Pendahuluan
Selama bertahun-tahun, dua lembar perkamen tertutup tulisan-tulisan Arab bentuk awal yang bagus, yang tidak menyatu dengan lembar-lembar mirip naskah Quran yang berasal dari akhir abad ketujuh.
Saat ini, dengan bantuan analisis radiokarbon, dua fragmen itu telah terbukti puluhan tahun lebih tua usianya—yang membuatnya menjadi salah satu dari contoh perkamen tertua di dunia, hal ini didasarkan pada para peneliti Universitas Birmingham, Inggris.
Pengujian, yang menunjukkan tingkat keakuratan hingga 95%, telah menunjukkan bahwa perkamen itu berasal dari tahun 568 hingga 645 Masehi. Para peneliti mengatakan, waktunya dekat dengan zaman Nabi Muhammad SAW.
Temuan itu sangat kontras dengan penghancuran benda-benda kuno di Timur Tengah yang dilakukan oleh ISIS. Menjadikan kasus ini sebagai “museum universal”, yang kemudian diargumentasikan bahwa hanya institusi-institusi di Barat lah yang dapat melestarikan warisan budaya dunia. Para pendukung argumen ini menyatakan cukup sudah penghancuran dan kebiadaban moral untuk terus melanjutkan intervensi di negeri-negeri Muslim.
Namun, ketidakpedulian terhadap sejarah budaya selama zaman Imperialisme Barat memberikan gambaran yang berbeda. Apakah karena alasan itu, lantas negara-negara Barat memiliki otoritas moral untuk mengawasi warisan dunia? Atau hal ini justru menjadi dalih untuk membenarkan intervensi lebih lanjut di negeri-negeri Muslim?
Imperium
Pada bulan Februari tahun 1899, novelis dan penyair Inggris Rudyard Kipling menulis sebuah puisi berjudul “The White Man Burden: The United Stated and The Philippine Islands” (Beban Orang Kulit Putih: Amerika dan Kepulauan Filipina). Dalam puisi itu, Kipling mendesak Amerika untuk mengambil alih “beban” dari imperium, sebagaimana yang pernah dimiliki oleh Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Dia menjelaskan, bagaimana hal itu dapat membuat kehidupan penduduk negeri-negeri lain menjadi “lebih baik”? Walapun pengorbanan telah dilakukan oleh Imperium, tetapi tetap saja mereka mendapatkan kehinaan.
Puisi itu bertepatan dengan awal Perang Filipina-Amerika dan Senat AS meratifikasi perjanjian yang menempatkan Puerto Rico, Guam, Kuba, dan Filipina semuanya di bawah kendali Amerika.
Theodore Roosevelt, yang menjadi wakil presiden dan kemudian menjadi presiden, menyalin puisi itu dan mengirimkannya kepada temannya, Senator Henry Cabot Lodge, dan berkomentar bahwa itu adalah “puisi yang agak buruk, tapi baik dari perluasan sudut pandang”. Tidak semua orang terkesan dengan puisi itu sebagaimana Roosevelt. Gagasan rasial dari “Beban Kulit Putih” menjadi eufemisme untuk melakukan imperialisme, dan banyak anti-imperialis mengemas penentangan mereka sebagai reaksi terhadap frasa itu. Lebih dari seabad kemudian, dengan ISIS yang merampok kota-kota di Irak, dalih yang menakjubkan untuk melakukan imperialisme Barat lebih lanjut dan pembenaran warisan kolonial mendapatkan tempat di media.
Antara rasa tanggung jawab untuk melindungi kelompok-kelompok minoritas dan memaksakan penerapan hukum “Islam”, penjarahan yang dilakukan ISIS dan penghancuran terhadap peninggalan kuno telah membuat marah dunia internasional. Menggemakan puisi Kipling itu, hal ini telah memunculkan pendapat tentang pemindahan artefak-artefak untuk membuat “museum universal” Barat telah terbukti mendapat justifikasi dan bahwa aksi militer harus dilakukan untuk melestarikan benda-benda itu agar tetap ada. Dan sekarang, penemuan fragmen Qur’an tua di Birmingham telah menyebabkan sebagian kaum Muslim percaya benda-benda penting bernilai global seperti itu hanya bisa tetap aman di bawah pengawasan Barat.
Peradaban Diserang
Dalam film dokumenter BBC berjudul Civilization Under Attack, presenter David Cruikshank mengemukakan pendapatnya mengenai kasus ini, “Sangat Mengejutkan jika memikirkan apa-apa yang mungkin hilang jika para arkeolog Eropa dan Amerika tidak membawa begitu banyak benda-benda itu ke Barat pada abad ke-19 dan ke-20. Bagi banyak dari kita, kita hanya tahu peradaban kuno ketika mengunjungi museum-museum besar di Eropa. The British Museum di London adalah salah satu tempat bagi koleksi barang-barang antik terbaik di dunia … Jika benda-benda itu tetap di tempat asalnya, banyak dari benda itu yang akan hancur tahun lalu.
Telah diperdebatkan bahwa koleksi itu adalah penjarahan kolonial, bahkan semua benda itu harus dikembalikan untuk diurus oleh negara-negara di mana mereka diambil. Sekarang, dengan tindakan dari ISIS, argumen itu telah mendapat pembenaran.”
Kejatuhan politik yang mengakibatkan invasi langsung Barat terhadap Irak tidak seperti apa yang coba disamakan Cruikshank dari Kekhilafahan Islam dengan “terorisme budaya”. Mengingat posisi tegas Islam terhadap penyembahan berhala dan identitasnya yang berdasarkan pada keyakinan dan bukan nasionalisme, program ini menyiratkan bahwa nilai-nilai dan sifat politik Islam membuat tindakan tersebut tidak dapat dihindari. Hal ini telah menjadi tema konstan dalam media Barat meskipun terdapat fakta bahwa jika di bawah sejarah kekhalifahan-lah benda-benda itu bertahan selama lebih dari seribu tahun.
Saat hal ini menyorot museum Berlin, tempat di mana dinding-dindingnya dihiasi oleh benda-benda kuno dari Babilonia, Cruikshank menambahkan:
“Jadi pertanyaannya adalah, daripada memanggil mereka penjahat, haruskah kita mengatakan, ‘Terima kasih Tuhan atas tindakan para arkeolog tersebut’?”
Kekhawatiran yang Tidak Berarti
Namun, kekhawatiran itu tidak ada artinya mengingat bahwa penjarahan di Irak bukanlah peristiwa yang baru-baru ini terjadi, tapi dimulai dengan kampanye militer Barat lebih dari satu dekade sebelumnya. Penjarahan itu meluas di Baghdad, Basra, Mosul, Kirkuk dan kota-kota Irak lainnya, setelah runtuhnya rezim Ba’athist Presiden Saddam Hussein. Hal ini bukan hanya merupakan sebuah ketidaksengajaan akibat penaklukan militer AS dari Irak. Penjarahan ini sengaja didorong dan dipelihara oleh pemerintahan Bush dan Pentagon untuk alasan-alasan politik dan ekonomi tertentu.
Sebagaimana yang ditunjukkan oleh para perencana perang, penjarahan itu selanjutnya dilakukan oleh warga Irak, bukan oleh pasukan asing. Tapi tidak ada langkah-langkah yang kemudian dilakukan oleh Menlu AS saat itu, Donald Rumsfeld, untuk mencegah hal tersebut terjadi atau untuk menghentikannya. Ini adalah kegagalan yang tidak hanya dapat dianggap sebagai sebuah kelalaian.
Militer AS hanya berdiri saja dan membiarkan penjarahan museum. Hal ini merupakan sebuah pukulan yang tidak terhingga bagi budaya Irak dan dunia, sama halnya seperti mereka diperbolehkan dan bahkan mendorong penjarahan di rumah sakit, universitas, perpustakaan, dan bangunan pelayanan sosial pemerintah. Dalam berbagai laporan, tentara AS sendiri malah ikut bergabung untuk menjarah.
Dewan Urusan Barang Antik dan Peninggalan Irak Abbas al-Hussaini mengkonfirmasi laporan dua tahun lalu oleh John Curtis dari British Museum, di mana Amerika mengubah kota kuno Nebukadnezar dari Babilonia menjadi ‘Taman gantung Halliburton’. Ini berarti mengubahnya menjadi sebuah kamp seluas 150 hektar untuk 2.000 tentara. Dalam peristiwa penghancuran itu, jalan batu bata berusia 2.500 tahun menuju Gerbang Ishtar dihancurkan oleh tank-tank dan pintu gerbang itu sendiri rusak. Lapisan tanah yang kaya arkeologi telah dibuldoser untuk mengisi karung-karus pasir, dan wilayah yang luas ditutup oleh kerikil yang dipadatkan untuk helipad dan tempat parkir. Babilonia lalu kehilangan benda arkeologis. Sementara, halaman Caravanserai abad ke-10 dari Khan al-Raba digunakan oleh Amerika untuk meledakkan senjata-senjata sitaan dari para pemberontak! Satu ledakan menghancurkan atap bangunan kuno itu dan merobohkan banyak dinding. Tempat ini sekarang telah hancur.
Banyak dan masih ada orang Irak yang yakin bahwa lobotomi memori sifatnya internasional—yakni bagian dari rencana Washington untuk menghilangkan benda-benda warisan dan menggantinya dengan model yang mereka buat sendiri. “Mereka ingin melenyapkan budaya kami,” kata Ahmed Abdullah yang berusia tujuh puluh tahun kepada Washington Post.
Kebebasan yang Rusak
Aspek yang paling mencolok dari munculnya penjarahan adalah sikap acuh tak acuh para pejabat pemerintah AS di Washington. Pada konferensi pers Pentagon hari Jumat, Donald Rumsfeld mengecam media karena melebih-lebihkan tingkat kekacauan, dan berpendapat bahwa penjarahan itu adalah ekspresi alami dan bahkan mungkin merupakan ekspresi yang sehat dari permusuhan terpendam terhadap rezim lama. “Benar-benar berantakan,” kata Rumsfeld. “Dan kebebasan itu berantakan. Dan orang-orang bebas untuk membuat kesalahan dan melakukan kejahatan.”
Namun, dengan agenda politik yang berkembang untuk Timur Tengah, ada seruan mendadak untuk membersihkannya. Dengan mengulang narasi kolonialis, mantan tentara AS dan pengarang Thieves of Baghdad (Pencuri Dari Baghdad), Mathew Bogdanv berkomentar:
“Lihatlah kehancuran yang sekarang terjadi di Suriah, Lebanon, Libya, Mesir, Irak—lihat kehancuran itu. Seandainya benda-benda itu diambil, oleh negara “beradab”, pada abad ke-19 dan ke-20, bahkan pada abad ke-21, sebagian orang akan berpendapat, benda-benda itu sekarang akan aman.”
“Apa yang akan lakukan tentang hal itu kepada dunia? Apakah Anda siap untuk menerima bahwa tindakan (penjarahan) itu menjadi penyebab perang? … Apakah kita siap untuk menggunakan kekuatan, kekuatan bersenjata, kekuatan fisik yang mematikan untuk melindungi warisan budaya seluruh umat manusia? … Mereka (ISIS) tidak akan berhenti, Anda tidak akan bisa mendidik mereka, Anda tidak akan bisa mencegah mereka dari penghancuran ini. Satu-satunya cara bagi Anda untuk menghentikan mereka dari kehancuran ini—dan saya mengatakan ini dengan kesedihan dan keengganan—adalah dengan penggunaan kekuatan”.
Sikap kontras tersebut dan standar ganda yang dilakukan Barat adalah pembelaan diri atas argumen moral yang tidak bisa diterima. Bagi sebagian besar orang, perhatian terhadap warisan dan sejarah Irak hanya merupakan sasaran kepentingan politik.
Sejarah Penjarahan
Ketidakpedulian Barat terhadap peradaban lain bukanlah hal yang baru. Perlakuaan terhadap Indian Amerika oleh para penjajah Eropa dan kemudian oleh Amerika Serikat telah didokumentasikan dalam literatur sejarah. Arogansi budaya dan agama yang menyebabkan para pemukim itu menolak menghargai apapun di era pra-Amerika Colombus adalah dengan tindakan merusak, bahkan melakukan genosida.
Dalam bukunya, New Revelations of Americas Before Columbus, Charles Mann membahas arogansi budaya yang membuat para pemukim Eropa tidak hanya mengeksploitasi Amerika tetapi juga menyangkal bahwa sebelum tahun 1492, Amerika itu “tidak memiliki sejarah yang nyata,” dan “kosong dari manusia dan karya-karyanya.” Dalam pandangan ini, penduduk asli Amerika “hidup dalam suasana ahistoris yang kekal.”
Demikian pula, selama perebutan Afrika oleh orang-orang Eropa, cara utama untuk membuktikan bahwa sebuah negeri telah memenuhi syarat untuk menjadi wilayah kolonisasi atau diambil alih adalah “Terra Nullius”, suatu ekspresi Latin yang berasal dari hukum Romawi yang berarti “tanah yang tidak ada pemiliknya”, yang digunakan dalam hukum internasional untuk menggambarkan wilayah yang tidak pernah tunduk pada kedaulatan sebuah negara, atau wilayah yang belum memiliki kedaulatan yang tegas atau kedaulatan secara implisit terlepas.
Akibatnya, para wisatawan yang berkunjung ke sub-Sahara Afrika sering bertanya-tanya “Mengapa di sini tidak ada bangunan atau monumen bersejarah?”
Alasannya sederhana. Eropa telah menghancurkan sebagian besar bangunan tersebut.
Hari ini, jika Anda ingin melihat kebesaran Afrika, Anda harus pergi ke Eropa, di mana ribuan benda seni dicuri, artefak-artefak peradaban berada di museum publik dan menjadi koleksi pribadi. Jika Anda ingin melihat kekayaan Afrika, Anda juga harus pergi ke Eropa tempat benda-benda tersebut disimpan dalam koleksi pribadi dan publik. Penjarahan selama berabad-abad dan kehancuran membawa benua itu bertekuk lutut.
Selanjutnya, semestinya tidaklah mengejutkan ketika menemukan fragmen Qur’an langka berada di Birmingham daripada di tempat lain! Mengesampingkan penemuan ini, saat ini terdapat kitab suci umat Islam dan naskah-naskah ilmu pengetahuan yang tidak terhitung lagi jumlahnya berada dan diklasifikasikan di bawah kewenangan Inggris. Nilai mereka bagi komunitas Muslim adalah tidak terhingga.
Jauh dari apa yang disebut program pelestarian, sebagian besar dari apa yang terlihat di museum-museum terkenal itu lebih terlihat sebagai piala kolonial, yang didahului dengan pemusnahan besar-besaran terhadap budaya dan peradaban asing.
Warisan Budaya: Seberapa Bernilai?
Barat sering mencoba untuk menghibur diri dengan keyakinan bahwa penilaian mereka terhadap budaya asli adalah dengan melindungi budaya tersebut—padahal sebenarnya hal itu berarti orang-orang Barat tidak percaya jika warisan itu memiliki nilai intrinsik. Dengan demikian, jika masyarakat asli tidak dapat menunjukkan nilai mereka kepada masyarakat sekitarnya, atau jika masyarakat sekitarnya hanya mengabaikan atau tidak menyadari nilainya, maka warisan mereka berisiko terdegradasi atau rusak.
Dalam contoh mencolok, U.S. Army Corps of Engineers mengambil alih pengawasan atas sisa peninggalan kuno di Amerika Utara yang paling kontroverial—hanya karena ada tulang-tulang yang ditemukan pada wilayahnya pada tahun 1996 oleh beberapa orang siswa yang mengarungi Sungai Columbia di dekat kota Kennewick.
Keputusan awal korps itu untuk menyerahkan tulang-tulang ke suku Indian lokal asli memicu gugatan dari tim ilmuwan sehingga menyebabkan banyak kesulitan. Mereka berpendapat bahwa penemuan yang langka seperti itu harus dijaga untuk penelitian—meskipun tes DNA membuktikan sisa-sisa “Kennewick Man “itu asli orang Indian.
“Para ilmuwan mungkin tidak mengerti,” kata Anthony Johnson, ketua suku Nez Perce, “tetapi sangat penting bagi pandangan hidup kami … untuk menguburkan jasad nenek moyang kami kembali tanah.”
Insiden seperti ini banyak membuat ilmuwan seperti Nigel Stobbs menyatakan dalam Indigeneous Law Bulletin:
“Komunitas (pribumi) ini layak dilindungi bukan sebagai sarana untuk sebuah tujuan, tapi sebagai tujuan dalam dirinya sendiri atau sebagai entitas yang bernilai mandiri.”
Dalam kasus lain, obyek yang punya daya tarik itu dipamerkan untuk kampanye publisitas di Eropa di mana hasil budaya itu disatukan oleh perusahaan komersial. Di sini, masyarakat pribumi yang diperbudak, digunakan sebagai artefak nyata dan sebagai tampilan warisan budaya bagi pasar pariwisata.
Hubungan ekonomi antara perlindungan warisan dan komersialisme juga menciptakan masalah keaslian dengan tradisi asing yang menjadi sumber bagi pariwisata warisan budaya. Sudah menjadi hal yang umum bagi para seniman untuk memodifikasi karya seni dan identitas budaya untuk menarik para pelanggan pada tingkat lokal, regional, dan nasional. Upaya untuk melindungi budaya asing tampaknya jauh kurang menonjol dibandingkan dengan penekanan untuk mempromosikan budaya konsumerisme, materialisme, dan kapitalisme Eropa-Amerika.
Islam
Salah satu fitur dalam program BBC adalah klaim bahwa keyakinan kepada Khilafah, dengan tidak adanya batas permanen dan perlawanan terhadap sentimen nasionalisme dalam Khilafah memotivasi orang untuk menghancurkan sesuatu yang berarti bagi orang yang berasal dari agama dan latar belakang berbeda.
Bahkan, yang benar adalah yang sebaliknya. Dengan entitas nasionalis dan Imperium, dominasi dari kota utama, suku atau bangsa di atas yang lainnya adalah kunci di mana penduduknya, lebih rendah, atau tunduk oleh, bangsa yang mendominasi—dan karena itu mereka mengeksploitasinya untuk sumber daya mereka.
Namun, Khilafah Islam, mengasimilasikan semua wilayah menjadi setara sebagaimana dirinya sendiri. Jadi Cordoba bisa bersaing dengan Baghdad, dan Samarkand bersaing dengan Kairo dalam hal kekayaan, pembelajaran, dan teknologi. Selanjutnya, berbeda dengan Imperium, ibu kota-ibu kota dapat berubah posisinya dalam Khilafah – sehingga Konstantinopel berubah dari sebuah kota yang ditaklukkan, menjadi Ibukota Khilafah Islam itu sendiri.
Berbeda dengan negara-negara sekuler, Islam memiliki pendekatan yang sangat berbeda dengan warga non-Muslim. Warga non-Muslim dalam Khilafah disebut Ahl–al dzimmah—yakni orang yang memiliki perjanjian—yang berarti mereka menikmati hak penuh kewarganegaraan. Mereka adalah warga yang hidupnya, kehormatannya, harta bendanya, dan agamanya semua harus dilindungi oleh hukum Syariah, seperti warga lainnya. Mereka membayar pajak yang disebut jizyah tetapi terbebas untuk membayar zakat atau wajib militer.
Khilafah selama masa pemerintahannya memungkinkan non-Muslim untuk memiliki pengadilan dan hakim sendiri untuk menyelesaikan perselisihan hukum keluarga dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan pribadi dan agama mereka. Ini berarti bahwa hal-hal tersebut dihargai dan artefak budaya lainnya tidak disedot ke negeri-negeri yang jauh ke dalam museum dengan kedok ‘pelestarian’ atau komersialisme, tetapi nyatanya justru meninggalkan pemelihara aslinya. Sedikit mengherankan bahwa agama, adat istiadat, dan peninggalan yang paling kuno dari sejarah masih ada di mana pun di mana Islam diterapkan.
Sejarah merupakan bukti bahwa kaum Muslim menerapkan perintah ini di bawah Khilafah selama lebih dari ratusan tahun.
Kesimpulan
Sir Thomas Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, menyatakan, “Tapikami tidak pernah mendengar apapun tentang setiap upaya terorganisir untuk memaksa penerimaan Islam kepada penduduk non-Muslim, atau penganiayaan sistematis apapun yang ditujukan untuk membasmi agama Kristen.” Seandainya khalifah memilih untuk menerapkan tindakan itu, mereka mungkin telah mudah melenyapkan Kristen semudah Ferdinand dan Isabella mengusir Islam dari Spanyol, atau Louis XIV yang mempidanakan Protestan di Perancis, atau Yahudi yang diusir dari Inggris selama 350 tahun.”
Berbeda dengan Kipling, umat Islam tidak melihat peran mereka sebagai tugas tanpa pamrih tapi hal itu merupakan tugas terhormat dan suci. Kurangnya perhatian Barat bagi kehidupan manusia selama kampanye penjajahan Imperialnya berarti bahwa perlindungan warisan selalu menjadi keprihatinan mereka yang terakhir. Kasus intervensi pada premis ini berlebihan dan merupakan upaya untuk membawa dimensi baru bagi banyaknya serangan di negeri-negeri Muslim.
Bagaimana bisa fragmen Al Qur’an yang jelas berharga dan penting ini mencapai Birmingham masih harus diteliti. Tetapi dugaan bahwa itu berasal dari zaman Nabi SAW, maka artinya fragmen itu sudah diawetkan di negeri-negeri Muslim selama berabad-abad sebelum mencapai Barat. Yakinlah, perjalanan itu berakar bukan pada altruisme, tetapi dalam menghidupkan warisan kolonial.[]
Sumber: hizb.org.uk (27/7/2015)