Cara Khilafah Mengatasi Kekeringan

kekeringanOleh: KH Hafidz Abdurrahman

Kekeringan yang melanda sebuah wilayah bisa terjadi karena beberapa faktor yang berbeda, antara satu wilayah dengan wilayah lain. Indonesia, misalnya, dengan letak geografis di antara dua benua, dan dua samudera, serta terletak di sekitar garis khatulistiwa merupakan faktor klimatologis penyebab banjir dan kekeringan di Indonesia.

Posisi geografis ini menyebabkan Indonesia berada pada belahan bumi dengan iklim monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim El-Nino Southern Oscillation (ENSO). ENSO menyebabkan terjadinya kekeringan, jika kondisi suhu permukaan laut di Pasifik Equator bagian tengah hingga timur menghangat (El-Nino).

Berdasarkan analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa, ada kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dampak terjadinya perubahan iklim terhadap sektor pertanian adalah bergesernya awal musim kemarau yang menyebabkan berubahnya pola tanam karena adanya kekeringan.

Bagaimana Khilafah Mengatasi?

 Masalah kekeringan ini selain merupakan masalah teknis akademis dan keahlian, juga ada masalah non-teknis. Mengapa perlu dibedakan, karena solusi yang diambil oleh Khalifah tentu berbeda.

Dalam konteks yang pertama, teknis akademis dan keahlian, secara serius khilafah melalui Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika [BMKG], dengan tim terbaik yang dikumpulkan dari seluruh dunia bisa melakukan kajian secara menyeluruh, cermat dan akurat untuk melakukan pemetaan iklim, kondisi cuaca, potensi panas, hujan, termasuk dampak dan pemanfaatan keduanya untuk tanaman. Berikut rekayasa dan solusi yang dibutuhkan, jika menghadapi kondisi ekstrim, baik yang bersifat jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.

Hasil kajian, riset dan rekomendasi tim inilah yang akan ditindaklanjuti oleh khalifah atau badan terkait. Dari hasil kajian ini, khusus kasus kekeringan, misalnya ditemukan, bahwa faktor penyebab kekeringan itu, adalah: (1) adanya penyimpangan iklim; (2) adanya gangguan keseimbangan hidrologis; dan (3) kekeringan agronomis.

Penyimpangan iklim, menyebabkan produksi uap air dan awan di sebagian Indonesia bervariasi dari kondisi sangat tinggi ke rendah atau sebaliknya. Ini semua menyebabkan penyimpangan iklim terhadap kondisi normalnya. Jumlah uap air dan awan yang rendah akan berpengaruh terhadap curah hujan, apabila curah hujan dan intensitas hujan rendah akan menyebabkan kekeringan.

Gangguan keseimbangan hidrologis, kekeringan juga dipengaruhi oleh adanya gangguan hidrologis seperti: (1) terjadinya degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama bagian hulu, yang mengalami alih fungsi lahan dari bervegetasi menjadi non-vegetasi, yang menyebabkan terganggunya sistem peresapan air tanah; (2) kerusakan hidrologis daerah tangkapan air bagian hulu menyebabkan waduk dan saluran irigasi terisi sedimen, sehingga kapasitas tampung air menurun tajam; (3) rendahnya cadangan air waduk yang disimpan pada musim penghujan akibat pendangkalan menyebabkan cadangan air musim kemarau sangat rendah sehingga memicu terjadinya kekeringan.

Kekeringan agronomis, terjadi sebagai akibat kebiasaan petani memaksakan menanam padi pada musim kemarau dengan ketersediaan air yang tidak mencukupi. Kekeringan ini umumnya terjadi di wilayah-wilayah: (1) areal pertanian tadah hujan; (2) Daerah irigasi golongan 3; (3) Daerah gadu liar; dan (4) Daerah endemik kekeringan.

Pemetaan Wilayah Kekeringan

Setelah dilakukan pemetaan secara umum di seluruh dunia, yang meliputi pemetaan iklim, kondisi cuaca, potensi panas, hujan, termasuk dampak dan pemanfaatan keduanya untuk tanaman, berikut rekayasa dan solusi yang dibutuhkan, jika menghadapi kondisi ekstrim, baik yang bersifat jangka pendek, menengah maupun jangka panjang, maka khusus wilayah kekeringan secara umum bisa dipetakan menjadi tiga kategori.

Pertama, wilayah yang sawahnya mengalami kekeringan pada lokasi yang sama. Daerah tersebut umumnya terjadi di bagian hilir daerah irigasi, daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) dan daerah sawah tadah hujan yang terdapat sumber air alternatif (air buangan, air tanah dangkal).

Kedua, wilayah yang areal sawahnya mengalami kekeringan lebih besar atau sama dengan areal yang aman kekeringan. Daerah tersebut bisa terjadi di bagian tengah/hilir daerah irigasi dan daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) serta tidak kesulitan mendapatkan sumber air alternatif untuk irigasi.

Ketiga, wilayah dimana areal sawahnya mengalami rawan kekeringan lebih kecil dari areal yang aman, daerah tersebut umumnya masih terdapat sumber air alternatif untuk irigasi walaupun jumlahnya masih kurang.

 Mengenai pengelolaan dan rekayasa wilayah kekeringan, perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

  • Terus meningkatnya luas sawah yang terkena kekeringan, sehingga berdampak pada penurunan produksi sampai gagal panen.
  • Terjadinya kekeringan pada tahun yang sama saat terjadi anomali iklim maupun kondisi iklim normal.
  • Periode ulang anomali iklim cenderung acak sehingga sulit untuk dilakukan adaptasi.
  • Kekeringan berulang pada tahun yang sama di lokasi yang sama.
  • Dampak anomali iklim bervariasi antara wilayah.
  • Kekeringan hanya dapat diturunkan besarannya dan tidak dapat dihilangkan.

Selain itu, juga harus memperhatikan berbagai dampak kekeringan yang dialami oleh masyarakat, khususnya bagi petani, sebagai berikut:

  • Produksi tanaman turun/rendah/puso bahkan menyebabkan tanaman mati sehingga merugikan petani.
  • Karena produksi rendah secara riil mengalami kerugian material maupun finansial yang besar dan bila terjadi secara luas, akan mengancam ketahanan pangan.
  • Menyebabkan terganggunya hidrologis lingkungan yang berakibat terjadinya kekurangan air pada musim kemarau.

Dengan beberapa pertimbangan di atas, maka harus dibuat manajemen pengelolaan secara sistematis dan terencana dengan para pihak yang terkait.

 Rekayasa dan Solusi

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, rekayasa dan solusi untuk mengatasi kekeringan ini juga bisa dibedakan menjadi dua. Ada yang terkait dengan teknis akademis dan keahlian, dan non-teknis. Untuk kategori yang pertama, kekeringan bisa diatasi, antara lain dengan cara:

  • Gerakan masyarakat melalui edukasi dan penyuluhan, baik langsung maupun tidak langsung. Bisa melalui berbagai media, cetak, elektronik, online, visual, audio visual dan sebagainya. Tujuannya untuk membangun kesadaran masyarakat, dan melibatkan seluruh masyarakat dalam upaya secara sistematis dan terencana.
  • Negara bersama-sama masyarakat membangun, merehabilitasi dan memelihara jaringan irigasi. Termasuk waduk-waduk, dengan kincir air dan mesin penggerak air di sejumlah titik yang dibutuhkan untuk masing-masing wilayah di seluruh dunia.
  • Negara bersama-sama masyarakat membangun, merehabilitasi, dan memelihara konservasi lahan dan air. Termasuk melindungi hutan lindung, daetah resapan air, dan sebagainya agar tetap pada fungsinya. Sekaligus menindak penyalahgunaannya, dan mengembalikannya kepada fungsi asalnya.
  • Negara memberikan bantuan sarana produksi (benih dan pupuk, pompa spesifik lokasi) kepada masyarakat.
  • Negara bersama-sama masyarakat mengembangkan budidaya hemat air dan input.

Adapun untuk mengatasi kekeringan, karena faktor klimatologis Negara Khilafah akan melakukan:

  • Penyebaran informasi prakiraan iklim lebih akurat, sesuai dengan wilayah masing-masing, yang dihasilkan oleh BMKG dengan tim terbaiknya dari seluruh dunia.
  • Membuat kalender tanam.
  • Menerapkan dan memperhatikan peta rawan kekeringan yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian melalui data interpretasi, yang disebarluaskan dan disosialisasikan melalui jaringan online dan cetak di seluruh dunia. Peta tersebut tersedia untuk seluruh wilayah, yang bisa diunduh di website, misalnya. Selain sumber di atas data dapat juga diperoleh melalui BMKG.

Secara non-teknis, khalifah juga akan memimpin umat Islam untuk memohon kepada Allah SWT, dengan mendekatkan diri kepada Allah, meninggalkan maksiat, baik melalui shalat istisqa’, anjuran berdoa, mendoakan dan minta didoakan di hari, waktu dan tempat mustajab agar Allah menurunkan hujan untuk kemaslahatan umat.

Ini pernah terjadi di masa Nabi SAW ketika Madinah mengalami kekeringan, masyarakat datang menghadap Nabi sebagai kepala negara untuk berdoa, agar Allah menurunkan hujan. Nabi SAW pun mengajak penduduk Madinah untuk melakukan shalat istisqa’ di lapangan, yang kini dibangun Masjid Ghamamah. Setelah itu, hujan pun turun tak henti-henti sepanjang hari, sampai mereka pun datang kembali kepada Nabi SAW untuk berdoa, agar hujan berhenti. Nabi SAW pun berdoa, “Allahumma hawalaina wa la ‘alaina.” Hujan pun berhenti.

Ketika ‘Umar bin Khatthab menjadi khalifah, sungai Nil meluap hingga menyebabkan terjadinya banjir di daerah sekitarnya. ‘Umar pun menulis surat kepada sungai Nil, agar berhenti meluap. Sungai itu pun berhenti. Sa’ad bin Abi Waqqash, panglima Perang Qadisiyah, ketika hendak menaklukkan Persia, harus menaklukkan sungai Dajlah. Sa’ad yang doanya memang mustajab itu memimpin doa, dan bersama pasukannya beliau berhasil melintasi sungai yang ganas itu bersama pasukan berkuda. Dalam riwayat lain, mereka bisa berjalan di atas air, melintasi sungai Dajlah.

Rekayasa dan solusi non-teknis ini tak kalah pentingnya. Semuanya pun menjadi mudah, ketika rakyat dan negaranya menerapkan syariah-Nya. Karena dengannya, keberkahan dari langit dan bumi akan dicurahkan Allah kepada mereka, “La fatahna ‘alaihim barakatin min as-sama’i wa al-ardh.” [QS al-A’raf: 96].

Sumber: Tabloid mediaumat

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*