BPJS Haram , Negara Wajib Jamin Kesehatan Gratis!

KH Shiddiq Al Jawi, Mudir Ponpes Hamfara, Bantul, DIY

KH Shiddiq Al Jawi, Mudir Ponpes Hamfara, Bantul, DIY

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan penyelenggaraan BPJS Kesehatan saat ini tidak sesuai dengan syariah karena mengandung unsur gharar, maisir dan riba. Apakah masalahnya hanya itu? Atau adakah masalah yang lebih mendasar lagi? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com Joko Prasetyo dengan DPP Hizbut Tahrir Indonesia dan juga Mudir Ponpes Hamfara, Bantul, DIY KH Shiddiq Al Jawi. Berikut petikannya.

Apakah haramnya BPJS karena ada unsur gharar, maisir, dan riba?

Haramnya BPJS menurut fatwa MUI dikarenakan BPJS sekarang faktanya adalah asuransi. Dan asuransi diharamkan sebagian ulama dengan alasan-alasan karena adanya unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty), riba (bunga), dan maisir (judi/spekulasi).

Fatwa MUI itu menurut saya sudah tepat, karena alasan-alasan tersebut memang ada pada BPJS saat ini, misalnya BPJS ternyata menginvestasikan dana iuran pesertai BPJS dalam deposito dan obligasi konvensional yang berbunga (riba). Padahal riba jelas-jelas diharamkan dalam Islam. Selain itu, surplus dan defisit underwriting dalam BPJS ternyata dikelola dengan basis gharar dan pinjaman berbunga (riba). Ini juga haram.

Tapi menurut saya, alasan-alasan tersebut tidak lengkap. Perlu ditambahkan alasan lain untuk haramnya asuransi, yaitu akadnya yang memang tak sesuai syariah, bukan sekedar karena adanya gharar, riba, dan maisir. Mengapa akadnya tak sesuai syariah? Karena objek akad (ma’quud ‘alaihi) asuransi tidak dapat dikategorikan objek akad yang sah, yaitu barang atau jasa. Objek akad asuransi, adalah janji/komitmen (at ta’ahhud), yakni perusahaan asuransi berjanji akan membayar dana pertanggungan jika terjadi suatu peristiwa penyebab turunnya dana pertanggungan, seperti kematian, kecelakaan, kebakaran, dan sebagainya. Nah, janji seperti ini tidak dapat dikategorikan barang atau jasa, maka asuransi itu haram hukumnya.

Selain aspek objek akad itu, akad asuransi juga haram karena tak sesuai dengan ketentuan-ketentuan akad pertanggungan/jaminan (al dhamaan) dalam Islam. Dalil mengenai ketentuan-ketentuan akad ini adalah hadits shahih dari Jabir bin Abdillah RA. Suatu saat Rasulullah SAW tidak bersedia mensholatkan satu jenazah yang masih punya utang dua dinar kepada orang lain. Lalu seorang sahabat bernama Abu Qatadah Al Anshari berkata,”Dua dinar itu menjadi kewajiban saya wahai Rasulullah.” Maka kemudian Rasulullah SAW bersedia mensholatkan jenazah itu. (HR Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, no 3345, Bab Tasydiid Ad Dain).

Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya An Nizham Al Iqtishadi fil Islam hlm. 185, hadits tersebut menunjukkan ketentuan-ketentuan akad pertanggungan Islami, sbb ; terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat, yaitu penanggung (dhamin), tertanggung (madhmun ‘anhu), dan penerima tanggungan (madhmun lahu), di mana terjadi penggabungan tanggungan (dhamm al dzimmah) pihak tertanggung menjadi tanggungan pihak penanggung, dan pihak penerima tanggungan tidak membayar apa-apa untuk mendapatkan dana pertanggungan.

Ketentuan-ketentuan itu jelas bertolak belakang dengan ketentuan asuransi. Karena dalam asuransi hanya ada dua pihak (bukan tiga pihak), yaitu perusahaan asuransi sebagai penanggung (dhamin), dan peserta asuransi sebagai penerima tanggungan (madhmun lahu). Tak ada pihak tertanggung (madhmun ‘anhu). Juga, dalam asuransi tak terjadi penggabungan tanggungan peserta asuransi dengan tanggungan perusahaan asuransi, karena peserta asuransi sebenarnya tidak sedang punya tanggungan apa-apa kepada pihak lain. Dan juga, dalam asuransi pihak penerima tanggungan (peserta asuransi) harus membayar premi (iuran) per bulan kepada penanggung (perusahaan asuransi). Kalau dalam Islam, penerima tanggungan tidak membayar apa-apa kepada pihak penanggung. Jadi, jelas sekali akad asuransi tidak sesuai dengan akad pertanggungan dalam Islam, sehingga haram hukumnya.

Tapi ada yang mengatakan bahwa walau BPJS tidak sesuai dengan syariah, tidak otomatis hukumnya haram?

Begini, ketidaksesuaian dengan syariah itu bentuknya memang ada dua macam. Pertama, meninggalkan kewajiban (tarkul wajibat), misalnya meninggalkan sholat lima waktu. Kedua, melakukan keharaman (irtikabul haraam), seperti berzina, minum khamr (minuman keras), dsb.

Jadi, penyimpangan syariah itu memang tidak otomatis haram, karena bisa jadi bentuk ketidaksesuaian itu bukan mengerjakan yang haram, tapi meninggalkan yang wajib. Nah, orang yang meninggalkan yang wajib tidak disebut berbuat haram, tapi melakukan dosa atau maksiat.

Untuk konteks BPJS, ketidaksesuaian dengan syariahnya terletak pada aspek mengerjakan yang haram, yaitu melakukan akad yang tidak disyariahkan dalam Islam. Karena akad asuransi (at ta`miin) itu akad yang berasal dari sistem kapitalisme Barat, bukan berasal dari Syariah Islam. Maka melakukan akad asuransi hukumnya haram, karena ada larangan dari Rasulullah SAW yang bersifat umum, yang melarang perbuatan apa pun yang tidak disyariahkan Islam,”Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada dalam perintah kami, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Muslim). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/232, Bab An Nahyu ‘An Al Tasharrufaat wa Al ‘Uquud).

Apakah ada aspek penyimpangan syariah lainnya pada BPJS?

Ada, yaitu BPJS tidak sesuai dengan jaminan kesehatan dalam Islam. Karena dalam BPJS, untuk mendapat jaminan kesehatan rakyat dipaksa membayar iuran. Sedang dalam Islam, jaminan kesehatan diperoleh oleh rakyat dari pemerintah secara gratis (cuma-cuma), alias tidak membayar sama sekali.

Dalam ajaran Islam, negara wajib hukumnya menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, tanpa membebani rakyat untuk membayar. Dalam Shahih Muslim terdapat hadits dari Jabir bin Abdillah RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu.” (HR Muslim no 2207).

Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala negara telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 2/143).

Terdapat pula hadits lain dengan maksud yang sama, dalam Al Mustadrak ‘Ala As Shahihain karya Imam Al Hakim, “Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, dia berkata,”Aku pernah sakit pada masa Umar bin Khaththab dengan sakit yang parah. Lalu Umar memanggil seorang dokter untukku, kemudian dokter itu menyuruhku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu.” (HR Al Hakim, dalam Al Mustadrak, Juz 4 no 7464).

Hadits ini juga menunjukkan, bahwa Umar selaku Khalifah (kepala negara Khilafah Islam) telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 2/143).

Kedua hadits di atas merupakan dalil syariah yang sahih, bahwa dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib hukumnya diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat untuk membayar, seperti dalam BPJS. Layanan kesehatan dalam Islam adalah hak rakyat, bukan kewajiban rakyat. [  ]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*