Pemerintah pusat kembali memberikan dana otonomi khusus kepada Aceh sebesar Rp 7,057 miliar. Padahal sebelumnya Pemerintah pusat juga telah mengeluarkan anggaran kepada Aceh sebesar 42 triliun sejak tahun 2008-2015, (Serambi,19/08/15). Berdasarkan pasal 183 UUPA, ayat 1) dana tersebut digunakan untuk enam bidang yaitu pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan sosial. Namun pada faktanya ke-6 bidang tersebut belum memperlihatkan hasil yang mampu mensejahterakan masyarakat.
Persoalan kemiskinan yang tinggi, pengangguran yang meningkat setiap tahunnya dan pendidikan yang mahal serta kesehatan yang belum memuaskan terus menjadi PR besar pemerintah Aceh dalam membangun Aceh tiap tahunnya. Sebagaimana pernyataan Gubernur Zaini Abdullah bahwa tingkat kemiskinan di Aceh tinggi mencapai 19 persen lebih, (Okezone,9/03/15). Selain itu, penggangguran di Aceh juga meningkat tajam. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, jumlah pengangguran di provinsi ini tahun 2015 bertambah sebanyak 28.000 orang, (Medanbisnis,09/05/15). Masyarakat buta hurufpun tak kalah jumlah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Gubernur Zaini dalam sambutan tertulisnya pada peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) ke 49, di lapangan Musara Alun, Takengon, Aceh Tengah, Kamis, 25 September 2014 bahwa tingkat tuna aksara di beberapa kabupaten Aceh sangat memprihatinkan seperti Gayo Lues 41,6 persen, Subulussalam 36,6 %, Aceh Jaya 15,58 %, Pidie Jaya 14,92 %, Pidie 13,87 % dan Aceh Barat Daya 10,85 %, (Lintasgayo,28/09/14).
Suatu hal yang wajar bila dana Otsus yang digelontorkan pemerintah pusat tidak mampu mensejahterakan rakyat Aceh. Pasalnya dana yang didiberikan memang terbilang sedikit bila dialokasikan ke-6 bidang yang disebutkan dalam pasal 183 ditambah lagi dengan korupsi yang terus berkembangbiak di Aceh membuat banyak program pemerintah tersendat dan disunat.
Jika kita bersikap lebih optimis, sebenarnya masyarakat Aceh mampu hidup sejahtera apabila kekayaan alam Aceh tidak diberikan kepada investor asing melainkan dikelola oleh pemerintah sendiri dengan mendatangkan tenaga ahli dari luar negeri untuk mengajarkan ilmu kepada generasi Aceh dan pemerintah memberikan jaminan pendidikan kepada generasi Aceh dengan fasilitas yang lengkap. Kemudian membuka peluang kerja bagi generasi untuk mengolah SDA sendiri. Hasil SDA yang melimpah-ruah itupun dapat digunakan untuk kesehatan, pendidikan, dan pembangunan masyarakat. Hal inilah yang dilakukan negara maju dalam mengelola SDA negeri sendiri. Bila kekayaan alam diserahkan pada investor asing, maka kekayaan alam yang melimpah tersebut tidak dapat dinikmati oleh masyarakat Aceh.
Sistem ekonomi Kapitalisme dan pemerintahan Demokrasi yang diterapkan di Aceh menjadi penghambat majunya Aceh. Pasalnya sistem ini pada hakikatnya memihak pada pemilik modal. Kita bisa melihat berapa banyak investor asing ke Aceh yang sejatinya merusak alam dan memasukkan budaya barat yang bertentangan dengan budaya Islam.
Solusi akhir memberantasi kemiskinan dan sebagainya dengan cara menerapkan sistem perekonomian yang bebas riba dan pemerintahan yang adil lagi bersih dari KKN. Sejarah Negara Islam (Baca : Khilafah) telah membuktikan hebatnya sistem perekonomian Islam yang bebas riba dan ampuhnya hukum syariah Islam dalam memberi sanksi kepada pelaku kejahatan. Sistem Islam juga menegaskan bahwa negara wajib mengelola SDA dan hasilnya diserahkan pada masyarakat dalam bentuk pelayanan umum. Semua ini hanya akan terwujud bila pemerintah beserta masyarakat besinergi berjuang menegakkan kembali syariah Islam dalam segala lini kehidupan. wallahu’alam bishawab[]
*Penulis merupakan Mahasiswi Unsyiah tinggal di Darussalam
Email : Ghaziallah95@gmail.com