Pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dianggap gagal lantaran para wakil rakyat tersebut kerap disuap. Maka diadakanlah Pilkada langsung dengan asumsi rakyat yang jumlahnya sangat banyak tersebut tidak mungkin dapat disuap. Namun faktanya? Terlepas dari itu, ternyata biaya Pilkada langsung sangat mahal, maka dicetuskanlah Pilkada serentak. Tetapi realisasinya? Nah, di seputar itulah wartawan tabloid Media Umat Joko Prasetyo mewawancarai praktisi dan pakar ilmu pemerintahan Ryaas Rasyid. Berikut petikannya.
Pilkada langsung diselenggarakan untuk mengantisipasi penyuapan kepada DPRD yang kerap tersuap dalam pemilihan Pilkada tidak langsung. Tapi faktanya?
Pilkada langsung selama sepuluh tahun terakhir yang saya amati dan saya catat secara rutin adalah terjadinya politik transaksional antara partai pengusung dengan kandidat kepala daerah, munculnya fenomena uang mahar dan kompromi pencalonan kepala daerah dengan wakilnya yang berbeda partai demi mencukupi syarat dukungan.
Realitas politik yang merupakan dampak dari pilkada langsung sejauh ini adalah meluasnya praktek korupsi kepala daerah.
Gamawan Fauzi saat menjadi Menteri Dalam Negeri era SBY berulang kali menggembar-gemborkan adanya 300-an kepala daerah terlibat kasus korupsi terhitung sejak diterapkannya sistem Pilkada langsung 2005-2014. Belum terhitung adanya ribuan PNS terkait kasus korupsi yang melibatkan atasannya (kepala daerah).
Masalah lainnya dalam Pilkada langsung?
Terjadi disharmoni antara kepala daerah dengan wakilnya menjelang pemilihan masa jabatan kedua. Masing-masing mau maju lagi secara terpisah. Menurut catatan di Kemendagri tahun 2014, sekitar 92 persen pasangan kepala daerah pecah kongsi dalam periode pertama. Ketika itu terjadi, maka terbelahnya PNS di daerah sudah tak terhindarkan. Pasca pilkada keterbelahan dukungan PNS menjadi mimpi buruk bagi PNS yang tidak berada pada kubu pemenang. Proses pilkada kemudian memakan korban di kalangan PNS melalui mutasi ke tempat yang jauh dan pemecatan dari jabatan (non-job).
Apa pula dampak dari Pilkada yang transaksional tersebut?
Proses transaksi dalam penetapan calon oleh partai telah mengenyampingkan pertimbangan integritas dan kompetensi kepemimpinan calon, sehingga rendahnya kualitas kepemimpinan yang dihasilkan menjadi hal yang lumrah. Ini dengan mudah terlihat dari banyaknya kebijakan daerah yang mubazir dari segi kemanfaatan bagi publik, tapi tetap dijalankan karena menguntungkan kepala daerah yang akan maju kembali pada pemilihan masa kerja kedua.
Lihatlah kebijakan penyaluran bantuan sosial dalam jumlah yang fantastik ke sasaran-sasaran yang tidak tepat. Dalam beberapa kasus, bantuan sosial (bansos) ini telah menjadi tiket bagi pejabat daerah untuk masuk penjara dengan tuduhan korupsi.
Bahkan keamanan pun menjadi tidak stabil?
Iya, situasi pasca Pilkada juga sering diwarnai terganggunya stabilitas keamanan, terjadinya kerusuhan sosial, terbelahnya hubungan kekeluargaan dalam masyarakat kabupaten khususnya.
Sementara, maraknya penggunaan uang dalam memobilisasi dukungan dan membeli suara adalah penyebab utama rusaknya budaya politik masyarakat di daerah. Masyarakat lapisan bawah secara tidak sadar digiring untuk bermental “pengemis,” atau memperjual-belikan suaranya, mengharap imbalan dari penggunaan hak kedaulatan mereka.
Menariknya, saat ini juga marak mantan napi korupsi ikut Pilkada. Bagaimana pendapat Anda?
Itu berangkat dari perspektif hak azasi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan kedudukannya yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan itu. Logika yang dipakai adalah selama seseorang tidak dicabut hak politiknya oleh pengadilan maka dia boleh memilih dan dipilih untuk jabatan publik.
Kalau sekarang ada mantan napi ikut pilkada, hal itu adalah wujud dari pelaksanaan hak politik yang bersangkutan. Selanjutnya terpulang kepada pemilih dalam merespon pencalonan mereka.
Bagaimana dengan pelegalan politik dinasti?
Politik dinasti itu istilah yang dipopulerkan oleh media. Keputusan MK untuk membatalkan pasal dalam UU Pilkada yang melarang keluarga dekat petahana ikut serta sebagai calon kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pilkada berikutnya (tanpa jeda) berangkat dari asumsi yang sama dengan bolehnya eks-napi tadi.
Alasan pokoknya, jangan sampai seseorang kehilangan hak untuk maju dalam pilkada hanya karena dia punya hubungan kekeluargaan dengan petahana yang akan digantikannya. Dalam hal ini tali hubungan kekeluargaan dipandang tidak layak “dipersalahkan” dan dijadikan rujukan untuk menutup peluang seseorang maju dalam sebuah proses demokrasi.
Tapi kenyataannya jabatan petahana kerap dimanfaatkan untuk mendukung dinasti agar menang…
Dalam konteks ini MK murni hanya melihat dari segi hukum. Teori umum tentang tiga pilar pendukung utama sebuah bangunan kekuasaan, yaitu konstitusi, hukum, dan etika yang harus diletakkan seimbang, tidak menjadi pertimbangan MK. Karena itu tidak mengherankan kalau ada pihak yang menilai bahwa MK gagal meletakkan faktor etika dalam pertimbangannya.
Mengapa mesti ada calon tunggal dan calon boneka?
Calon tunggal adalah produk dari sistem Pilkada yang mensyaratkan ambang batas persyaratan untuk sahnya dukungan bagi sepasang calon kepala daerah. Artinya, aturan yang berlaku tidak membuka ruang kebebasan bagi setiap partai yang ada wakilnya di DPRD untuk mengajukan pasangan calon.
Persyaratan sahnya dukungan yang umumnya mengharuskan adanya koalisi partai pendukung adalah salah satu faktor. Faktor lainnya adalah kecenderungan calon petahana menghimpun sebanyak mungkin partai ke barisan pendukungnya dengan tujuan menjamin kemenangan, sekaligus mencegah calon pesaing potensialnya memperoleh partai pendukung.
Untuk maksud ini, bukan rahasia lagi bahwa uang menjadi instrumen utama dalam proses ini. Di sisi lain, kalau ada pasangan calon yang sangat populer, partai-partai akan cenderung mendekat ke mereka dengan motivasi agar bisa ikut menjadi bagian dari pemenang.
Perilaku oportunisme partai-partai, baik dengan motivasi uang maupun motivasi ikut menjadi pemenang tanpa kerja keras berlaku di hampir semua daerah. Kalau satu pasang calon menghimpun banyak partai pendukung, akan terbangun kesan bahwa calon lain pasti akan kalah, sehingga partai-partai yang tersisa tidak berani mengajukan calon. Logikanya, “buat apa maju kalau sudah tahu akan kalah.”
Pragmatisme seperti ini tidak bisa disalahkan mengingat biaya Pilkada yang mahal selain mungkin harga diri seseorang yang semula mau dicalonkan dipertaruhkan. Kasarnya, “malu menjadi pihak yang kalah telak.” Ini salah satu alasan terjadi calon tunggal.
Kalau pun dipaksakan harus ada “calon boneka,” itu semata mata sekadar melegalkan proses Pilkada saja. Secara etika, itu menciderai makna demokrasi sebagai sebuah ajang kompetisi yang sehat, yang memberikan peluang yang sama kepada setiap calon untuk menang, tergantung penilaian para pemilih terhadap integritas, kompetensi, dan komitmen mereka.
Lantas apa pula tujuan diadakan Pilkada serentak?
Waktu gagasan itu pertama kali diwacanakan beberapa tahun yang lalu, dikalkulasi bahwa pilkada serentak akan lebih efisien dari segi pembiayaan dan lebih praktis karena Komisi Pemilihan Umum ( KPU) bisa lebih fokus mengatur jadwal dibanding Pilkada setiap bulan di tempat yang berbeda.
Tapi kenyataannya?
Kenyataannya KPU menganggarkan biaya pilkada serentak jauh lebih mahal! Silakan cek angkanya ke KPU.[]