Khmer Merah memperlakukan pembatasan agama, ‘memaksa kami untuk makan daging babi dan melarang kami berpuasa, ” kata saksi Muslim Cham
Kesaksian berpusat pada tuduhan genosida yang dilakukan Khmer Merah di Kamboja pada Selasa, saat seorang Muslim Cham berdiri dan mengatakan kepada pengadilan tentang pembatasan yang diberlakukan pada umat Islam.
Tuduhan yang sangat serius tentang genosida dilontarkan terhadap terdakwa Khmer Merah Nuon Chea dan Khieu Samphan berkaitan dengan perlakuan terhadap Muslim Kamboja dan orang-orang dari etnis Vietnam di bawah Khmer Merah, yang merebut kekuasaan pada tanggal 17 April, 1975 dan secara paksa mengakibatkan mengungsinya jutaan orang dari pusat-pusat kota ke pedesaan.
Sos Min, saksi partai sipil berusia 61 tahun dari provinsi Kompong Cham, memulai kesaksiannya di pengadilan Khmer Merah dan seperti juga saksi sebelumnya, menggambarkan bagaimana cara hidup mereka cepat terkikis setelah Khmer Merah berkuasa.
“Pada tahun 1975, mereka memberlakukan larangan agama, memaksa kami untuk makan daging babi dan melarang kami berpuasa,” katanya.
“Jatah makanan diperparah dengan keharusan bekerja rodi sehingga membuatnya sangat sulit untuk bertahan hidup. Pembatasan ini menimbulkan masalah karena kami tidak diperbolehkan untuk berbicara dalam bahasa Cham.”
Jika tidak bisa mematuhi aturan baru yang ketat itu – hukumannya bisa termasuk dipaksa untuk memotong rambut hingga pendek – yang secara efektif menjadi target, kata Min.
Jika tertangkap, muslim Cham akan dituduh tidak meninggalkan praktek agama mereka yang lama dan, akibatnya, “dituduh menjadi musuh Angkar.”
Angkar adalah pusat pemerintahan Khmer Merah, dan eselon tertinggi dalam struktur kepemimpinan.
Tuduhan yang diwujudkan dalam serangkaian penangkapan-selalu dilakukan pada malam hari -selama bulan pertama Khmer Merah mengambil alih desa Min.
“Jika mereka ingin menangkap seseorang, mereka akan melakukannya,” kata Min, sambil mengatakan bahwa orang-orang dimasukkan ke dalam gerobak kuda lalu dibawa pergi.
Karena takut mereka akan “dibunuh” kecuali mereka mencoba melawan, Min mengatakan bahwa sebagian penduduk desa Cham melakukan pemberontakan, dengan hanya bersenjatakan dua senapan, pisau dan pedang.
“Jika saya tidak memenggal Khmer Merah, saya akan dibunuh,” katanya.
Tapi upaya berakhir dengan kegagalan – “40 orang dari kami diinterogasi dan bayonet terhunus di leher kami.”
Beberapa rekan mereka sesama tahanan akhirnya dibawa pergi, tapi Min bertemu kembali dengan keluarganya dan kemudian dimasukkan ke dalam 50 kapal yang penuh sesak, dimana dia dan warga Cham lainnya terpaksa mendayung dalam garis lurus sepanjang malam menuju desa lain.
Khmer Merah melepaskan tembakan jika mereka melanggar.
“Hari itu hujan sepanjang malam dan beberapa bayi yang baru lahir meninggal,” katanya.
“Kami tidak diizinkan untuk beristirahat sama sekali. Kami kelelahan dan kelaparan tetapi kami harus terus mendayung perahu. Ketika kami sampai ke pantai, kami harus berjalan sepanjang hari untuk mencapai desa tersebut, tanpa makanan. ” (aa.com.tr, 8/9/2015)