Penyerangan terhadap muslim di Tolikara sepertinya akan menemui ‘happy ending’. Setidaknya itu yang ditampakkan di media massa. Sejumlah tokoh masyarakat dan pemuka agama baik di Tolikara maupun di luar Tolikara tampak saling duduk bersama, berjabat tangan dan berangkulan. Ujungnya deklarasi bersama untuk menjaga kerukunan umat beragama.
Selesaikah? Seharusnya belum. Umat harus memahami bahwa akar persoalan yang terjadi di tanah Papua, khususnya yang dialami kaum muslimin belum diselesaikan. Ada sejumlah hal yang mendesak untuk segera diselesaikan dalam konflik Tolikara; Pertama, wajib diselidiki dan ditindak pihak yang mengeluarkan perda pembatasan ibadah di wilayah tersebut. Sudah berlaku lama di Tolikara bahwa rumah ibadah yang boleh dibangun hanyalah gereja yang berafilial ke GIDI (Gereja Injil Di Indonesia).
Hal ini dibenarkan oleh Ketua GIDI Papua Lipiyus Biniluk adanya peraturan daerah (Perda) mengenai pembatasan pembangunan tempat ibadah di Tolikara. Lipiyus mengungkap, keberadaan Perda ini didasari dengan adanya otonomi khusus Papua. Perda ini juga disetujui oleh Bupati Usman Wanimbo yang juga anggota GIDI.
Lipiyus berdalih bila otonomi khusus Papua ini akan dievaluasi seharusnya semua perda serupa juga dievaluasi. Kelihatan bahwa ia membela diri dengan adanya sejumlah perda syariah yang berlaku di sejumlah daerah di tanah air. Menurutnya hal itu tidak adil bagi warga non-muslim.
Adanya perda ini jelas kebijakan diskriminatif dari pihak GIDI terhadap warga non-GIDI, apalagi kepada kaum muslimin. Karena selain terdapat larangan membangun rumah ibadah, larangan mengadakan hari raya keagamaan, juga terdapat larangan berbusana muslimah di daerah Tolikara.
Bila pihak GIDI berdalih dengan bermunculannya perda-perda syariah di tanah air, sebetulnya logika yang ia gunakan amat dangkal. Pada faktanya perda syariah yang berlaku di sejumlah daerah di Nusantara, sama sekali tidak bersikap diskriminatif. Sama sekali tidak ada larangan melaksanakan ibadah bagi kalangan non-muslim, larangan mendirikan rumah ibadah, larangan menggunakan pakaian keagamaan masing-masing, atau memaksa warga non-muslim mengenakan pakaian Islami. Bahkan di Nangroe Aceh Darussalam yang memberlakukan sejumlah syariat, tidak berlaku larangan beribadah bagi warga nonmuslim.
Bandingkan dengan perda Injil yang berlaku di Papua, atau di Tolikara, larangan beribadah dan mengenakan busana muslimah justru diberlakukan. Atau di Propinsi Bali misalnya berlaku larangan mengenakan busana pelajar muslimah di sekolah, atau bagi karyawati di sejumlah mall atau hotel. Maka alasan yang dikemukakan oleh pihak GIDI adalah ilusif dan sarat dengan muatan diskriminatif.
Selain itu, perda yang dikeluarkan oleh GIDI juga bermasalah secara administratif. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Soedarmo mengatakan peraturan daerah yang mengatur larangan pembangunan rumah ibadah di Tolikara telah disetujui Bupati Usman Wanimbo dan DPRD Tolikara. Namun, perda tersebut tak pernah sampai ke pemerintah pusat. Padahal, Kemendagri harus mendapat tembusan perda untuk kemudian diverifikasi. Apabila melanggar hak asasi atau bertentangan dengan Undang-Undang di atasnya, pemerintah pusat akan meminta pemerintah daerah merevisi beleid tersebut.
Kedua, kasus penyerangan terhadap muslim di Tolikara juga bukan sekedar serangan atas nama agama, tapi juga bermuatan politik dan ideologis. Pihak GIDI yang menjadi aktor politik serangan tersebut sudah lama dikenal mensponsori aktifitas separatisme di Papua. Tokoh-tokoh seperti Pendeta Dorman Wandikbo dan Pendeta Benny Giay berulangkali menyuarakan separatisme Papua dari Nusantara.
Dalam situs tabloiddjubi.com bulan Januari 2014, Pendeta Dorman Wandikbo dengan tegas menyatakan, “Papua merdeka adalah hak dasar orang Papua. Orang Papu minta merdeka bukan karena penderitaan, kelaparan dan kemiskinan, tapi mau lepas karena ideologi yang harus kita pahami.” (lihat link http://tabloidjubi.com/2014/01/30/wandikbo-kalau-bicara-hukuman-mati-apakah-perjuangan-papua-merdeka-itu-teroris/).
Apa yang dilakukan GIDI dan para tokohnya seharusnya mengingatkan umat akan peran Uskup Belo yang berhasil mendorong terpisahnya Timor Leste dari wilayah Indonesia. Sayangnya, sampai hari ini gerakan separatisme Papua tak kunjung mendapat tindakan tegas.
BNPT sampai hari ini tidak pernah memasukkan OPM sebagai kelompok teroris yang harus diperangi. Beda dengan perlakuan yang diberikan kepada sejumlah muslim yang baru terduga teroris tapi langsung mendapatkan tindakan represif bahkan dieksekusi mati tanpa penyidikan apalagi pengadilan.
Padahal kelompok OPM berkali-kali melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap warga dan kepada aparat keamanan seperti TNI dan Polri. Tapi hingga hari ini kelompok separatis bersenjata ini tak juga dikategorikan sebagai kelompok teroris yang berbahaya oleh BNPT.
Lunaknya sikap pemerintah terhadap OPM dan para pendukungnya tidak lepas dari besarnya tekanan asing terhadap Indonesia. Negara-negara Barat seperti khususnya Amerika Serikat menjadikan Papua sebagai pusaran politik luar negeri mereka untuk menekan Indonesia .
Belum lagi perusahaan tambang rakus Freeport McMoran yang sudah beroperasi sejak jaman Orde Lama selalu mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah. Betapapun ngeyelnya mereka kepada negeri ini selalu untouchable.
Diduga kuat kelompok separatis OPM mendapat sokongan dari negara-negara Barat tersebut. Ini terlihat dalam setiap propagandanya, tak sedikitpun mereka menyerang kebijakan negara-negara Barat, khususnya AS yang telah memiskinkan wilayah mereka. Tetapi yang mereka persoalkan selalu pemerintah Indonesia. Padahal, wilayah mereka justru dibuat miskin oleh perusahaan tambang asal AS yang leluasa beroperasi karena tekanan negara asalnya terhadap pemerintah Indonesia.
Ending yang kini nyaris ditemui di atas meja perundingan, kita khawatirkan hanya berlangsung di atas permukaan dan sesaat saja. Karena tekanan dan intimidasi terhadap muslim yang minoritas belum tentu sirna selama spirit diskriminatif dan separatisme masih dianut oleh GIDI dan kelompok-kelompok Kristen di wilayah Papua.
Harus ada solusi tuntas untuk persoalan keagamaan, sosial, ekonomi dan politik di tanah Papua. Sayangnya selama Indonesia belum lepas dari cengkraman neoliberalisme dan neoimperialisme, persoalan itu bukannya selesai malah akan membara. Satu-satunya jalan adalah membebaskan negeri ini dari neoliberalisme dan neoimperialisme. [IJ – LS DPP HTI]