Diskusi Terbatas Tokoh: Perlindungan Anak Membutuhkan Perubahan Sistem
HTI Press. Jakarta. Dewan Pimpinan Pusat Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyelenggarakan Diskusi Terbatas Tokoh bertema Perlindungan Anak Membutuhkan Perubahan Sistem, di Kantor DPP Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Crown Palace Tebet – Jakarta Selatan, Jum’at (14/08).
Acara ini diselenggarakan dengan latar belakang banyaknya kasus kekerasan yang terjadi pada anak, baik kekerasan fisik, seksual, ataupun yang lainnya. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, namun belum juga menyelesaikan masalah. Contoh kasus, tewasnya Engeline, kisah kekerasan pada anak yang tak ayal cukup menyita perhatian masyarakat.
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi ini adalah Ustadzah Iffah Ainur Rochmah, Juru Bicara MHTI, dan Ustadzah Dedeh Wahidah Achmad, Ketua Lajnah Tsaqofiyah DPP MHTI.
Ustadzah Iffah sangat antusias mengakomodasi pendapat para tokoh tentang penyebab terjadinya kasus kekerasan pada anak, beserta bahasan solusi yang harus dilakukan. Diantara tokoh yang tak kalah antusias, yaitu Ibu Hj. Tati Fadhilah, selaku anggota Tim Penggerak PKK Jakarta Barat. “Saya sering berpikir terkait masalah ini. Pada sisi mana letak permasalahannya? Sistem, individu, ataukah yang lain?” kritisnya.
Lain halnya dengan Ibu Elfi, dari Wanita Islam. Menurutnya, “Dasar utama perubahan akhlak adalah agama. Sekarang saya melihat pendidikan agama anak SD minim. Di luar sekolah ada TPA, tapi itu hanya sampai kelas 6 SD. Pendidikan agama remaja tidak ada. Kalau pun ada keluarga yang mengajarkan agama pada anaknya, hanya sedikit. Perlu ada perhatian pendidikan agama untuk anak dan remaja.”
Tokoh yang lain pun setali tiga uang. “Apa yang terjadi di Indonesia lebih pada orang-orangnya. Kelalaian terutama terjadi pada ayah dan ibunya. Jika kita menyalahkan sistem, nanti Kemsos, Kemdikbud, dan pihak lain yang terkait bisa marah karena mereka juga sebenarnya mendukung perbaikan generasi.”
Menanggapi semua itu, Ustadzah Iffah mengatakan, “Sungguhlah bahwa anda sekalian yang hadir di forum ini bukan tokoh biasa. Kita semua sejatinya tengah berpikir mencari solusi permasalahan umat. Rasulullah SAW bersabda Barangsiapa yang bangun di pagi hari, namun tidak memikirkan urusan umatku, maka ia bukan termasuk dari mereka (umat Islam). Apakah masalah terletak pada keluarga, pendidikan, lalu bagaimana sikap pemerintah? Ataukah semua ini masalah sistem?”
Ustadzah Iffah pun menyatakan, “Dalam hal ini, Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa memang bukan tidak melakukan apa-apa. Menurut beliau, yang perlu dilakukan untuk melindungi anak, yaitu memberikan keamanan, kesehatan, dan pendidikan baik di dalam maupun luar keluarga. Namun jika kita lihat dari pelayanan kesehatan, kenyataannya Khairil Khairiyah yang bayi kecil mungil sudah terlilit hutang Rp 124 juta hanya karena orangtua terlambat mengurus eligibilitas BPJS, padahal sudah terdaftar sebagai peserta BPJS. Belum lagi di sektor pendidikan. Adanya 45 siswa SD terjebur ke Sungai Lebak ketika hendak berangkat ke sekolah akibat infrastruktur yang rusak.”
“Namun di sisi lain, yang tak kalah ironis, anak-anak SD malah diberi modul baru tentang Islam Damai, mulai Oktober nanti. Padahal di dalamnya ada perubahan makna terkait Islam rahmatan lil alamin, makna jihad, dan toleransi. Ini tak lain merupakan pembekalan tsaqofah asing yang jelas tak sejalan dengan rencana jangka panjang menuju perlindungan generasi dari aspek pemikiran,” lanjutnya.
“Memang, Pemerintah sudah mengambil berbagai langkah, diantaranya UU No. 23 tahun 2012 tentang Perlindungan Anak, juga UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Negara pun berjanji memutus rantai kekerasan anak. Namun lihatlah, bahwa semua berjalan dalam sistem yang kontradiktif,” jelasnya.
“Negara tidak membuat kurikulum pendidikan yang mampu menghasilkan individu calon orang tua yang mampu mendidik kepribadian dan memiliki pola asuh ideal bagi generasi penerus. Negara bahkan menyeret kaum ibu untuk terjun ke dunia kerja yang eksploitatif demi mendongkrak ekonomi keluarga dan bangsa, atau sekedar mengejar eksistensi diri hingga mengabaikan fungsi-fungsi dalam mendidik generasi. Pun tidak ada perangkat sistem yang memadai untuk mengaktifkan fungsi-fungsi keluarga, yang tidak lebih dari sekedar fungsi ekonomi, yang dalam hal ini jelas tidak cukup hanya dengan pelatihan calon pengantin. Bahkan, negara tidak tegas menangani pengaruh buruk industri bisnis dan media yang menawarkan racun gaya hidup porno, hedonis, permisif dan paham merusak lainnya, karena negara diuntungkan oleh pendapatan pajak dari industri ini,” urainya.
Senada dengan Ustadzah Iffah, Ustadzah Dedeh pun menyatakan, “Perlindungan kepada anak tidak cukup hanya dengan pendidikan dan perlindungan keluarga. Perlu adanya kebijakan yang sinergis antara negara, masyarakat, dan individu. Kebijakan yang akan membentuk ketakwaan individu, yang senantiasa membuat masyarakat beramar ma’ruf nahi munkar, membuat output pendidikan bersyakhsiyah Islam, juga menyelesaikan perekonomian masyarakat, termasuk kebijakan tegas terhadap pelaku kekerasan pada anak. Semua kebijakan itu hanya bisa diberikan oleh Khilafah Islam. Sebuah negara yang menjamin keamanan seluruh warga negara, termasuk anak-anak dapat tumbuh dengan aman, terpenuhi hak-haknya dan berkembang menjadi calon-calon pemimpin, calon-calon pejuang dan calon generasi terbaik.” []