Pada tanggal 16 Agustus 2015 lalu, pemerintah menyerahkan Nota Keuangan RAPBN 2016 ke DPR. Usulan pemerintah tersebut selanjutnya akan dibahas oleh DPR yang kemudian ditetapkan menjadi UU APBN 2016. RAPBN tersebut merupakan kebijakan fiskal kedua yang dibuat oleh pemerintah Jokowi-JK setelah RAPBN-P 2015. Sayangnya, meskipun mengklaim penuh dengan semangat perubahan, kebijakan fiskal pemerintah saat ini tidak jauh berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Bahkan dalam beberapa cenderung lebih liberal.
Pendapatan pada RAPBN 2016 sebesar Rp 1.848,1 triliun. Dari jumlah tersebut, pajak masih menjadi penyumbang terbesar yakni sebesar Rp 1.565,8 triliun atau sebesar 85 persen dari total penerimaan. Adapun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) hanya sebesar Rp 280,3 triliun dan hibah sebesar Rp 2,0 triliun.
Di saat yang sama, belanja negara mencapai diusulkan sebesar Rp 2.121,3 triliun yang terdiri dari belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp 1.339,1 triliun serta Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp 782,2 triliun. Dengan demikian, penyusunan RAPBN kali ini masih disusun defisit sebesar Rp 273,2 triliun atau 2,1 persen terhadap PDB. Konsekuensinya, defisit tersebut harus ditutupi dengan utang dalam bentuk obligasi sebesar Rp 272 triliun dan utang luar negeri neto sebesar Rp 1,2 triliun.
Dari sisi belanja, subsidi sektor energi senilai Rp121 triliun dan sektor non energi Rp80,4 triliun. Subsidi energi tersebut terdiri subsidi BBM dan elpiji sebesar Rp71 triliun atau naik dari Rp64,7 triliun pada 2015. Meskipun demikian, Subsidi BBM untuk premium dihapuskan sementara solar masih disubsidi sebesar Rp1.000/liter.
Harga elpiji 3 kg juga akan dinaikkan sebesar Rp3.000/tabung. Adapun untuk subsidi listrik dipatok sebesar Rp50 triliun atau turun dari Rp73,1 triliun pada 2015. Menurut keterangan Menteri Keuangan, pemotongan tersebut dilakukan dengan memangkas subsidi 900 Kwh yang dinilai tidak tetap sasaran. Padahal kebanyakan masyarakat menengah ke bawah menggunakan daya tersebut.
Adapun untuk subsidi non energi naik tipis dari Rp74,3 menjadi Rp80,4 triliun. Kenaikan tersebesar pada subsidi bunga kredit. Namun untuk subsidi pupuk justru dikurangi dari Rp39,5 triliun menjadi Rp 30 triliun. Langkah ini ditempuh karena pemerintah menganggap subsidi pupuk selama ini tidak tepat sasaran. Meski beberapa subsidi untuk rakyat dipangkas, namun pembayaran utang dan bunganya justru naik. Utang naik dari Rp279,4 triliun dari tahun lalu menjadi Rp330,7 triliu, sementara bunga utang naik dari Rp155,7 triliun menjadi Rp 183,4 triliun.
Adapun untuk subsidi non energi naik tipis dari Rp74,3 menjadi Rp80,4 triliun. Kenaikan tersebesar terjadi pada subsidi bunga kredit. Namun untuk subsidi pupuk justru dikurangi dari Rp39,5 triliun menjadi Rp 30 triliun. Langkah ini ditempuh karena pemerintah menganggap subsidi pupuk selama ini tidak tepat sasaran.
Selain itu, untuk menggairahkan investasi, pemerintah juga memberikan insentif fiskal bagi para investor seperti pembebasan/pengurangan pembayaran pajak untuk jangka waktu tertentu (tax holiday), pengurangan penghasilan kena pajak perusahaan (tax allowance), pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) barang strategis untuk investasi dan pemberian pajak ditanggung Pemerintah (DTP) yang antara lain diberikan atas pendapatan bunga dan imbal hasil obligasi. []Muhammad Ishaq
Realisasi penerimaan pajak 85% sulit dicapai krn perekonomian lesu. Konsekuensinya pinjaman luar negeri bakal membengkak.