Menelisik Tendensi Pujian Kongres AS

n00299412-b (1)Oleh: Hj. Nida Saadah, S.E, M. Ak. (DPP MHTI)

Presiden Joko Widodo baru saja menerima kunjungan dari enam orang delegasi Kongres Amerika Serikat. Enam orang itu berasal dari Partai Republik dan Partai Demokrat. “Ini kunjungan kedua setelah kemarin Senator Amerika berkunjung ke Indonesia,” kata Menteri Luar Negeri, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Sabtu 15 Agustus 2015 (viva.co.id).

Dalam kunjungan ini, ada beberapa isu yang dibahas Jokowi dengan delegasi Kongres, salah satunya terkait masalah ekonomi. Anggota Kongres AS klaim Menlu, mengapresiasi kebijakan ekonomi Jokowi. “Terutama masalah Kebijakan Presiden kurangi subsidi bahan bakar yang kemudian dialihkan kepada kesehatan, edukasi dan hal-hal lainnya,” ujar Retno.

Kemudian, mengenai masalah pluralisme. Kongres AS mengakui fakta bahwa Indonesia adalah negara yang sangat plural dan majemuk, namun dapat menjaga kemajemukan itu hingga kini. Kongres pun memuji kesuksesan Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia. “Presiden menyampaikan bahwa pendidikan dari sejak awal sampai tingkat tinggi dan juga peran dari NU dan Muhammadiyah di dalam membentuk masyarakat yang moderat itu perannya sangat penting,” paparnya.

AS juga mengapresiasi kebijakan pemerintah mengenai masalah pengungsi. Di mana pemerintah mengutamakan kemanusiaan. Pemerintah sendiri ingin ada penguatan kerjasama. Tak hanya dari sisi pemerintah dengan pemerintah tetapi juga penguatan di bidang lainnya.

Pujian Basa-basi

Di tengah gelimang puja-puji yang diberikan kepada kondisi ekonomi Indonesia, bagaimana fakta yang ada di depan mata?  Realitas kehidupan masyarakat di Indonesia yang terus dililit oleh berbagai beban ekonomi yang semakin berat, seperti kenaikan harga kebutuhan pokok, makin sempitnya lapangan kerja, biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin mahal, dan berbagai himpitan ekonomi lainnya adalah sebuah kenyataan pahit yang tidak bisa dipungkiri.

Saat ini diperkirakan ada sekitar 7 juta perempuan di Indonesia yang berperan sebagai kepala keluarga dan mereka hidup dibawah garis kemiskinan dengan pendapatan dibawah US$ 1 dollar. Jumlah ini mewakili lebih dari 14% dari total jumlah rumah tangga di Indonesia. Bahkan menurut aktifis LSM Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), sebenarnya jumlah perempuan kepala keluarga di Indonesia datanya jauh lebih besar melebihi yang tercatat oleh pemerintah, yakni mencapai 10 juta orang.

Belenggu kemiskinan yang membelit perempuan Indonesia juga ditunjukkan dengan tingginya angka buruh migran perempuan low skilled yang mencapai 7 juta jiwa di luar negeri. Kemiskinan adalah faktor terbesar yang memaksa perempuan Indonesia bekerja ribuan kilometer di negeri orang tanpa adanya jaminan perlindungan dari negara. Hal ini memacu masalah lain yaitu problem kekerasan pada buruh migran, bahkan sampai meregang nyawa jauh dari sanak saudara. Fenomena mengerikan ini menunjukkan kegagalan sistem demokrasi.

Realita pahit yang sama atau bahkan lebih buruk dirasakan oleh para petani dan nelayan yang sebagian besarnya berskala gurem bahkan hanya penggarap. Dan yang paling pahit harus dirasakan oleh 7,7 juta orang yang termasuk penganggur terbuka alias tidak bekerja sama sekali, atau oleh 29 juta lebih orang miskin versi BPS dengan standar kemiskinan yang tidak manusiawi.

Posisi Indonesia yang sedang berada dalam cengkeraman neoimperialis Barat membuat pembangunan ekonomi Indonesia, diakui atau tidak, mengacu pada sistem ekonomi kapitalisme yang bertumpu pada angka pertumbuhan ekonomi semata. Tanpa memastikan apakah pertumbuhan itu berkorelasi pada distribusi secara merata. Ekonomi tidak dibangun untuk memuaskan kebutuhan individu dan tidak untuk menyediakan pemuasan bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat. Ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat yang memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income).

Semua individu dibiarkan bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang dia mampu sesuai dengan faktor produksi yang dimilikinya. Tidak diperhatikan apakah pemuasan itu merata dirasakan oleh semua anggota masyarakat atau hanya terjadi pada sebagian saja. Ini salah dan dzalim.

Konsekuensi dari pengaturan semacam ini adalah menjadikan harga sebagai faktor yang mengatur distribusi. Orang yang memiliki kemampuan membeli akan memperoleh kekayaan. Sedangkan orang yang tidak memiliki kemampuan membeli tidak akan memperoleh apapun. Dalam kondisi yang seperti ini yang terjadi adalah rusaknya hubungan antara manusia. Manusia akan terpuruk dalam derajat binatang dan nilai-nilai luhur terancam punah dari tengah-tengah manusia.

Adapun mengenai fakta keberagaman di Indonesia yang ternyata bisa hidup berdampingan, sangat berkorelasi dengan mayoritasnya komposisi muslim di negeri ini. Indonesia adalah negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Dan merupakan fakta yang tidak terbantahkan di banyak tempat, ketika muslim menjadi mayoritas maka semua penganut keyakinan agama lain, akan bisa hidup dengan tenang. Tapi tidak sebaliknya. Penyerangan muslim di Tolikara Papua adalah salah satu dari sekian banyak fakta yang mengungkap hal itu.

Tentang sikap pemerintah Indonesia terhadap pengungsi yang dipuji mengedepankan kemanusiaan, pada faktanya kenyataan di lapang menunjukkan bantuan kepada pengungsi Rohingya lebih banyak dilakukan oleh masyarakat Aceh dan berbagai komponen masyarakat lainnya secara independen. Bukan atas arahan pemerintah.

Melepaskan Diri dari Cengkeraman Penjajah 

Hanya dengan sistem khilafah sajalah, penjajahan yang telah mencengkeram Indonesia  dapat dihentikan. Banyak orang tak bisa menangkap pelajaran atas kerusakan yang terjadi di negeri ini. Kebanyakan mereka menduga bahwa penyebab semua ini adalah pemimpin yang tidak kapabel. Pergantian rezim demi rezim dilakukan. Namun hasilnya tak berubah. Malah, kini kian parah. Jokowi yang dianggap sederhana dan merakyat, justru lebih tega menindas rakyat dibandingkan rezim sebelumnya. Subsidi BBM dicabut saat ia baru beberapa hari berkuasa.

Sumber masalah keterpurukan yang melanda negeri Muslim terbesar di dunia ini adalah dipilih dan diterapkannya ideologi kapitalisme untuk mengatur negara ini. Salah satu perwujudan dari penerapan ideologi kapitalisme adalah terjadinya proses liberalisasi ekonomi. Liberalisasi ini tidak hanya terjadi di masa rezim terakhir, tapi juga sudah terjadi sebelumnya.

Ini bisa dibuktikan dengan lahirnya berbagai produk UU yang sangat liberal, seperti UU Migas, UU Kelistrikan, UU Perbankan, UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Pendidikan, UU Kesehatan dsb. Semua produk UU liberal itu lahir pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Perundang-undangan berbau asing itu justru mendapat legitimasi oleh wakil rakyat (DPR) yang merepresentasikan rakyat. Semua produk UU itu telah dilegitimasi oleh proses politik demokrasi yang dikendalikan dan didanai oleh korporasi asing. Melalui proses demokrasi inilah, pihak asing bermain. Mereka menggunakan kekuatan politik dan ekonominya untuk menyetir kalangan wakil rakyat demi melegitimasi produk UU. Hanya saja semuanya berjalan dengan sangat halus dan dikemas sedemikian rupa sehingga tampak produk UU itu logis dan cocok bagi pembangunan Indonesia ke depan. UU yang lainnya pun memiliki karakter yang sama. Ada UU Sumber Daya Alam, UU Migas, UU Minerba, UU Ketenagalistrikan, dll. Semua menjerat negeri ini termasuk penguasanya untuk tunduk pada sistem ekonomi liberal yang telah dilegalkan melalui proses demokrasi.

Maka di era rezim Jokowi, pencabutan subsidi BBM misalnya, sebenarnya sudah diamanatkan oleh UU Migas yang disusun di era Megawati. Privatisasi BUMN juga diatur oleh UU. Listrik dijual dengan harga pasar juga amanat UU. Walhasil, liberalisasi ini karena sistem di negeri ini menganut sistem kapitalisme liberal.

Untuk dapat menyelesaikannya diperlukan solusi yang sistemik, yaitu dengan mencabut akar ideologi kapitalisme yang sudah menancap kuat di negeri ini, kemudian diganti dengan ideologi yang berasal dari pencipta manusia, yaitu Islam.

Sistem yang dapat menjalankan ideologi Islam secara utuh dan menyeluruh (kaffah) itu dikenal dengan sebutan: sistem khilafah. Hanya dengan Negara Khilafah sajalah, penjajahan yang telah mencengkeram Indonesia dapat dihentikan.

Pujian kongres AS terhadap pemerintahan Jokowi pada akhirnya tidak lebih hanya sekedar satu cara dari berbagai manuver politik yang dilakukan AS agar kepentingan ekonomi dan politik AS terhadap negeri ini bisa terus berjalan. []


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*