Oleh: Brojo P. Laksono (Humas HTI Jawa Tengah).
Puasa Ramadhan, mendidik kita untuk taat. Beberapa hal yang dihalalkan pada hari biasa, jadi diharamkan pada saat puasa. Makan, Minum, dan Berhubungan Suami Istri, adalah halal, tetapi diharamkan ketika Puasa. Kitapun selalu taat untuk mematuhinya. Tidak terpikir oleh kita untuk melanggarnya, karena kita merasakan selalu dilihat, dikontrol oleh Allah SWT.
Ramadhan mendidik kita pada ketaatan, sesuatu yang halal kemudian diharamkan pun kita patuh. Jangan sampai kepatuhan ini, pada sisi lain kita melalaikan sesuatu yg memang hukum asalnya diharamkan. Kemaksiatan seperti mengambil harta yang bukan haknya, korupsi, suap, zina, riba, berkata kasar terhadap orang tua, menyakiti saudara, malah dilakukan, karena sepertinya dlm kehidupan serba kapitalistik liberal ini keharaman tampaknya menjadi hal yang biasa. Astaghfirullah.
Lihatlah riba sebagai contoh. Riba adalah melebihkan pengembalian dari suatu pinjaman, sepertinya biasa dan lumrah dilakukan, bahkan diformalkan oleh penguasa dalam bentuk lembaga-lembaga formal, seperti bank, perusahaan pembiayaan, pegadaian dll.
Dalam kondisi ini, kaum muslim seakan lengah dan lalai, dan sepertinya lupa bahwa jika turun ketetapan dari Allah tidak ada kata lain kecuali “Sami’na wa Atha’na”, kami dengar dan kami patuh. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :
ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَـٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍۢ مِّن رُّسُلِهِۦ ۚ وَقَالُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ ٱلْمَصِيرُ ﴿٢٨٥﴾
Rasul Telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (mereka berdoa): “Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (TQS Al Baqarah: 285)
Begitulah karakter orang beriman, jika diseru dengan hukum Allah, jawabannya hanya Sami’na wa Atha’na, tidak ada yg lain. Orang beriman selalu di depan dalam melaksanakan hukum syara’. Orang beriman tidak akan mengatakan Sami’na wa ashoiyna (kami dengar dan kami menolaknya). Itu jelas bukan karakter orang beriman.
Ketika orang masih bergelimang riba diseru untuk menghentikannya, tapi dia mengatakan akan memikirkanya dulu karena berbagai alasan, maka itu bukan karakter orang beriman. Marilah ingat ketika Allah berfirman dalam surah Yaasiin.
ٱلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰٓ أَفْوَٰهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ ﴿٦٥﴾
Pada hari Ini kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan. (TQS Yaasiin:65).
Siapkah kita ? Apakah kita sudah memiliki karakter sebagai orang yang beriman ? jawabannya ada dalam muhasabah kita masing-masing.