Kunjungan David Cameron Menegaskan Indonesia Akan Terus Melayani Pihak Asing
Perdana Menteri Ingggris David Cameron melakukan kunjungannya yang pertama ke luar negeri, dan menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan pertama. Tentu ada yang istimewa mengapa negara-negara Barat seperti AS dan Inggris menjadikan Indonesia sebagai negara pertama yang dikunjungi oleh pejabat penting bahkan kepala pemerintahan seperti David Cameron.
Sebagaimana dilansir media massa, PM Inggris David Cameron membawa dua agenda utama; misi perdagangan dan operasi kontra-terorisme. Kedua misi ini memiliki nilai penting bagi pemerintahan Cameron dan peran Inggris di kawasan Asia. Cameron menyertakan dalam rombongannya satu sejumlah pejabat dan 30 perusahaan Inggris ke Indonesia, seperti Airbus Group UK, Rolls-Royce, Wessington Cryogenics, EarthPort, dan Surrey Satellite Technology.
Cameron memilih Jakarta sebagai tempat pertama karena kawasan ini merupakan pusat dari ASEAN. Secara tidak langsung Cameron ining mengirimkan pesan kepada Uni Eropa bahwa nilai perdagangan dengan 10 anggota ASEAN harus ditingkatkan dan dipercepat.
Sebagaimana dilansir situs The Guardian nilai perdagangan dua blok ini akan memiliki keuntungan potensial bagi Inggris sebesar 3 miliar poundsterling pertahun – atau senilai 120 bagi setiap rumah tangga di Inggris — dengan melakukan pendekatan pada kawasan bebas perdagangan di dunia yang memiliki GDP lebih dari 20 triliun dolar. Cameron frustasi bahwa Australia, Jepang dan Cina telah lebih dulu meraup keuntungan perdagangan bebas di kawasan ASEAN.
“Lebih dari 20 tahun, 90% pertumbuhan global diharapkan datang dari luar Eropa, dan Inggris harus siap mengambil langkah lebih maju,” canang Cameron sebelum memulai kunjungannya. Ia pun memasang target untuk meningkatkan ekspor Inggris hingga 1 triliun poundsterling pertahun bagi 100 ribu lebih perusahaan eksportir Inggris pada tahun 2020, dan kawasan ASEAN adalah pasar potensial bagi para pengusaha Inggris.
Untuk itu misi dalam kunjungannya Cameron ini adalah melakukan penawaran senilai lebih dari £ 750 juta menciptakan 270 lapangan kerja baru di Inggris harus terwujud pekan ini.
Negara-negara Eropa memang harus bekerja keras menyelamatkan perekonomian mereka pasca kolapsnya perekonomian Yunani, dan mulai terlihat limbungnya perekonomian Cina. Dengan model perekonomian liberal yang saling terkoneksi keruntuhan perekonomian di satu negara berdampak luas sistem perekonomian global.
Di dalam negeri Cameron juga terus mendapat tekanan dari Partai Buruh karena dianggap lamban dalam menciptakan perekonomian yang kondusif. Oleh karena itu kunjungan kerja ke Indonesia menjadi sangat penting bagi Inggris dan pemerintahan Cameron. Di satu sisi berusaha mencari ‘daerah jajahan baru’ bagi para pengusaha mereka sekaligus membuka lapangan kerja bagi warga mereka, di sisi lain meningkatkan persaingan dengan negara-negara lain seperti Cina, Australia dan Korea Selatan.
Bila Inggris sudah demikian siap untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar dan kawasan investasi mereka, lalu apa yang Indonesia dapat dari kerjasama ekonomi mereka dengan Inggris?
Bila tawaran yang dibawa Cameron diterima begitu saja sepintas akan meningkatkan perekonomian di tanah air; investasi meningkat, lapangan kerja terbuka, roda perekonomian bergulir. Akan tetapi bukan kaum pribumi yang menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Seperti yang sudah-sudah, rakyat hanya menjadi pekerja dan konsumen belaka. Sungguh tidak sepadan dengan keuntungan yang bakal dikeruk pemerintah Inggris.
Sebagai contoh, dengan alasan untuk meningkatkan devisa dari sektor pariwisata, pemerintah Indonesia membebaskan visa ke sejumlah kawasan di tanah air bagi turis asal Inggris, namun yang sebaliknya justru tidak diberikan pemerintah Inggris kepada warga Indonesia yang berkunjung ke Inggris.
Inggris juga mendapat keuntungan dengan akan diberlakukannya pasar bebas ASEAN, akan tetapi Indonesia masih kesulitan untuk mendapatkan keringanan bea masuk bagi produk ekspor ke Inggris. Dalam pertemuan kemarin Presiden Jokowi kembali meminta Cameron untuk memberikan keringanan bagi sejumlah produk ekspor RI seperti perikanan, kopi, dll.
Misi lain yang diusung Cameron adalah program kontra-terorisme. Untuk itu Cameron membuang rasa malunya dengan memuji-muji keberhasilan Indonesia dalam menangani kelompok ekstrimis. Bahkan mereka mengatakan ingin belajar kepada Indonesia tentang hal itu. Padahal Inggris adalah pelopor perang melawan terorisme (baca: Islam) bersama Amerika Serikat.
Inggris mengirim pasukan bersama AS untuk membunuhi jutaan warga muslim di Irak, Afghanistan dan Pakistan, yang belum tentu bersalah dengan dalih memerangi kaum ekstrimis. Di dalam negeri Inggris membuat kebijakan memata-matai warga muslim dengan dalih mencegah aksi terorisme.
Pujian Inggris kepada pemerintah Indonesia sekedar jilatan agar Indonesia terus mendukung kebijakan kontra-terorisme terhadap umat Muslim. Sambil mereka pura-pura lupa bahwa merekalah yang telah menciptakan teror besar bagi jutaan muslim di kawasan Timur Tengah. Inggrislah negara yang menjadi bidan kelahiran Israel yang menyebabkan jutaan warga Palestina terusir untuk kemudian mengalami pembantaian demi pembantaian. Inggris juga berdiam diri atas setiap aksi brutal yang dilakukan militer Israel terhadap warga Palestina. Tapi sekarang mereka berdiri sebagai polisi pemberantas teroris, padahal merekalah otak dari terorisme tersebut.
Pujian itu juga menunjukkan hipokritnya pemerintah Cameron terhadap operasi kontra-terorisme. Pujian itu diberikan justru ketika umat Muslim di Indonesia masih trauma dengan serangan kaum separatis radikal Kristen Tolikara Papua terhadap warga muslim yang tengah melaksanakan shalat Ied. Namun Cameron seperti menutup mata akan peristiwa tersebut. Ia tak menyebut aksi tersebut sebagai tindakan ekstrimisme apalagi teror. Karena bagi Cameron dan para pemimpin Barat, juga para agen-agen mereka, hanya kaum muslimin-lah yang layak dilabeli ekstrimis dan teroris. Selain itu tidak sebrutal apapun tindakan mereka.
Inilah realita pemerintah Inggris dan David Cameron yang semestinya dipahami oleh kaum muslimin di tanah air. Mereka datang bukan untuk mengulurkan bantuan, tapi untuk mengunci posisi Indonesia agar tetap menjadi pelayan mereka. [IJ – LS DPP HTI]