Beberapa hari setelah gelombang panas di Pakistan merenggut sekitar 1.300 nyawa manusia, banyak orang masih heran mengapa jumlah korban di kota Karachi luar biasa tinggi.
Selama 25 tahun bekerja mengangkut jenazah untuk sebuah lembaga amal, Mohammed Bilal tidak pernah melihat jumlah korban yang sangat tinggi karena cuaca panas.
“Mayat-mayat mereka terus berdatangan dari seluruh kota,” katanya kepada wartawan BBC, Shahzeb Jillani.
Bilal bertugas menangani kantor pusat Edhi Foundation di distrik perdagangan Karachi dekat pelabuhan laut utama kota itu.
Didirikan oleh Abdul Sattar Edhi, lembaga internasional itu telah memberikan pelayanan kesejahteraan sosial selama beberapa dekade di Pakistan dan sekitarnya.
Di kota berpenduduk 20 juta orang, jasa ambulans Edhi biasanya mengangkut 40 hingga 50 jenazah per hari. Selama masa kekerasan di sana, angka-angka itu naik seiring meningkatnya jumlah penembakan dan pembunuhan.
Peringatan pertama
Namun Bilal tidak ingat pernah menangani korban jiwa akibat gelombang panas dalam jumlah setinggi itu.
“Pada Minggu, 21 Juni, kami merupakan yang pertama memberikan peringatan setelah korban jiwa mulai berdatangan di kamar jenazah kami,” ingatnya.
Kamar mayat Edhi di Karachi diyakini yang terbesar di kota itu, dengan daya tampung sebanyak 100 hingga 150 jenazah. Namun mereka saja tidak bisa menangani jumlah korban.
“Dalam waktu delapan hari, kami menerima 900 jasad,” kata Bilal. ”Kami harus menolak begitu banyak keluarga. Area pemakaman juga kehabisan tempat untuk mengubur jasad.”
Ketika jumlah korban gelombang panas mencapai puncak, sebanyak 260 tubuh tidak teridentifikasi. Pihak berwenang yakin mereka adalah merupakan tuna wisma yang tidur di jalanan atau pecandu narkoba. Tubuh-tubuh yang tidak diklaim dan tidak memiliki nama itu kemudian dikubur oleh lembaga amal tersebut di pemakaman Edhi.
Namun pertanyaan yang belum terjawab ialah, mengapa korban paling banyak muncul di Karachi? Padahal suhu di atas 40 derajat celsius mempengaruhi sebagian besar Provinsi Sindh dan Balochistan.
Apakah karena itu terjadi pada bulan Ramadan ketika banyak penduduk berpuasa? Atau apakah karena pemutusan listrik yang berkepanjangan dan kelangkaan air yang memperburuk keadaan? Pihak-pihak lain pun menuduh polusi dan perubahan iklim sebagai alasan utama cuaca ekstrem tersebut.
Gabungan semua faktor
Jawabannya tidak sepenuhnya jelas. Pihak berwenang berkeras bahwa efek gabungan semua faktor itulah yang menyebabkan timbulnya ratusan korban.
Yang paling parah terpengaruh adalah mereka yang lemah dan rentan, sejumlah besar di antaranya orang lanjut usia dan banyak dari mereka dalam kondisi tidak sehat.
“Saya pernah melalui banyak musim panas di Karachi, namun musim ini membawa panas mencekik yang belum pernah saya alami sebelumnya,” kata Shareef Ali, seorang penduduk berusia 65 tahun dari kawasan berpenghasilan rendah di Baldia Town, yang istrinya menjadi korban gelombang panas.
“Saat itu sulit untuk bernapas, seperti udara tidak mengandung oksigen.”
Yang jelas adalah kebanyakan orang, termasuk pihak berwenang, tidak menyadari efek mematikan gelombang panas itu. Departemen meteorologi Pakistan dikecam karena gagal memprediksi bencana itu atau mengeluarkan peringatan.
Tim medis di sejumlah rumah sakit pemerintah kewalahan dan kesulitan menanganinya.
“Kami biasa melihat kekacauan, namun skala musibah ini terlalu besar,” kata Dr Seemi Jamali, yang berada di garis depan penanganan krisis di Rumah Sakit Jinnah di Karachi.
Dengan ribuan warga marah dan putus asa di luar rumah sakit itu, situasi bisa berubah menjadi ganas, katanya.
“Bila militer tidak datang membantu memulihkan keadaan, kami tidak mungkin bisa membantu ribuan pasien gelombang panas.”
Kecam pemprov
Para pengkritik mengecam pemerintahan Provinsi Sindh, yang dipimpin oleh partai pimpinan mantan presiden Asif Ali Zardari, PPP, karena bergerak terlalu lamban menangani penderitaan masyarakat.
Sementara ratusan orang meninggal di Karachi, Zardari dan anggota-anggota keluarganya yang berkuasa memilih terbang meninggalkan negara itu. Pemerintah dianggap tidak merespons tragedi yang berlangsung.
Hanya setelah seminggu kemudian putra Zardari dan anggota dewan PPP, Bilawal Bhutto-Zardari, kembali ke Karachi dan mengunjungi pasien gelombang panas di salah satu rumah sakit pemerintah.
Pada saat itu setidaknya 1.200 orang sudah meninggal di kota terbesar Pakistan.
Bhutto-Zardari dan pejabat-pejabatnya tidak menjelaskan respons lambat mereka terhadap krisis itu. Malah mereka menyalahkan kematian itu kepada pemerintahan pusat dan kepada pemutusan listrik yang dilakukan perusahaan listrik swasta Karachi, K-Electric.
Upaya-upaya politisi Pakistan untuk menangkis kritikan dan saling menuduh satu dengan lain memberikan kesan buruk.
Seorang pengamat Pakistan senior, Zahid Hussain, mengatakan: “Lebih dari sengitnya cuaca panas, sikap tidak peduli pemerintahan provinsi lah yang bertanggung jawab atas kematian dan penderitaan di Karachi.” (bbc, 3/7/2015)