Yang dipelajari tentu bukan hanya teknik mengajar yang baik, namun juga nilai-nilai yang menjadi pijakan kurikulum di negara-negara barat yang liberal.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meresmikan modul pembelajaran Islam damai untuk siswa sekolah umum yang terdiri dari SD, SMP, SMA dan SMK. “Modul ini modul pelatihan agar bagaimana nanti guru-guru Pendidikan Agama Islam (PAI) mempunyai paradigma yang sama terkait substansi materi ajar dan metodologi penyampaiannya,” kata Menag Lukman Hakim, Selasa (11/8) saat peluncuran modul tersebut di Asrama Haji Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.
Lukman mengatakan pembuatan modul ini merupakan cara untuk merespon kebutuhan akan keluaran pendidikan yang bersifat Islam damai. Modul, kata Lukman, juga dapat menjadi cara pemerintah untuk menanggulangi potensi ajaran kekerasan atau radikalisme di lingkungan institusi pendidikan, seperti di sekolah umum.
Direktur Pendidikan Agama Islam (PAI) Amin Haedari mengatakan, Kemenag telah melakukan proyek percontohan untuk modul pembelajaran Islam ini di empat provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara.
“Kalau di Jabar itu dipilih karena semangat pertumbuhan mmepelajari Islamnya tinggi sekali, Jateng terdapat banyak kekerasan, Sumut itu pemeluk Islam dibanding agama lainnya fifty-fifty dan di Sulut itu karena Islam di sana minoritas,” kata Amin.
Terdapat sejumlah guru yang telah disiapkan untuk menerapkan modul pembelajaran Islam damai. Sebelumnya, guru-guru ini dikirim ke Religious Education, Oxford University, Inggris. Dari Oxford ini, kata dia, mereka mendapatkan cara untuk mendidik pelajaran agama dengan cara menyenangkan, interaktif, dan berlangsung secara dua arah.
Membahayakan
Kebijakan Menteri Agama yang menerapkan modul Islam damai yang berkiblat kepada Barat tersebut, menurut Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Iffah Ainur Rochmah harus dihentikan.
“Kebijakan Menag ini membahayakan identitas anak-anak umat Islam. Ada 47 juta anak-anak Muslim yang akan menjadi korbannya. Program ini harus dikoreksi dan dihentikan!” tegasnya kepada Media Umat.
Menurut Iffah, modul pembelajaran tersebut merupakan upaya pengaburan bahkan penyesatan ajaran Islam melalui program deradikalisasi. “Bagaimana nasib pemahaman anak-anak kita terhadap ajaran agamanya sendiri bila yang diajarkan adalah nilai-nilai universal kebebasan yang diberi label HAM, pemahaman tentang toleransi yang kebablasan, hukum jihad, hudud dan khilafah yang disalahtafsirkan?” ujarnya.
Seperti diungkapkan pihak Kementerian Agama, program ini sudah diawali dengan pengiriman 40-an guru-guru agama pilihan dari berbagai kota untuk mendapatkan pelatihan metode pengajaran agama yang menarik dari Oxford University Inggris.
Iffah menggarisbawahi, yang dipelajari tentu bukan hanya teknik mengajar yang baik, namun juga nilai-nilai yang menjadi pijakan kurikulum di negara-negara barat yang liberal. Bukan hanya itu mereka juga mengunjungi gereja, museum dan sekolah-sekolah agama di Inggris agar bisa menyaksikan betapa ‘baik’ peradaban Barat.
“Ini jelas pembaratan, meracuni pendidik-pendidik Muslim agar ramah terhadap nilai Barat bahkan mengunggulkan peradaban Barat yang rusak,” simpulnya.
Yang ditunjukkan Kemenag, menurut Iffah, adalah upaya sistematis menjauhkan umat Islam dan generasi penerusnya dari kebangkitan Islam. Mengarahkannya menjadi generasi pembebek budaya Barat yang akan membiarkan terus bercokolnya penjajahan politik dan ekonomi negara-negara barat atas negeri ini. Padahal semestinya pelajaran agama bisa menumbuhkan kebanggaan terhadap nilai Islam, kecintaan terhadap Islam dan perjuangan atas seluruh syariat. Juga secara pasti melahirkan semangat perlawanan atas segala bentuk penindasan dan penjajahan.
“Dalam konteks kekinian pelajaran agama semestinya mendorong lahirnya generasi yang siap berjuang menegakkan kembali khilafah Islam,” pungkasnya. (mediaumat.com, 19/8/2015)