Direktur Eksekutif CORE Indonesia Hendri Saparini menuturkan, rasio pembayaran utang RI terhadap penerimaan transaksi berjalan atau debt to service ratio (DSR) mengkhawatirkan.
“Kalau kita dikatakan dalam batas aman, semestinya enggak ya. Karena DSR kita sudah di atas 50 persen. Dan menurut saya, yang paling mengkhawatirkan adalah prospek kita di dalam membiayai utang,” kata Hendri dalam diskusi bertajuk “Managing Economic Slowdown”, pada Selasa (28/7/2015).
Prospek RI dalam membiayai utang dinilai mengkhawatirkan lantaran proyeksi ekspor ke depan terlihat belum ada perbaikan. Hendri menjelaskan, hal tersebut dikarenakan sebanyak 70 persen ekspor RI merupakan ekspor komoditas primer. Padahal, hingga saat ini harga komoditas dunia belum pulih.
Lebih lanjut Hendri menuturkan, kalaupun ekonomi global membaik di tahun depan, masih ada jeda waktu untuk Indonesia bisa menikmati ekspor komoditas primer. “Karena yang kita ekspor bukanlah komoditas jadi, tapi komoditas bahan baku, sehingga ada time lag. Artinya kita tidak bisa langsung menikmati jika terjadi recovery perekonomian dunia,” kata Hendri.
Bank Indonesia (BI) mendata, posisi DSR pada kuartal-I 2015 sebesar 56,08 persen, naik dibanding akhir tahun lalu yang hanya 46,48 persen dan kuartal I-2014 yang hanya 42,51 persen.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, DSR naik karena ekspor Indonesia tertekan. Maklum, dasar penghitungan DSR adalah jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor.
Harga berbagai komoditi andalan Indonesia dalam tren menurun dalam tiga tahun terakhir. Bahkan, berdasarkan analisa future market BI, penurunan harga ekspor komoditi Indonesia tahun ini bisa 11 persen, lebih dalam dibanding sebelumnya yang diperkirakan 5 persen. “Ekspor tertekan dan dengan sendirinya DSR potensi meningkat,” ujar Agus. (kompas.com, 28/7/2015)