Bisakah Hukum Bughât Diterapkan Saat Ini?

Soal:

Bagaimana sesungguhnya fakta “bughat” dalam khazanah fikih Islam? Bisakah fakta tersebut diberlakukan kepada siapa saja yang dianggap menentang penguasa Muslim?

Jawab:

Dalam kitab-kitab fikih “bughat” didefinisikan:

خُرُوْجُ جَمَاعَةٍ مِنَ المُسْلِمِيْنَ لَهَا مَنَعَةٌ وَقَوَّةٌ عَلَى أَمِيْرِ المُؤْمِنِيْنَ تُرِيْدُ خَلْعُهُ

Keluarnya jamaah kaum Muslim yang mempunyai kekuatan dan kemampuan bertahan untuk melawan Amir Mukminin (Khalifah) yang bertujuan untuk menggulingkannya. 1

Dari definisi ini bisa ditarik kesimpulan, bahwa tidak semua orang yang membangkang terhadap penguasa Muslim bisa disebut “bughat”. Karena itu para fuqaha’ menetapkan sejumlah persyaratan agar orang yang membangkang terhadap penguasa Muslim itu bisa disebut “bughat”. Pertama: Mereka harus Muslim. Jika mereka bukan Muslim, misalnya Ahli Dzimmah, kemudian mereka membangkang, atau terlibat dengan kaum Muslim dalam melakukan pembangkangan, maka dzimmah mereka batal. Dengan batalnya dzimmah mereka, maka status mereka berubah, dari Ahli Dzimmah menjadi Ahl al-Harb. Darah dan hartnya pun halal bagi kaum Muslim.

Kedua: Mereka harus mempunyai argumentasi yang bisa diterima, apapun bentuknya. Namun, argumentasi tersebut tidak bersifat qath’i, bahwa Amir Mukminin (Khalifah) memang tidak layak memimpin kaum Muslim.

Ketiga: Mereka mempunyai kekuatan yang bisa digunakan untuk melebarkan kekuasaan mereka di suatu negeri, kampung atau kawasan.

Keempat: Mereka mempunyai kepemimpinan yang bisa diajak berunding. Jika mereka tidak mempunyai pemimpin yang bisa diajak berunding, maka status mereka adalah pemberontak yang melakukan kerusakan di muka bumi.

Kelima: Amir Mukminin (Khalifah) yang hendak dibangkang adalah Muslim yang telah dibaiat oleh rakyat untuk menjadi Amir Mukminin (Khalifah) dan umat Islam pun sepakat dengan itu.2

Ibn Qudamah menjelaskan, mengapa syarat “bughat” harus Muslim? Mengapa pula status “bughat”-nya tidak mengeluarkannya dari Islam? Jawabannya, karena hukum asal pembahasan “bughat” diambil dari firman Allah SWT:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا، فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى فَقَاتِلُوْا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتَّى تَفِيْءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ

Jika ada dua kelompok orang Mukmin saling berperang maka damaikanlah mereka. Jika salah satunya telah membangkang terhadap yang lain maka perangilah yang membangkang hingga kembali pada perintah Allah (QS al-Hujurat [49]: 9].

Dengan tegas Allah menyebutkan, “Wa in thâ’ifatâni min al-Mu’minîn (Jika ada dua kelompok orang Mukmin saling berperang).” Lalu “Fa’in baghat ihdâhumâ (Jika salah satunya membangkang).”; juga “Faqâtilû al-lati tabghî (maka perangilah yang membangkang).”

Dari kata “baghat” dan “tabghî” inilah asal pembahasan “bughat” ini diambil. Meski akhirnya mereka diperangi, Allah tidak pernah menyebut mereka kafir, atau murtad. Itu artinya, status “bughat” ini masih Muslim.3

Perintah memerangi mereka memang diwajibkan jika penguasa yang dibangkang adalah Amir Mukminin (Khalifah) yang sah, yang dibaiat untuk menjalankan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw. Allah SWT berfirman:

ياَ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي الأمْرِ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah serta penguasa (Amir Mukminin) di antara kalian (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Dari Ubadah bin Shamit, “Kami telah membaiat Rasulullah saw. untuk mendengar dan taat, baik ketika susah maupun senang. Kami juga tidak akan merampas urusan tersebut dari pemiliknya.” (HR Muslim).

Baiat yang diberikan kepada Nabi saw. dalam konteks ini bukan baiat untuk kenabian dan kerasulan, tetapi baiat untuk kekuasaan. Ubadah bin Shamit membaiat Nabi saw. dalam kapasitas beliau sebagai kepala Negara Islam. Selain itu juga Ijmak Sahabat baik ketika Abu Bakar memerangi mereka yang menolak membayar zakat maupun ketika ‘Ali bin Abi Thalib menundukkan pasukan Jamal, Shiffin dan Nahrawan.4

Jika yang dibangkang bukan Amir Mukminin yang dibaiat untuk menjalankan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saw. maka hukum “bughat” tidak bisa diberlakukan. Apalagi secara qath’i penguasa tersebut menerapkan sistem kufur, maka hukum “bughat” tidak bisa digunakan. Pengunaan hukum “bughat” dalam konteks seperti ini jelas menyalahi fakta “bughat” dan bertentangan dengan hukum Islam.

Selain itu, para penguasa kaum Muslim saat ini yang telah menerapkan dan mempertahankan sistem kufur telah menjadi pangkal kekufuran (ra’s al-kufr) yang merajalela di tengah masyarakat. Adapun hukum menghilangkan kekufuran ini tidak ada syubhat di kalangan a’immah (para imam mazhab) maupun umat. Ini dikuatkan oleh firman Allah dalam QS al-Hujurat ayat 9 yang menyatakan, “…hatta tafi’a ila amri-Llâh” (…hingga kembali kepada perintah Allah). Ini merupakan “ghayah” (batas) yang dinyatakan dengan kata “hatta” (hingga/sampai). Dari sini bisa diambil Mafhum Mukhalafah-nya, “Jika mereka telah kembali pada perintah Allah maka tidak boleh lagi diperangi dan dianggap bughat”.5

Dari nash di atas juga bisa diambil kesimpulan, bahwa penguasa yang dibangkang itu sebelumnya menerapkan hukum Islam sehingga kelompok yang membangkang (bughat) dari ketaatan kepada dia dianggap melanggar perintah Allah, kemudian diperangi sampai kembali pada perintah Allah. Ketika sudah kembali, maka mereka tidak boleh diperangi lagi.

Bagaimana jika yang terjadi sebaliknya? Kelompok yang dianggap “bughat” itu yang berpegang pada hukum Islam, sedangkan penguasanya tidak? Jawabannya jelas, bahwa fakta “bughat” tidak bisa diberlakukan untuk mereka. Penggunaan fakta dan hukum “bughat” dalam konteks seperti ini jelas menyalahi fakta dan hukum “bughat”. Apalagi jika kelompok tersebut tidak mempunyai milisi dan kekuatan pertahanan; tidak menggunakan kekuatan fisik; tidak menghalalkan darah umat Islam; tidak meninggalkan jamaah kaum Muslim. Mereka justru sebaliknya membangun kekuatan umat untuk mewujudkan jamaah kaum Muslim (Khilafah). Yang mereka lakukan hanya mengkritik penguasa, mendakwahkan ide persatuan umat di seluruh dunia di bawah naungan Khilafah. Jelas fakta dan hukum “bughat” sangat jauh panggang dari api jika diberlakukan untuk mereka. Bahkan Imam Abu Hanifah, as-Syafii dan jumhur fuqaha’ menyatakan tidak boleh membunuh dan memerangi mereka.6

Karena itu al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie menyatakan, “Jika alasan pembangkangan itu karena keyakinan tentang ketidaklayakan penguasa untuk memegang tampuk kekuasaan, karena bukti yang tidak qath’i, maka itu termasuk “bughat”. Mereka tidak berdosa karena pembangkangannya karena mereka berijtihad. Mereka juga bukan orang fasik.”7

Ketika ada bukti yang qath’i, bahwa penguasa tersebut menerapkan hukum kufur, maka fakta “bughat” tersebut tidak bisa diberlakukan kepada mereka.

Inilah fakta dan hukum “bughat” dalam pembahasan fikih Islam yang dinyatakan oleh para fuqaha’. Menggunakan fakta dan hukum “bughat” ini tidak sebagaimana mestinya, selain merupakan bentuk penyelewengan hukum Allah, yang jelas haram, juga menyesatkan umat Islam. Ini juga jelas tindakan yang diharamkan. Apalagi jika fakta dan hukum “bughat” ini digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan yang jelas-jelas korup, merusak serta menjadi kaki tangan liberalisme dan imperialisme untuk menghalangi kebangkitan umat yang sedang berjuang melawan penjajahan. Jelas tindakan ini merupakan pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya, umat Islam dan seluruh rakyat negeri kaum Muslim.

Karena itu penting untuk dijadikan pegangan, bahwa ulama dalam mengeluarkan fatwa tidak hanya wajib memahami fakta dan hukum yang hendak difatwakan, tetapi juga konteksnya. Apakah fakta dan hukum yang hendak difatwakan tersebut tepat atau tidak konteksnya. Jika tepat maka itu boleh. Jika tidak maka itu bukan saja tidak boleh, bahkan mereka berdosa, karena ceroboh.

Tidak hanya itu, mereka juga harus tahu dan sadar jika fatwanya bisa digunakan untuk menjustifikasi dan melegalkan pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya dan umat Islam. Dalam konteks yang terakhir ini, ulama tidak hanya dituntut bisa berfatwa, tetapi wajib mempunyai kesadaran politik sehingga tidak gegabah mengeluarkan fatwa, yang pada akhirnya fatwanya bisa diperalat untuk kepentingan politik.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Catatan Kaki:

1         Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, I/352. Lihat juga: Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughât al-Fuqahâ’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996 M/1416 H, hlm. 89.

2         Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, I/353.Lihat juga: Dr. Muhammad Khair Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah as-Syar’iyyah, cet. II, 1996 M/1417 H, I/63.

3         Al-‘Allamah al-Hafidz Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Lubnan, cet. I, 2004 M/1426 H, II/2160.

4         Ibid.

5         Al-‘Allamah al-Hafidz Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni, Bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Lubnan, cet. I, 2004 M/1426 H, II/2160.

6         Ibid, II/2163.

7         Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, I/353.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*