Imam Hanafi

Tentu tak ada yang tak kenal Imam Hanafi atau Abu Hanifah, seorang ulama besar sekaligus mujtahid mutlak. Ia adalah pendiri Mazhab Hanafi, salah satu mazhab terkemuka di kalangan ulama Ahlus Sunnah.

Abu Hanifah, yang juga dikenal dengan Imam Hanafi ini, dilahirkan pada tahun 80 Hijrah, bertepatan tahun 699 Masehi, di sebuah kota bernama Kufah. Nama  sebenarnya ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Maha. Ia kemudian masyhur dengan gelar Imam Hanafi. Dalam empat mazhab yang terkenal di kalangan ulama Ahlus Sunnah, hanya Imam Hanafi yang bukan orang Arab (‘Ajam). Beliau keturunan Persia.

Imam Hanafi adalah seorang yang kokoh dan kuat jiwanya. Ia selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan jalan banyak beribadah dan ber-akhlaqul karimah. Setiap harinya, selain sangat rajin menunaikan kewajiban, beliau pun jarang tidur dengan pulas meski malam hari. Setiap malam beliau selalu menunaikan shalat malam dan membaca al-Quran sampai khatam.

Imam Syaqiq al-Balkhi berkata, “Imam Abu Hanifah adalah seorang yang terhindar jauh dari perbuatan yang dilarang oleh agama. Ia adalah sepandai-pandai orang yang berilmu agama dan seorang yang banyak ibadahnya kepada Allah SWT. Ia pun amat berhati-hati dalam hukum-hukum agama.”

Imam Ibrahim bin Ikrimah berkata, “Pada masa hidupku, belum pernah aku melihat seorang alim yang amat benci kemewahan hidup, yang lebih banyak ibadahnya kepada Allah dan yang lebih pandai tentang urusan agama, selain Imam Abu Hanifah.”

Karena itulah, sebagaimana umumnya ulama salafush-shalih, Imam Abu Hanifah bukan hanya terkenal karena keilmuannya yang mumpuni hingga ia mencapai derajat mujtahid mutlak. Ia juga termasyhur karena kepribadian-nya yang sangat mulia dan agung. Berikut adalah secuil fragmen kepribadian beliau yang mulia dan agung, yang tentu layak diteladani.

*****

Suatu hari Imam Abu Hanifah pulang mengunjungi salah seorang sahabatnya yang sakit. Saat di perjalanan, ia melihat seorang laki-laki yang berusaha bersembunyi dan mencoba menghindar mencari jalan lain. “Fulan, tetaplah di jalan yang engkau lalui!” seru Imam Abu Hanifah.

Saat lelaki itu tahu bahwa Imam Abu Hanifah telah melihat dia, dia pun terlihat salah tingkah dan berhenti. Lalu Imam Abu Hanifah menghampiri dia. Mengapa engkau membatalkan untuk berjalan melalui jalan yang engkau telah lalui?” tanya Imam Abu Hanifah.

“Abu Hanifah, saya masih memiliki hutang kepada Anda 10 ribu dirham (sekitar Rp 700.000.000,-) dan dalam waktu yang cukup lama hingga saat ini aku belum melunasi utang itu. Karena itu saat saya melihat Anda, saya malu kepada Anda,” jawab lelaki tersebut.

“Mahasuci Allah. Keadaanmu sampai seperti ini. Jika engkau melihat aku, engkau bersembunyi. Jika demikian, aku telah merelakan hartaku itu untuk engkau dan engkau sekarang sudah bebas dari tanggungan utangmu kepadaku,” jawab Imam Abu Hanifah (Al-Manaqib Imam Abi Hanifah, 1/206).

Dalam peristiwa lain, suatu hari Abu Hanifah didatangi oleh seorang perempuan yang menawarkan kain sutra. “Apakah Anda berkenan membeli sutra ini?”

“Berapa harganya?” Tanya Abu Hanifah.

“Seratus dirham,” jawab perempuan itu. “Pakaian seperti ini bisa dijual lebih tinggi dari 100 dirham,” kata Abu Hanifah.

Perempuan itu akhirnya menambah 100 dirham lagi hingga menjadi 200 dirham. Abu Hanifah berkata bahwa harga barang itu masih layak dinaikan lagi. Perempuan itu pun menambah hingga 400 dirham. Namun, sekali lagi Abu Hanifah berkata, “Masih ada harga yang lebih baik dari itu?”

“Anda pasti menghina saya,” jawab perempuan itu.

“Cobalah Anda mencari seorang yang ahli dalam menaksir harga barang ini. Saya tidak ingin menzalimi Anda,” jawab Abu Hanifah.

Perempuan itu lalu mendatangkan seorang ahli menaksir harga barang. Abu Hanifah segera meminta dia untuk menaksir harga barang yang ditawarkan oleh perempuan itu. Penaksir itu kemudian menaksir barang tersebut dengan harga 500 dirham. Akhirnya, Abu Hanifah membeli kain sutra itu (Syaikh Muhammad Hasan al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar (edisi Indonesia) hlm 19, Pustaka Al-Kautsar.)

 Dalam kasus berbeda, suatu saat Imam Abu Hanifah berada di masjid untuk mengajarkan ilmu kepada para muridnya. Lalu datanglah seorang laki-laki. Ia berdiri di masjid mencaci-maki dan mencela. Imam Abu Hanifah tidak memutus pembicaraannya dan tidak pula menoleh kepada dia.

Imam Abu Hanifah kemudian pulang ke rumahnya, sedangkan si laki-laki berjalan di belakangnya sambil terus memaki. Sesampai di depan pintu rumahnya, Imam Abu Hanifah berdiri dan menghadapkan wajahnya kepada si lelaki itu. “Ini rumahku. Aku hendak masuk. Jika engkau ingin meneruskan makian dan perkataanmu, tuntaskanlah hingga tidak tersisa apa yang ada pada dirimu,” kata Imam Abu Hanifah dengan tenang kepada lelaki tersebut.

Akhirnya, malulah si lelaki karena adab Imam Abu Hanifah, “Maafkanlah saya. Berikanlah kepada saya jalan keluar.”

“Semoga Allah mengampuni engkau dan engkau sudah bebas.” (Manaqib al-Imam al-A’zham, 1/269).

Dalam peristiwa lain, suatu saat Ibunda Imam Abu Hanifah berkata, “Aku melihat darah (haid) setelah hari-hari suci hingga aku tidak tahu apakah aku harus meninggalkan shalat atau tidak. Pergilah kepada Abu Abdurrahhman Umar bin Dzurr. Lalu tanyalah dia.”

Imam Abu Hanifah pun bertanya kepada Umar bin Dzurr menuruti perintah sang Ibunda. Sesampai di hadapan Umar bin Dzurr, lelaki itu tertawa, “Anda bertanya mengenai persoalan, sedangkan kami mengambil ilmu dari Anda?!”

“Sungguh, ibuku memerintahkan aku. Beliau memiliki hak atas diriku,” jawab Imam Abu Hanifah

“Abu Hanifah, apa yang telah Anda sampaikan mengenai masalah itu?” Tanya Umar bin Dzurr.

“Aku berkata demikian, demikian,” jawab Imam Abu Hanifah.

“Pergilah dan katakanlah kepada Ibu Anda demikian, demikian,” jawab Umar bin Dzurr.

Lalu pulanglah Imam Abu Hanifah dan berkata kepada sang Ibunda dengan penuh adab, “Abu Abdurrahman Umar bin Dzurr berkata untuk Ibu demikian, demikian.” (Manaqib Imam Abi Hanifah li al-Qurdi, 2/403).

*****

Begitulah secuil kerpibadian mulia dan agung dari Imam Abu Hanifah. Semoga kita bisa mengikuti jejak keteladanannya, juga mereguk ilmunya yang luar biasa,  yang telah ia wariskan kepada kita.

Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*