. Semakin banyak mengerjakan shalat, maka semakin kuat ketukan seseorang untuk dibukakan Bab as-Shalat. Ada Bab as-Shadaqat bagi orang yang ahli sedekah. Semakin banyak bersedekah, maka semakin kuat ketukan seseorang untuk dibukakan Bab as-Shadaqat. Ada Bab al-Birr bagi orang yang ahli taat, termasuk menaati orang tua. Semakin kuat ketaatannya kepada orang tua, maka semakin kuat ketukan seseorang untuk dibukakan Bab al-Birr. Dan banyak lagi yang lain.
Karena itu, ketika umat Islam memahami bahwa pintu-pintu surga itu telah dibukakan oleh Allah seluas-luasnya di bulan Ramadhan, maka mereka pun mengisi berbagai aktivitas yang bisa mengetuk pintu-pintu surga-Nya. Ramadhan pun semarak dengan berbagai aktivitas ketaatan, bukan kemaksiatan. Ramadhan pun semarak dengan berbagai aktivitas ibadah, bukan senda gurau, belanja atau yang lain. Karena itu, aktivitas ketaatan inilah yang senantiasa dihidupkan oleh kaum Muslim, begitu juga ketika khilafah menjadi penjaga Islam yang amanah itu.
Di Malam Hari
Pada malam menjelang Ramadhan, saat menjelang Maghrib, kaum Muslim pun mencari hilal. Karena ini hukumnya fardhu kifayah, maka tidak harus dilakukan oleh setiap umat Islam. Karena itu, siapa saja yang menemukannya, maka akan diambil sumpahnya. Setelah dinyatakan sah, maka khalifah kaum Muslim pun berpidato menyampaikan hasil itsbat 1 Ramadhan. Pidato disampaikan dalam bahasa Arab ke seluruh penjuru dunia. Disertai pesan penting dari khalifah kepada seluruh umat Islam.
Setelah shalat Isya’, kaum Muslim pun melakukan shalat Tarawih di masjid-masjid dengan berjamaah. Di ibukota, khalifah biasanya memimpin langsung shalat tersebut. Malam itu pun menjadi malam penuh berkah. Di malam penuh berkah itu, umat Islam tidak seperti malam biasanya. Mereka pun menghidupkan malam-malamnya dengan memperbanyak dzikir, membaca Alquran dan berbagai halqah.
Setelah melewati larut malam, menjelang Subuh, mereka pun bangun untuk melakukan sunah sahur. Sahur ini pun di dalamnya mengandung banyak keberkahan, kata Nabi SAW. Karena itu, waktu sahur pun tak pernah terlewatkan begitu saja, kecuali akan mereka gunakan sebaik-baiknya. Setelah mengambil sahur secukupnya, mereka pun tidak tidur, tetapi menghidupkan malam-malamnya dengan memperbanyak dzikir, membaca Alquran dan qiyam al-lail. Sebagaimana yang dituturkan oleh Ibn ‘Umar.
Suasana malam itu pun tampak semarak. Lampu-lampu rumah-rumah mereka pun terang, suasana riuh oleh suara orang sahur, dzikir, bacaan Alquran dan qiyam al-lail pun bak kumbang. Belum lagi masjid-masjid yang tak pernah sepi dari orang beribadah.
Di Siang Hari
Tentu tak kalah semaraknya adalah siang hari mereka. Suasana ibadah tampak. Tak ada orang makan, minum, merokok dan aktivitas yang bisa membatalkan puasa tampak di publik. Meski itu dilakukan oleh orang non-Muslim atau Musafir yang tidak sedang berpuasa. Semuanya menghormati umat Islam yang sedang berpuasa. Puasa pun menjadi syiar, yang tak hanya ditampakkan oleh Muslim, tetapi juga non-Muslim. Bukan sebaliknya, orang berpuasa diminta menghormati orang yang tidak berpuasa.
Suasana di jalan-jalan, di toko-toko, di kantor-kantor dan pasar-pasar tampak teduh. Tak ada orang yang cekcok, karena mereka sedang berpuasa. Mereka berusaha sekuat tenaga menahan diri. Ketika ada yang mencoba melakukan provokasi, mereka pun mengatakan, “Maaf, saya sedang berpuasa.” Semangat, kesadaran dan kebiasaan memberi tampak begitu menonjol di bulan Ramadhan ini. Sebaliknya, semangat, kesadaran dan kebiasaan mengalah, memaafkan pun tampak.
Masjid-masjid pun mulai padat begitu menjelang adzan. Begitu adzan dikumandangkan, kaum Muslim berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan shalat Dzuhur berjamaah. Mereka memulainya dengan shalat Tahiyyat Masjid, Qabliyah, shalat Dzuhur, lalu dilanjutkan dengan shalat ba’diyah. Setelah itu, waktu mereka pun mereka isi dengan dzikir, membaca Alquran dan aktivitas ketaatan yang lainya.
Suasana serupa juga tampak menjelang Ashar. Begitu adzan dikumandangkan, kaum Muslim berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan shalat Ashar berjamaah. Mereka memulainya dengan shalat Tahiyyat Masjid, Qabliyah, shalat Ashar. Setelah itu, waktu mereka pun mereka isi dengan dzikir, membaca Alquran dan aktivitas ketaatan yang lainya. Begitulah suasana siang hari mereka.
Kaum Muslim pun tak membiarkan waktu buka, kecuali untuk berlomba memberikan sedekah kepada kaum Muslim yang lain, yang hendak berbuka. Suasana masjid-masjid pun tampak semarak dengan orang-orang yang memberikan ta’jil. Pada waktu yang sama, pemandangan orang-orang yang menunggu berbuka pun mulai tampak menjelang Maghrib tiba. Begitu adzan Maghrib dikumandangkan, perasaan senang, suka dan bahagia pun tampak menghiasi muka-muka mereka.
Semarak Jihad dan Dakwah
Itu adalah pemandangan biasa yang mewarnai kehidupan umat Islam di wilayah-wilayah mereka. Nun jauh di sana, ada suasana lain, ketika kaum Muslim menjadikan Ramadhan sebagai momentum untuk meraih kemenangan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi SAW dan para sahabat saat Perang Badar, tahun 2 H dan Penaklukan Kota Makkah, tahun 8 H. Semuanya dilakukan di bulan Ramadhan.
Untuk melakukan misi tersebut, mereka pun tidak hanya menghidupkan Ramadhan dengan berperang. Tetapi, juga dengan ketaatan yang lain. Mulai dari menguatkan taqarrub mereka dengan Allah, infak, mengasah senjata, mobilisasi pasukan, latihan perang, menyiapkan logistik, kuda, unta dan sebagainya. Mereka pun berangkat saat berpuasa. Berkilo-kilo meter mereka arungi, dengan berjalan kaki dan naik unta/kuda secara bergantian.
Maka, Ramadhan pun telah diisi oleh para khalifah setelah mereka dengan berbagai penaklukan. Pada 28 Ramadhan 92 H, Thariq bin Ziyad berhasil menaklukkan Andalusia, Spanyol. Perang delapan hari itu berhasil dimenangkan oleh pasukan kaum Muslim. Setelah itu, Spanyol pun menjadi salah satu pusat peradaban Islam yang terkenal di Eropa, sampai Raja George II, Raja Inggris, Norwegia dan Swedia mengirim putrinya untuk dididik di sana.
Tanggal 6 Ramadhan 223 H, Khalifah al-Mu’tashim menaklukkan Amuriyah, untuk membalas kekurangajaran tentara Romawi terhadap seorang wanita Muslimah yang jilbabnya ditarik. Benteng Amuriyah yang angker itu pun berhasil ditaklukkan.
Perang Ain Jalut, juga sama. Tepat, 24 Ramadhan 658 H, pasukan kaum Muslim berhasil mengalahkan tentara Tatar, yang dipimpin oleh Qutuz dan pembantunya, Baibaras. Seruannya yang terkenal, “Wa Islamah!” Pada 14 Ramadhan 666 H, Antiokia juga berhasil ditaklukkan oleh Baibaras. Ketika itu, Antiokia menjadi pusat kekuatan kaum Salib.
Di 26 Ramadhan 928 H, Kota Belgrad berhasil ditaklukkan oleh Khalifah Sulaiman al-Qanuni. Mereka pun mendirikan shalat Jumat pertama di kota itu.
Itulah semarak Ramadhan di era Khilafah.