Satu tahun sejak IS mengambil alih Mosul dan petak-petak besar wilayah di Suriah dan Irak dan meskipun Operasi Resolve Inherent yang dipimpin AS telah dilakukan selama sembilan bulan untuk mengalahkannya, IS tetap berdiri, dan berkembang.
Analis politik dan militer yang diwawancarai Al Jazeera, memberikan penilaian yang lebih nyata dari kapasitas IS di Suriah dan Irak di belakang sensasi mesin propaganda kelompok itu dan ketakutan Barat bahwa IS akan mengambil alih Irak dan Suriah.
Samer Abboud, Asisten Profesor Sejarah dan Studi Internasional, Arcadia University mengatakan suatu penilaian yang lebih realistis. Sejauh ini, IS belum mampu membuat kemajuan militer di Idlib, Hama, Homs, Aleppo, dan Damaskus karena kelemahan militernya sendiri dan kekuatan terbatas dari pasukan rezim dan pejuang yang mengendalikan wilayah-wilayah itu. Berikut adalah beberapa poin penting.
- IS tidak mampu menghadapi kekuatan militer rezim Suriah. Rezim Suriah walaupun lemah tapi tidak menghadapi kekuatan militer yang setara atau kohesif yang mampu mengalahkannya secara militer, apalagi yang dapat memaksakan solusi politik yang bisa dinegosiasikan. Meskipun pasukan rezim dan milisi sekutunya telah mundur di beberapa wilayah, mereka tetap relatif kuat dibandingkan dengan kelompok-kelompok bersenjata dan berada dalam kendali koridor transportasi utama sambil terus melakukan serangan udara.
- IS hanyalah salah satu dari banyak kelompok bersenjata di teritorial Suriah. Namun, mereka bukan kelompok bersenjata paling kuat secara militer dan juga tidak mengontrol pusat-pusat wilayah dengan penduduk yang besar. Fragmentasi Suriah menjadi kantong-kantong kecil mencerminkan perimbangan kekuatan militer antara berbagai kelompok bersenjata. Sementara IS dan lain-lain muncul untuk mengontrol wilayah besar negara Suriah, wilayah utama di dalam dan di sekitar kota tetap sangat berlawanan dengan front pertempuran yang terus berubah dan tidak ada satu kelompok yang muncul lebih kuat dari yang lain. Sementara itu, Jabhah al-Nusra sudah mulai mengkonsolidasikan kekuatan teritorial di barat laut. Unit Perlindungan Rakyat Kurdi [YPG] juga telah terbukti secara militer berhasil dalam pertempuran langsung melawan pasukan IS di utara dan timur laut Suriah.
- Kemampuannya untuk mempertahankan keadaan ‘suci’ sebuah ‘negara’ atau bahkan kemenangan dalam perang masih sangat diragukan. IS tidak punya angkatan bersenjata yang terbaik di darat, tidak punya angkatan udara, angkatan laut dan tidak memiliki keunggulan kuantitatif terhadap lawan baik di Irak maupun di Suriah. Namun, hanya para pejuang yang berani, sering bertindak kejam, dan menggunakan taktik perang cepat. Pembom bunuh diri IS biasanya membuka serangan dengan memukul target utama dengan menanamkan rasa takut dan melanggar pertahanan musuh, membuka koridor bagi para pejuang untuk bergerak cepat dan mengepung lawan mereka dan kemudian memeras mereka. IS telah mencetak kemenangan di Irak dan Suriah karena pejuangnya belum menghadapi lawan yang layak dalam lingkungan non-sektarian seperti yang terjadi ketika melawan pejuang Kurdi di Kobane.
- IS telah menunjukkan tidak punya keinginan untuk mengubah dirinya dari pemberontakan Sunni nasionalis. IS telah memerintah wilayah Sunni yang luas sejak Juni lalu. Kelompok ini bersikap keras, berpikiran sempit dan tidak toleran terhadap perbedaan pendapat. Jutaan Sunni telah meninggalkan rumah-rumah mereka dan menolak untuk kembali. Yang lainnya mengangkat senjata untuk melawan IS atas nama nasionalisme Irak. Kekacauan internal dan konflik sektarian di Suriah dan Irak merupakan lingkungan yang ideal bagi IS untuk berkembang dan membangun akar ideologi, politik, dan agama.
- Kemenangan IS bukan kemenangan militer yang cerdik dan berasal dari dirinya sendiri, melainkan merupakan hasil alami dari konflik politik di Irak dan Suriah. Mengingat lingkungan sektarian di wilayah itu, Sunni secara alami akan memilih untuk berpihak pada IS. Akibatnya, kelompok itu menemukan lingkungan reseptif di daerah Sunni Irak yang akan membuat upaya untuk mengalahkannya sangat sulit. Mengingat faktor-faktor ini, dan selama tidak ada kesepakatan internasional atau regional di meja yang akan mengakhiri konflik internal di Suriah dan Irak, kondisi di lapangan akan terus memberikan IS keuntungan dan manuver bahkan jika tidak dapat memperluas kehadirannya luar daerah Sunni tradisional.Sementara itu, situasi di Suriah sama rumitnya. AS tidak memiliki mitra dimana mereka bergantung dengan cara yang sama seperti yang telah dilakukan di Irak. Pilihan AS di Suriah adalah antara rezim Suriah dan IS, atau kelompok Islam lainnya seperti Jabhah Al-Nusra, yang semuanya dianggap AS sebagai organisasi teroris.
- Keberadaan IS tunduk pada kondisi politik dan regional yang berubah. Ketergantungan ini membuat keberadaannya menjadi sementara dan tidak permanen.Selain itu, ketergantungan yang berlebihan dari pemerintah Irak dan Suriah pada milisi Syiah yang didukung Iran untuk melawan IS telah memungkinkan kelompok untuk mendapatkan dukungan dan simpati dari banyak anak muda Sunni dari dalam dan luar medan perang.
- Perbedaan strategi dan tujuan perang melawan IS antara Washington dan anggota koalisi internasional dan Arab di satu sisi, dan Baghdad dan Teheran di sisi lain, telah mempengaruhi operasi koalisi, dan membuat kampanye militer mereka tidak efektif. (rz)Sumber : Al Jazeera; 18/6/2015