Berdasarkan data terbaru utang luar negeri Indonesia yang dilansir Bank Indonesia (BI), Per Juni 2015 negeri yang kaya akan sumber daya alam ini berutang 822 trilyun ke Singapura. Menurut pengamat ekonomi Muhammad Ishak, data statistik utang yang dikeluarkan oleh BI tersebut adalah statistik utang pemerintah dan BI serta utang swasta.
“Sejak 2013, utang swasta sudah melampaui nilai utang pemerintah. Ini karena pemerintah saat ini lebih banyak menerbitkan obligasi daripada pinjaman luar negeri baik ke lembaga ataupun negara,” ungkap Ishak kepada mediaumat.com, Sabtu (22/8) melalui surat elektronik.
Alasannya, risiko obligasi lebih kecil dari utang LN karena lebih bebas, tidak terikat term and conditions pemberi kredit. “Padahal obligasi juga berisiko karena bunganya fluktuatif mengikuti pasar,” bebernya.
Jika ‘ketidakpercayaan’ investor meningkat, capital outlow naik sehingga suku bunga (yield) obligasi naik. “Konsekuensinya biaya pembayaran utang pemerintah naik seperti saat ini,” tulis Ishak.
Peneliti senior CORE Indonesia tersebut menyatakan pula pengusaha swasta lebih senang meminjam pada bank-bank di luar negeri dibandingkan dengan bank domestik. Alasannya, antara lain, suku bunga bank-bank luar negeri lebih murah dibandingkan bank-bank di Indonesia (faktor efisiensi bank dan tingkat inflasi yang lebih rendah). Nilai jaminan juga lebih rendah. Apalagi jika mereka memiliki rekening di bank-bank tersebut.
Selain itu, lanjut mantan peneliti ECONIT Advisory Group, transaksi bisnis mereka, terutama yang berhubungan dengan ekspor-impor, lebih mudah seperti: tidak perlu ribet dengan pertukaran mata uang atau khawatir dengan perubahan kurs yang fluktuatif, adanya kemudahan pengurusan dokumen ekspor/impor (LC).
Ini juga yang menjadi alasan eksportir menyimpan devisa mereka di bank-bank asing dibandingkan membawa masuk ke Indonesia. Di Asia, bank-bank asing yang cukup kompetitif adalah bank-bank Singapura seperti DBS, OUB, OCBC, dll. “Dengan kata lain, BI dan pemerintah tak berdaya menarik dana-dana tersebut,” ungkapnya.
Risiko Utang LN
Risiko utang luar negeri baik oleh pemerintah ataupun swasta adalah rawan terdampak risiko perubahan kurs. Jika rupiah mengalami pelemahan yang tajam terhadap dolar misalnya, maka meskipun utangnya dalam dolar sama, namun nilai yang dibayar menjadi lebih tinggi.
Ishak juga mengingatkan salah satu penyebab ambruknya perusahaan-perusahan domestik pada krisis 97/98 silam adalah beban utang luar negerinya yang sangat tinggi. Akibatnya begitu kurs naik dari Rp2.500/US$ ke Rp16.000/US$, perusahaan-perusahaan tersebut mengalami pendarahan bahkan banyak yang gulung tikar. Bank-bank domestik yang ikut membiayai mereka juga ikut kolaps yang kemudian diselamatkan oleh pemerintah melalui BLBI.
“Sementara untuk utang pemerintah, maka yang akan menanggung adalah rakyat dengan beban pembayaran bunga utang dalam APBN menjadi semakin tinggi,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo