Mengangkat seorang khalifah adalah kewajiban yang telah disepakati para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Menolak atau mengingkari kewajiban ini sama artinya telah menyimpang dari kesepakatan mereka.
Ulama Aswaja Sepakat
Imam ‘Alauddin al-Kasani, seorang ulama besar dari mazhab Hanafi menyatakan:
وَِلأَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ اْلأَعْظَمِ فَرْضٌ، بِلاَ خِلاَفٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ، وَلاَ عِبْرَةَ -بِخِلاَفِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ-؛ ِلإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ؛ لِتَقَيُّدِ اْلأَحْكَامِ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لاَ تَقُومُ إلاَّ بِإِمَامٍ …
“Sebab, mengangkat Imam al-A’zham (Khalifah) adalah fardhu, tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq. Tidak bernilai sama sekali—penyelisihan sebagian kelompok Qadariyah—karena adanya Ijmak Sahabat ra. atas kewajiban itu; juga karena adanya kebutuhan terhadap Khalifah; agar bisa terikat dengan hukum-hukum (syariah), membela orang yang dizalimi dari orang yang zalim, memutus perselisihan yang menjadi sebab kerusakan dan berbagai kemaslahatan lain yang tidak mungkin bisa tegak tanpa adanya seorang imam (khalifah)… (Imam al-Kasani, Badâ’i ash-Shanâ’i fî Tartîb asy-Syarâ’i XIV/406).
Di dalam Kitab Râdd al-Muhtâr (IV/205) juga dinyatakan:
(قَوْلُهُ وَنَصْبُهُ) أَيْ اْلإِمَامِ الْمَفْهُومِ مِنْ الْمَقَامِ (قَوْلُهُ أَهَمُّ الْوَاجِبَاتِ) أَيْ مِنْ أَهَمِّهَا لِتَوَقُّفِ كَثِيرٍ مِنْ الْوَاجِبَاتِ الشَّرْعِيَّةِ عَلَيْهِ، وَلِذَا قَالَ فِي الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ: وَالْمُسْلِمُونَ لاَ بُدَّ لَهُمْ مِنْ إمَامٍ، يَقُومُ بِتَنْفِيذِ أَحْكَامِهِمْ؛ وَإِقَامَةِ حُدُودِهِمْ، وَسَدِّ ثُغُورِهِمْ، وَتَجْهِيزِ جُيُوشِهِمْ؛ وَأَخْذِ صَدَقَاتِهِمْ، وَقَهْرِ الْمُتَغَلِّبَةِ وَالْمُتَلَصِّصَةِ وَقُطَّاعِ الطَّرِيقِ، وَإِقَامَةِ الْجُمَعِ وَاْلأَعْيَادِ، وَقَبُولِ الشَّهَادَاتِ الْقَائِمَةِ عَلَى الْحُقُوقِ؛ وَتَزْوِيجِ الصِّغَارِ وَالصَّغَائِرِ الَّذِينَ لاَ أَوْلِيَاءَ لَهُمْ، وَقِسْمَةِ الْغَنَائِمِ ا هـ (قَوْلُهُ فَلِذَا قَدَّمُوهُ إلَخْ) فَإِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُوُفِّيَ يَوْمَ اِلاثْنَيْنِ وَدُفِنَ يَوْمَ الثُّلاَثَاءِ أَوْ لَيْلَةَ اْلأَرْبِعَاءِ أَوْ يَوْمَ اْلأَرْبِعَاءِ ح عَنْ الْمَوَاهِبِ، وَهَذِهِ السُّنَّةُ بَاقِيَةٌ إلَى اْلآنَ لَمْ يُدْفَنْ خَلِيفَةٌ حَتَّى يُوَلَّى غَيْرُهُ
“(Perkataannya: wa nashbuhu) maksudnya adalah (mengangkat) Imam al-A’zhâm (dan perkataannya: ahamm al-wâjibât (kewajiban yang paling penting), yakni; mengangkat seorang imam (khalifah) itu termasuk kewajiban yang paling penting karena banyak kewajiban syariah bergantung kepada dia. Oleh karena itu, Imam an-Nasafi dalam Al-‘Aqâ’id an-Nasafiyyah berkata, “Sudah menjadi keharusan bagi kaum Muslim memiliki seorang imam (khalifah) yang melaksanakan hukum-hukum syariah mereka, menegakkan hudud atas mereka, memperkuat benteng-benteng pertahanan, membentuk pasukan, mengambil zakat, mengalahkan para pemberontak dan mata-mata musuh serta para pembegal, menegakkan shalat Jumat dan Hari Raya, menerima berbagai kesaksian yang membuktikan bernagai hak, menikahkan orang-orang lemah dan kecil yang tidak memiliki wali serta membagikan ghanimah untuk mereka. (Perkataannya: Oleh karena itu para Sahabat mendahulukan (pengangkatan imam/khalifah…dst) maka sesungguhnya Nabi saw. wafat pada hari Senin dan dimakamkan pada hari Selasa, atau malam Rabu atau hari Rabu (h) dari Al-Mawâhib. Sunnah ini tetap berlangsung hingga sekarang, yaitu, Khalifah tidak akan dimakamkan sebelum diangkat Khalifah yang lain (Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muhtâr, IV/205).
Imam al-Qurthubi, seorang ulama dari Mazhab Maliki. juga menyatakan:
…هَذِهِ اْلآيَةُ أَصْلٌ فِي نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيْفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتُنَفَّذَ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ. وَلاَ خِلاَفَ فِي وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ اْلاُمَّةِ وَلاَ بَيْنَ اْلاَئِمَّةِ إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ اْلاَصَمِ…
…Ayat ini adalah dalil asal atas kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, yang dengan itu kalimat (persatuan umat) disatukan dan dengan itu dilaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban ini, baik di kalangan umat maupun kalangan para ulama, kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham… (Catatan: Al-Asham adalah orang Muktazilah yang berpendapat bahwa mengangkat seorang khalifah tidak wajib, namun dia dianggap sesat dan menyimpang dari kesepakatan kaum Muslim) (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).
Di dalam Kitab At-Tâj wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl disebutkan:
قَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ أَبُو الْمَعَالِي: لاَ يُسْتَدْرَكُ بِمُوجِبَاتِ الْعُقُولِ نَصْبُ إمَامٍ وَلَكِنْ يَثْبُتُ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَأَدِلَّةِ السَّمْعِ وُجُوبُ نَصْبِ إمَامٍ فِي كُلِّ عَصْرٍ يَرْجِعُ إلَيْهِ فِي الْمُلِمَّاتِ وَتُفَوَّضُ إلَيْهِ الْمَصَالِحُ الْعَامَّةُ
Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali berkata, “Mengangkat seorang imam (khalifah) tidaklah bisa ditetapkan berdasarkan logika akal, tetapi ditetapkan berdasarkan ijmak kaum Muslim dan dalil-dalil sam’iyyah. Kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah) di setiap masa untuk mengembalikan berbagai kesukaran kepada imam dan menyerahkan kemaslahatan umum kepada dia (Imam al-Muwaq, At-Tâj wa al-Iklîl li Mukhtashar Khalîl, V/131).
Imam Abu Zakaria an-Nawawi, dari kalangan ulama mazhab Syafii juga mengatakan:
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْبُ خَلِيفَةٍ وَوُجُوبُهُ بِالشَّرْعِ لاَ بِالْعَقْلِ، وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنْ اْلأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ: لاَ يَجِبُ، وَعَنْ غَيْرِهِ أَنَّهُ يَجِبُ بِالْعَقْلِ لاَ بِالشَّرْعِ فَبَاطِلاَنِ
Para ulama sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini ditetapkan berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal. Adapun apa yang diriwayatkan dari al-Asham bahwa ia berkata, “Tidak wajib,” juga selain Asham yang menyatakan bahwa mengangkat seorang khalifah wajib namun berdasarkan akal, bukan berdasarkan syariah, maka dua pendapat ini batil (Imam Abu Zakaria an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, VI/291).
Di dalam Kitab Rawdhah ath-Thâlibîn wa ’Umdah al-Muftîn disebutkan:
لاَ بُدَّ لِلأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوْقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا.قُلْتُ تَوْلَي اْلإِمَامَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِدٌ تُعُيِّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ.
Sudah menjadi sebuah keharusan bagi umat untuk memiliki seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong Sunnah, menolong orang-orang yang dizalimi, memenuhi hak-hak dan menempatkan hak-hak pada tempatnya. Saya berpendapat bahwa menegakkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah. Jika tidak ada lagi orang yang layak (menjadi imam/khalifah) kecuali hanya satu orang, maka ia dipilih menjadi imam/khalifah dan wajib atas orang tersebut menuntut jabatan Imamah jika orang-orang tidak meminta dirinya terlebih dulu (Imam an-Nawawi, Raudhâh ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, III/433).
Syaikh al-Islam, Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari di dalam Kitab Fath al-Wahab juga menyatakan:
وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ
Imam al-A’zham (Khalifah) hukumnya adalah fardhu kifayah seperti halnya peradilan (Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarh Minhaj ath-Thulâb, II/268).
Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, seorang ulama mazhab Hanbali, menyatakan:
هَذِهِ اْلآيَةُ دَلِيْلٌ عَلَى وُجُوْبِ نَصْبِ إِمَامٍ وَخَلِيْفَةٍ يُسْمَعُ لَهُ وَيُطَاعُ، لِتُجْتَمَعَ بِهِ الْكَلِمَةُ، وَتُنَفَّذَ بِهِ أَحْكَامُ الْخَلِيْفَةِ، وَلاَ خِلاَفَ فِي وُجُوْبِ ذَلِكَ بَيْنَ اْلأَئِمَّةِ إِلاَّ مَا رُوِيَ عَنِ اْلأَصَمِّ، وَأَتْبَاعِهِ …
Berkata (Ibnu al-Khathib), “Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil yang menunjukkan kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang wajib didengar dan ditaati, yang dengannya disatukan kalimat (persatuan umat), dan dilaksanakan hukum-hukum Khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban itu antara para ulama kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham dan pengikutnya…” (Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204).
Inilah pendapat yang diketengahkan oleh ulama Aswaja dari kalangan empat mazhab mengenai kewajiban mengangkat seorang khalifah. Seluruhnya sepakat bahwa mengangkat seorang khalifah atau imam setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib.
Kewajiban Paling Penting
Mengangkat seorang Khalifah atau Imam termasuk kewajiban agama yang paling penting. Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, di dalam kitab Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, menyatakan:
اِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِيْنِ لاَ يَقْدِحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُوْرِ
“Ketahuilah juga sesungguhnya para Sahabat ra. seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut sebagai kewajiban yang paling penting. Sebab, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai siapa yang paling layak menjabat khalifah tidak merusak ijmak mereka tersebut.” (Allamah Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafii, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, 1/25).
Di dalam Kitab Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il dinyatakan:
كَذَا ذَكَرَهُ الطَّبَرِيُّ صَاحِبُ الرِّيَاضِ النَّضِرَةِ أَنَّ الصَّحَابَةَ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ انْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ مِنْ وَاجِبَاتِ اْلأَحْكَامِ بَلْ جَعَلُوهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِينِ لاَ يَقْدَحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُورِ وَكَذَا مُخَالَفَةُ الْخَوَارِجِ وَنَحْوِهِمْ فِي الْوُجُوبِ مِمَّا لاَ يُعْتَدُّ بِهِ.
Demikianlah, sebagaimana dituturkan oleh Imam ath Thabari, pengarang Kitab Ar-Riyâdh an-Nadhrah, yang menyatakan para Sahabat telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam/khalifah setelah berakhirnya zaman kenabian termasuk di antara kewajiban-kewajiban hukum. Bahkan mereka menjadikan itu sebagai kewajiban yang paling penting saat mereka lebih menyibukkan diri dalam urusan itu dibandingkan menguburkan jenazah Rasulullah saw. Perbedaan pendapat di kalangan mereka dalam menentukan siapa yang paling berhak menduduki jabatan itu tidaklah menciderai kesepakatan (ijmak) tersebut. Demikian pula penentangan kelompok Khawarij dan kelompok-kelompok yang sehaluan dengan mereka mengenai kewajiban (mengangkat seorang imam/khalifah), termasuk perkara yang tidak perlu diperhitungkan. (Abu al-Hasan Nur ad-Din al-Mula al-Harawi al-Qari, Jam’u al-Wasâ’il fî Syarh asy-Syamâ’il, II/219).
Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini dalam Kitab Al-Irsyâd bahkan menyatakan:
اَلْكَلاَمُ فِى اْلإِمَامَةِ لَيْسَ مِنْ أُصُوْلِ اْلاِعْتِقَادِ، وَالْخَطْرُ عَلَى مَنْ يَزِلُ فِيْهِ يُرَبِّى عَلَى الْخَطْرِ عَلَى مَنْ يَجْهَلُ أَصْلاً مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ
Pembicaraan tentang imamah (sebenarnya) tidak termasuk pokok-pokok akidah (keyakinan). Namun, bahaya atas orang yang tergelincir di dalamnya lebih besar dibandingkan atas orang yang tidak mengerti salah satu bagian pokok-pokok agama (ushûl ad-dîn).
Ulama: Garda Terdepan
Menegakkan Khilafah memang fardhu kifayah. Orang yang memiliki kemampuan maupun yang tidak memiliki kemampuan wajib melibatkan diri hingga perkara yang termasuk fardhu kifayah ini terselenggara secara sempurna. Hanya saja, orang yang memiliki kemampuan dituntut lebih dibandingkan yang tidak memiliki kemampuan. Bahkan jika diduga kuat kewajiban itu tidak bisa ditunaikan secara sempurna kecuali dengan keterlibatan orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan, maka kewajiban kifayah tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain atas orang-orang itu.
Begitu pula menegakkan Khilafah Islam. Kewajiban ini diduga kuat tidak akan bisa terealisasi kecuali dengan keterlibatan para ulama dan tokoh masyarakat yang memiliki kemampuan. Atas dasar itu, wajib ‘ain bagi mereka untuk melibatkan diri dalam perjuangan menegakkan Khilafah Islami dalam sebuah partai politik islami yang benar-benar memiliki kemampuan untuk mewujudkan kewajiban tersebut.
Dosa karena belum tegaknya Khilafah Islam tetap melekat pada seluruh kaum Muslim, kecuali bagi mereka yang terlibat dan mendukung perjuangan agung dan mulia ini. Adapun mereka yang tidak melibatkan diri, abai, atau bahkan menghalang-halangi penegakkan Khilafah tidak akan pernah bisa luput dari siksaan Allah SWT kelak pada Hari Kiamat.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]